Tari Kupu Kupu adalah salah satu jenis tari tradisional asal Bali yang termasuk tari kreasi baru.
Tarian ini lebih sering digunakan sebagai hiburan.
Inspirasi untuk penamaannya sendiri datang dari aktivitas kupu-kupu biru tua (tarum) yang hinggap dan beterbangan di antara bunga-bunga.
Alih-alih khas tari Bali lain seperti Tari Cendrawasih dan Tari Janger, komposisi gerakannya begitu dinamis nun menawan sebagaimana gemulainya kupu-kupu.
Ingin tahu lebih banyak perihal sejarah, kostum, properti, setting panggung, gerakan, iringan, serta makna dan filosofinya?
Simak baik-baik penjelasan selengkapnya berikut ini:
Sejarah Tari Kupu Kupu
1. Tarum
Tarian tradisional dari Bali ini merupakan hasil ciptaan salah seorang seniman setempat pada tahun 1960-an, yakni I Wayan Beratha.
Seniman kelahiran 1926 di Banjar Belaluan Denpasar tersebut menetap di Banjar Abian Kapas Kaja hingga detik ini.
Kehidupan dalam lingkungan keluarga seniman Bali berperan besar terhadap tumbuh-besar nama beliau.
Kakeknya, I Ketut Keneng (1841-1926) juga seniman Bali yang besar pada zamannya sebagai ahli dalam ranah karawitan dan pagambuhan.
Kehidupan sang Pekak (Kakek) Keneng sebagian besarnya mengabdi pada keluarga Puri Denpasar, sebagai seniman kesayangan Raja I Gusti Agung Ngurah Denpasar karena nama dan karya besar beliau.
Setidaknya ini berlangsung hingga meletusnya Perang Puputan Badung pada tahun 1906.
Hubungan kekerabatan ini pun mengalirkan darah seniman besar dalam diri I Wayan Beratha.
Semasa masih eksis berkesenian, I Wayan Beratha telah menjadi kebanggaan Tanah Air karena menelurkan beragam karya memukau, terutama bagi masyarakat Bali.
Bukan hanya Tari Kupu Kupu yang diciptakannya, masih ada Tari Tani, Tari Yudha Pati, dan banyak tarian lain.
Namun oleh karena kemudahan dalam mempelajarinya, banyak sanggar tari lebih menggunakan Tari Kupu Kupu.
Sudah jadi pemandangan umum, bila mayoritas anak kecil setingkat Sekolah Dasar (SD) telah menguasai gerakan-gerakannya sebagai bentuk pengenalan budaya dalam sanggar-sanggar seni.
Cita-cita sang seniman dalam menciptakan tarian ini tak lepas dari upayanya untuk membuang fanatisme kedaerahan, tentu tanpa mengabaikan ciri khas kebudayaan Bali sama sekali.
Rekam jejaknya dalam dunia seni (di luar bidang tari) tidaklah sedikit.
Mulai dari melakukan penyadapan terhadap warna gamelan yang mengandung pola-pola kedaerahan, meretas, lalu membaurkan kesemuanya dalam seni karawitan pada tahun 1957-1959.
Pola-pola yang menurut hematnya diakibatkan karena adanya kompetisi yang berlangsung pada zaman raja-raja hingga era penjajahan.
Timbullah keberanian dalam diri beliau untuk mempelajari karawitan Bali Utara, sekaligus mengajarkan karawitan Bali Selatan ke se-antero Bali.
Dalam perjalanan selanjutnya, beliau dan I Cede Manik pun menjembatani gaya seni karawitan Bali Utara dan Selatan.
Hal ini tecermin jelas dalam setiap tarian ciptaannya.
Tentu saja yang beliau lakukan terhadap kebudayaan Bali ini bukanlah serta-merta untuk merusak atau melunturkan tradisi serta ke-adiluhungan seni tradisional.
Ini semata-mata sebagai bentuk kebaruan, agar dunia yang ‘ditinggali’ oleh kesenian tradisional Bali dapat beriringan dengan perkembangan zaman dalam pertemuan mereka.
