Selain tari sekapur sirih, Jambi juga punya tarian khas lainnya, yaitu Tari Rangguk Ayak.
Tari Rangguk Ayak merupakan tarian tradisonal yang berasal dari Jambi, Sumatera, tepatnya di daerah suku Kerinci yaitu suku yang berasal dari daerah kabupaten kerinci yang konon merupakan keturunan bangsa Melayu Kuno (Proto Melayu). Nama tarian rangguk ayak diambil dari gerakan utamanya yaitu mengangguk-angguk.
Meskipun menjadi tarian tradisional, tari rangguk ayak memiliki sejarah asal usul yang berkaitan dengan suatu agama yang dianut masyarakat Jambi.
Jika kamu penasaran, langsung saja simak artikel tentang tari rangguk ayak di bawah ini!
Sejarah Tari Rangguk Ayak
Menurut keterangan sejarah, asal usul tari rangguk ayak dikaitkan dengan seorang ulama besar yang berasal dari daerah Kerinci, lebih tepatnya dusun Cupak. Selama beberapa saat, sang ulama pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama di Makkah pada abad 19-an. Selain mempelajari ilmu-ilmu agama, beliau juga tertarik dengan kesenian Arab yang sering dimainkan oleh pemuda-pemuda Arab di sana yaitu kesenian rebana, sehingga sang ulama tersebut kemudian turut mempelajarinya.
Setelah ilmunya dirasa cukup dan ibadah haji telah selesai ditunaikan, beliau pulang ke kampung halamannya dan menyebarkan ilmu agama yang telah diperoleh selama di Makkah kepada masyarakat Kerinci yang pada saat itu senang melakukan kemaksiatan seperti sabung ayam, berjudi, dan mabuk-mabukan. Namun, dakwahnya tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, mereka justru semakin tenggelam dalam kemaksiatan dan dosa.
Sang ulama tak kehabisan akal, beliau kemudian mencari cara lain untuk menyebarkan ajaran Islam dengan agar dakwahnya bisa diterima. Beliau kemudian menggabungkan kesenian rebana yang telah dipelajarinya di Makkah dengan kesenian daerahnya yaitu silat Melayu dengan cara menyelipkan pujian-pujian kepada Allah SWT sambil mengangguk anggukkan kepala dan bermain rebana ketika menunggu pemuda berkumpul untuk belajar silat.
Cara barunya tersebut ternyata membuahkan hasil, banyak pemuda yang kemudian tertarik untuk mengikuti ajarannya tersebut. Semakin lama, ajarannya kemudian diterima dan banyak diikuti oleh masyarakat Jambi bahkan ketika beliau telah wafat. Kesenian tersebut tetap melekat dan menjadi bagian dari adat budaya masyarakat Jambi.
Seiring berjalannya waktu, kesenian rebana dan silat Melayu dipisah menjadi dua kesenian yang berbeda. Silat melayu diajarkan secara sendiri sedangkan kesenian rebana kemudian diberi nama tari rangguk ayak karena mereka memainkan rebana sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Fungsi dan Makna
Tari rangguk ayak secara bahasa berasal dari kata ‘rangguk’ yang merupakan dialek masyarakat Kerinci Hulu, masyarakat pulau tengah menyebutnya dengan kata ‘rangguek’ sedangkan masyarakat sungai Penuh menyebutnya dengan ‘ranggok’. Beberapa perbedaan dialek tersebut kemudian memunculkan beberapa pendapat tentang makna dari kata rangguk itu sendiri.
Pendapat yang pertama mengatakan bahwa kata rangguk memiliki arti tari karena dalam bahasa Kerinci Hulu, masyarakat menyebut menari dengan kata ‘merangguk’, jadi orang-orang Kerinci Hulu menyebut tari dua belas dengan ‘rangguk dua belas’, tari ayak disebut ‘rangguk ayak’, dan tari rabbieih disebut ‘rangguk rabbieih’.
Pendapat kedua mengatakan bahwa kata rangguk adalah gabungan dari kata uhang dan nganggok, menilik dari kebiasaan masyarakat Sungai Penuh Kerinci yang senang menyingkat dua kata menjadi satu kata sehingga kata ‘uhang’ yang berarti orang dan ‘nganggok’ yang memiliki makna mengangguk digabungkan menjadi rangguk yang artinya orang yang mengangguk.
Hal tersebut berhubungan dengan asal usul tari rangguk ayak yang merupakan sebuah usaha seorang ulama untuk mengumpulkan pemuda-pemuda dengan cara memainkan rebana sambil memuji kebesaran Allah SWT dan mengangguk anggukkan kepala.
Pada awal kemunculannya, tarian ini dilakukan dengan cara duduk melingkar dan berfungsi sebagai media dakwah sang ulama untuk mengajak masyarakat memuji dan mengingat Tuhan. Namun seiring perkembangannya tari rangguk ayak kemudian dilakukan dengan berdiri dan digunakan sebagai hiburan dan juga tarian untuk menyambut tamu.