Sebagaimana telah umum disaksikan melalui Tarian Kupu-Kupu.
2. Kuning
Versi lain dari Tari Kupu Kupu yang ada di Bali selain Tarum adalah Tari Kupu Kupu Kuning.
Ketimbang Tarum yang berusia muda karena merupakan kreasi baru, tarian ini telah ada di Desa Pakraman Dukuh Penaban daerah Kabupten Karangasem sejak ratusan tahun lalu.
Bukan sekadar unik, karena Tari Kupu Kupu Kuning bahkan sarat makna dengan nilai spiritual tinggi berdasarkan sejarahnya.
Menurut penuturan masyarakat, kupu-kupu berwarna kuning pertanda kedatangan Ida Betara Alit Sakti akan muncul dari langit sebelah timur Pura Puseh, pada setiap pementasannya di tempat tersebut.
Kisahnya sendiri mengenai sekelompok kupu-kupu berwarna kuning sebagai pengawal prajurit Raja Karangasem dalam perjalanan untuk menyerang Kerajaan Selaparang di Lombok pimpinan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem.
Karangasem berada dalam kepemimpinan tiga raja bersaudara saat itu, dan salah seorang di antara merekalah yang memimpin ekspedisi tersebut.
Jauh sebelum itu, sebuah kisah lain telah lebih dulu ada, tentang keberadaan sesosok berkekuatan spiritual tinggi yang disebut sebagai Ibunda Betara Alit Sakti.
Usai menempuh perjalanan menuju ke arah timur dari Puri Amlaraja, setibanya di sebuah dataran tinggi (Pura Bukit), beliau tancapkan tongkat miliknya di Pura Bukit ini.
Menurut kepercayaan setempat, tongkat ini kemudian berubah wujud menjadi Kayu Kepel, dan telah berdiri kokoh sampai masa kini.
Serombongan besar prajurit Raja Karangasem pimpinan I Gusti Anglura Ketut Karangasem kemudian berangkat pada pagi hari Anggara-umanis, Perangbakat, 1614 Saka.
Rombongan besar yang juga berisi Arya Kertawaksa dan 40 prajurit-kebal dari Desa Seraya ini menaiki empat perahu layar dari pesisir Pantai Jasri melintasi lautan Selat Lombok.
Mulanya, perjalanan ini tak dapat dikatakan mudah karena ombak yang mengganas.
Namun, tak dinyana ribuan kupu-kupu kuning muncul dari angkasa seolah-olah menunjukkan arah di tengah perjalanan mereka, karena kawanan ini terbang bergelombang dan ikut menyeberangi laut.
Mereka yakin, kawanan tersebut merupakan jelmaan dari daun-daun Kayu Kepel di Pura Bukit yang berguguran ketika barisan perahu telah berangkat, dan dikirim dalam wujud kupu-kupu kuning sebagai anugerah Ida Betara Alit Sakti, agar mengiringi keberangkatan laskar Karangasem ke medan perang.
Sinopsis untuk tariannya sendiri masih berkaitan dengan kisah yang melatarbelakangi sosok Ida Betara Alit Sakti.
Kerajaan Karangasem yang berpusat di Puri Amlaraja diperintah oleh tiga raja bersaudara, yakni I Gusti Bagus Anglurah Wayan Karangasem, lalu I Gusti Bagus Anglurah Nengah Karangasem, serta I Gusti Bagus Anglurah Ketut Karangase.
Beliau-beliau inilah yang ingin mengembangkan daerah kekuasaan kerajaan tersebut.
Terdapat dua versi cerita terkait semua ini, yaitu berupa kisah dari orang-orang tua, lalu yang termuat dalam Babad.
Berdasarkan versi pertama, ketiga raja memutuskan untuk menemui kemenakan mereka yang telah menjadi Betara dan bersemayam di Pura Bukit, untuk membahas permasalahan keinginan mereka.
Beliau adalah Ida Betara Bagus Alit, keturunan dari I Gusti Ayu Rai Ratna Inten sebagai satu-satunya saudara perempuan para raja.
Sebagai orang yang sakti sekaligus putra Betara Gede Gunung Agung, tentu beliau telah mengetahui gelagat para paman yang ingin meluaskan wilayah kekuasaan ke arah Barat.
Jawaban darinya kira-kira, “Tak ada gunanya, bila berani melawan raja yang menguasai tanah Bali yaitu Ida Dewa Agung di Klungkung. Maka lihatlah ke seberang lautan di sebelah timur kita, tanahnya luas dan subur, itu akan bisa dikuasai. Arahkan perhatian Uwa (sekalian) ke Nusa Sasak.”
Bentuk sakral dari tariannya sendiri hanya dibawakan pada hari-hari tertentu oleh 12 penari laki-laki, dengan busana serba kuning dan senjata berupa keris.
Misalnya ketika berlangsungnya Piodalan yang dilaksanakan setahun sekali, saat purnama kapat di Pura Puseh setempat.
Alat musik yang mengiringi pementasan Tari Kupu Kupu Kuning adalah tabuh jenis lelambatan.
Kendati kepastian nama tabuh ini masih belum diketahui sampai sekarang.
Pihak yang paling berwenang atas keberadaan tariannya masih mencari tau tentang nama tersebut sampai saat ini.
Warga setempat yang mampu memainkan tabuh bahkan langsung bisa meniru hanya dari mendengarkannya saja, tanpa ada latihan khusus selama ini.
Gerakan tariannya sendiri sebenarnya memiliki standar yang telah baku.
Kendati demikian, para penari tidak akan bisa menyamakan gerakan saat pementasannya, walau segigih apapun memaksakan, sebab ujung-ujungnya hanya akan tampak kaku.
Bila tiba masa “Aci Atu Piodalan” tidak ada pementasan tarian tersebut, maka akan muncul tangisan dari warga yang menginginkan pementasannya.
Bagaimanapun alasannya, Tari Kupu Kupu tetaplah warisan leluhur yang keberadaannya wajib dilestarikan oleh generasi muda.
3. Carum
Kesenian Kupu-Kupu Carum merupakan pertunjukan asli dari Desa Mas, Ubud, Kabupaten Gianyar, dengan bentuk pementasannya berada dalam satu paket dramatari yang diiringi oleh gamelan Angklung.
Gagasan dan penciptaan drama tari yang sempat mengalami kepunahan karena tak mampu beregenerasi dengan baik ini terjadi sekitar tahun 1930-an.
Gagasan terciptanya muncul dari keinginan wisatawan asing sekaligus pelukis, Walter Spice, agar penggarapan gamelan angklung dapat dilakukan ke dalam bentuk seni pertunjukan.
Tujuannya, untuk memberi ruang pada kesenian tersebut supaya tidak monoton (bahkan dikenal sebagai kesenian untuk orang meninggal).
Penata gerak dalam garapan ini pada mulanya adalah Pekak (Kakek) Musna dari Banjar Tarakan, sedangkan Kak Monol bertindak sebagai penata tabuh.
Kedua seniman sepuh inilah yang mengolaborasikan gamelan angklung ke dalam Drama Tari Kupu-Kupu Carum.
Nama Carum yang disandang oleh tarian ini sendiri bermula dari kata Kecarum atau tanaman kemangi, salah satu jenis dedaunan di Bali yang kerap ada untuk bumbu pelengkap masakan.
Alih-alih kepopuleran nama ini dikenal tinggi di kalangan masyarakat Desa Mas, Ubud, masyarakat sekitar malah lebih mengenalnya dengan sebutan Ende, karena pementasannya sangat mirip Gebug Ende.
Sayangnya, drama tari ini mengalami kepunahan meski sempat mengalami masa kejayaannya, karena minimnya masyarakat dan generasi muda yang berkeinginan untuk melestarikannya.
Maka iringan tari pun diubah, dari yang semula adalah angklung menjadi Gong Kebyar.