Bagi masyarakat Kerinci, tari rangguk ayak bukan sekadar hiburan atau pertunjukan untuk menyambut tamu, tapi juga dibawakan pada saat upacara-upacara adat Kerinci seperti pengangkatan kepala suku, acara Keduri Sko atau acara adat yang digelar untuk pengangkatan dan pemberian gelar adat kepada Datuk, Mangku, Rio Depati, dan juga pemberian gelar untuk pemimpin negeri.
Selain nilai estetika, tarian khas kerinci ini juga mengandung nilai budaya dan filosofi yang dalam yaitu mengungkapkan rasa syukur kepada sang pencipta serta sebagai wujud ketaqwaan kepada Allah SWT karena isi dari pantun yang dibacakan dalam tarian ini adalah pujian untuk Allah SWT dan Rasul-Nya.
Pola Lantai dan Gerakan
Pada zaman dulu, tarian ini menggunakan pola lantai melingkar karena sang penari hanya duduk melingkar sambil memainkan rebana dan menggerakkan kepala serta membacakan pantun-pantun pujian. Setelah beralih fungsi menjadi tarian penyambutan tamu, pola lantai tari rangguk ayak mulai berubah menjadi baris sejajar dan ditarikan sambil berdiri dengan mengangguk anggukan kepala kepada setiap tamu yang datang seraya menyanyikan pantun-pantun pujian dan selamat datang.
Dalam perkembangannya, penari tidak hanya mengangguk anggukkan kepala tapi juga menggerakkan anggota tubuh lain dengan gerakan tertentu yang menyerupai gerakan lenggokan manusia, riangnya hewan, bahkan liukan tumbuhan.
Pertunjukan Tari Rangguk Ayak
1. Penari
Dulu, tari rangguk ayak hanya dibawakan oleh 5-10 penari laki-laki, selain karena awalnya untuk menunggu kesenian silat dimulai, tarian ini juga biasanya dibawakan oleh kaum laki-laki yang berkumpul di teras rumah untuk melepas lelah setelah seharian bekerja di sawah atau ladang. Sedangkan kaum perempuan dianggap tabu dan tidak diperbolehkan untuk ikut menarikan tari rangguk ayak.
Namun ada pertengahan abad ke 20, perempuan mulai boleh belajar tarian ini tapi hanya untuk anak-anak saja. Semakin lama, tepatnya pada tahun 1950-an mulai ada penari perempuan yang mementaskan tari rangguk ayak dan mulai menggeser kaum laki-laki.
Dalam perkembangannya, tari rangguk ayak kemudian bisa ditarikan oleh siapa saja tanpa memandang jenis kelamin atau usia, siapapun baik orang dewasa, remaja maupun anak-anak, laki-laki atau perempuan bebas menarikan tarian ini.
Tarian rangguk ayak juga mulai dikenal diberbagai daerah tidak hanya di dusun Cupak saja, melainkan juga telah menjadi tarian khas masyarakat Kerinci secara keseluruhan.
2. Iringan Musik
Iringan musik tari rangguk ayak berasal dari alat musik rebana dengan berbagai ukuran yang ditabuh oleh penari. Jumlah rebana yang digunakan sesuai dengan penari yang ikut andil dalam pertunjukan, biasanya terdiri dari 5 sampai 10 orang yang masing-masing membawa satu buah rebana.
3. Busana Penari
Busana yang dikenakan oleh penari perempuan rangguk ayak adalah baju adat khas Kerinci yang berupa baju kurung dengan motif keemasan serta bawahannya memakai kuluk yang dihiasi benang emas serta tak lupa mengenakan kerudung khas perempuan muslimah. Sedangkan penari laki-laki biasanya memakai atasan baju lengan panjang serta bawahan celana panjang.
Namun dalam perkembangannya, kostum yang digunakan oleh penari rangguk ayak semakin berubah-ubah mengikuti zaman dan menyesuaikan dengan kondisi pertunjukan.
4. Properti
Properti yang digunakan pada tari rangguk ayak adalah rebana dengan berbagai ukuran. Rebana tersebut terbuat dari kulit hewan yang telah disamak kemudian dipasang pada kayu yang telah dibentuk setengah lingkaran dan diukir sedemikian rupa.
Perkembangan Tari Rangguk Ayak
Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Ulama dusun Cupak hingga saat ini, tari rangguk ayak mengalami banyak perkembangan. Perkembangan tersebut meliputi perubahan fungsi dari hanya sebagai media dakwah dan hiburan menjadi tarian penyambutan tamu dan ditampilkan pada upacara adat Kerinci. Selain itu perkembangannya juga mencakup pola lantai serta filosofi dan makna yang terkandung didalamnya.
Saat ini tarian tersebut telah menjadi bagian dari adat budaya masyarakat Kerinci dan juga menjadi salah satu kesenian Indonesia yang patut dilestarikan.