Namun kendati upayanya sudah seperti itu, tetap tak mampu menjamin eksistensinya pada masa itu, dan mengharuskannya vakum lagi kira-kira selama 25 tahun.
Bahkan upaya pembangkitan kembali dan pengembangan yang dilakukan kemudian pun terkendala.
Saking lamanya tak lagi dipentaskan, gending sebagai yang menjadi iringan beserta gerakan tabuhnya tidak banyak diketahui.
Kendati demikian, masih ada para seniman sepuh (Nyoman Kaler, Ketut Darsana, Ketut Sadra, Ketut Rupa) yang mengingat pakem-pakem dalam pementasan Drama Tari Kupu-Kupu Carum.
Pementasan kesenian klasik kuno ini menceritakan usaha Abimanyu memperoleh anugerah Ayawanggani, berupa senjata panah yang sangat sakti, melalui pelaksanaan tapa semadi.
Sehingga pasupati yang konon mampu menjadikan seorang pemimpin seketika disegani rakyatnya akan diberikan dari Bhatara Siwa.
Tentu saja tapa Abimanyu mendapat banyak sekali godaan dalam prosesnya, kehadiran widyadara dan widyadari adalah satu di antaranya.
Sedikitnya 20 orang penari dilibatkan dalam pementasan ini.
Lakon-lakon lain yang juga turut-serta dimainkan sebagai pendukung jalan cerita, meliputi bojog-bojogan, rangda, raksasa, dan barong yang menyimbolkan Rwa Bhineda.
Aturan Penari
Penari menjadi perkara yang krusial dalam Tari Kupu Kupu.
Karena itu, ada pengaturan khusus terhadap kriteria penari dalam setiap pementasannya di panggung.
Kendati tarian ini biasa dibawakan baik oleh penari pria maupun wanita, tetapi tak boleh mencampurkan keduanya.
Dengan kata lain, jika memang ingin dipentaskan oleh penari pria, maka satu regu harus berisi pria semuanya, begitu pula yang berlaku bagi penari wanita.
Jumlah penari dalam satu grupnya haruslah ganjil, paling sedikit 3 orang, paling sering dijumpai 5 orang, sementara paling banyak bisa sampai 9 orang.
Penataan Busana dan Tata Rias
Kostum yang dikenakan oleh para penari sengaja dibuat dengan tingkat kemiripan yang sangat tinggi dengan aslinya, yakni kupu-kupu.
Pakaian atasan yang digunakan adalah kemben, sementara kain batik untuk bawahannya.
Mengenai warna, tidak ada patokan atau pakemnya.
Yang jelas, warna tersebut umumnya cenderung cerah dan berwarna-warni.
Tentu untuk sedekat mungkin menyerupai kupu-kupu asli yang mencolok, tetapi indah, menarik, dan menawan.
Namun secara pakem, tata busana Tari Kupu-Kupu Tarum terdiri dari:
- Badong, gelungan melingkar di leher atau kalung.
- Tutup dada
- Angkin
- Ampok-ampok
- Kamen, semacam jarik atau jarit.
- Bunga perak
- Bunga emas
- Mahkota, sebagai lambang keanggunan.
- Kace, yang melambangkan keindahan.
- Klat Bahu dan Cakep untuk hiasan.
- Kemben.
- Batik berwarna, seperti warna hijau.
- Sampur berwarna, misalnya merah dan kuning.
- Centing
- Hiasan berupa sayap kupu kupu.
Properti dan Aksesoris
Keunikan Tari Kupu-Kupu Tarum berangkat dari sepasang sayap kupu-kupu yang berada di tangan kanan dan kiri penari.
Selain itu, mereka juga mengenakan topi penari berupa mahkota emas atau gelungan berbentuk petitis yang diisi sepasang antena layaknya kupu-kupu.
Kemudian ditambah sapu tangan dan pita.
Selain berbentuk spesifik menyerupai sayap kupu-kupu, propertinya juga bisa berupa sampur (selendang) yang diikatkan pinggang para penari, sehingga bisa ibaratkan seperti sayap kupu-kupu.
Iringan Musik
Gamelan orkestra Bali dikenali menjadi alat musik pengiring Tari Kupu Kupu.
Gerakan Tarian Kupu-Kupu dapat menyejukkan, karena dukungan suara semarak dari permainan gamelan orkestra sangat berpadu-padan yang sesuai irama, menghasilkan keindahan harmoni dan kekompakan yang cantik.
Pemain Gamelan Bali adalah sekelompok musisi yang terletak di bagian samping panggung saat pemenntasan berlangsung.
Jumlahnya berbanding lurus dengan berapa banyak alat musik yang dimainkan.
Pada perkembangannya, keluaran irama akan dipadukan suara satu atau dua orang sinden (penyanyi) yang mengalunkan lagu atau gending yang indah, sehingga membuat musik tersebut lebih hidup.
Gending yang digunakan biasanya menyesuaikan bahasa setempat.
Tari Kupu Kupu lalu (semacam) menjadi antitesa dari Tari Kecak yang memang dikenal kental dengan hentakan-hentakan kasar.
Gerakan
Gerakan Tarian Kupu-Kupu lebih melibatkan dominasi gerakan dari semua bagian tubuh, terutama bagian kaki dan tangan yang dengan gemulai terus mengikuti irama dari alunan iringan musik.
Sebab dilihat secara keseluruhan, gerakan-gerakannya memang mencontoh prilaku kupu-kupu di alam.
Sementara yang paling menarik, yaitu ketika gerakan selendang naik-turun mulai dilakukan oleh sang penari.
Jika kesemua gerakannya kompak, maka akan menambah kesan elokan dalam tariannya.
Berikut beberapa istilah yang dipakai dalam ragam gerak Tari Kupu-Kupu:
- Ngagem.
- Ngegol, berupa gerakan bagian pinggul ke kanan dan kiri, yang bersamaan dengan menggerakkan kaki kanan dan kiri.
- Nyeledet, gerakan bola mata ke kanan atau kiri yang diikuti oleh gerakan kepala.
- Nyeliyer, gerakan menutup satu mata.
- Ngeseh, gerakan ngejat bahu.
- Ngaed.
- Ileg-Ileg, berupa gerakan bagian leher ngotag ke kanan dan kiri.
- Cegut, gerakan kepala melihat ke bawah disertai mecuk alis.
Bila rincian di atas merupakan “penamaan” dalam setiap gerakannya, maka yang berikut ini adalah macam-macam bentuk gerakannya:
- Gerakan kupu-kupu yang terbang di tempatnya (4×8 hitungan).
- Gerakan kupu-kupu yang terbang secara berputar (2×8 hitungan).
- Gerakan melompat (2×8 hitungan).
- Gerakan melayang-layang (2×8 hitungan).
- Gerakan membuka dan menutup sayap kupu-kupu (2×8 hitungan) kanan-kiri.
- Gerakan kibasan (2×8 hitungan).
- Gerakan ayunan (2×8 hitungan).
- Gerakan menoleh kanan dan kiri (2×8 hitungan).
- Dan lain lain.
Tari Kupu-Kupu justru lebih kalem, cukup kontras dengan tari Bali lain yang cenderung enerjik.
Sementara dalam Tari Kupu Kupu Kuning untuk versi yang dimainkan oleh anak-anak, terdapat sejumlah modifikasi berdasarkan hitungan dalam gerakannya, yaitu:
a. Tema Gerak
Gerak Kegembiraan, yakni gerakan bersuka-cita, melompat berulangkali, melambai-lambaikan sayap, hingga bergoyang.
Gerakan yang menyerupai tumbuhan atau binatang.
b. Gerak Tangan dan Jari
Nyekiting, menggerakkan ruas ibu jari tangan yang bertemu ujung jari tengah, dengan posisi tangan sambil memegang selendang.
Menthang, meluruskan tangan ke sisi samping.
Malangkerik, memosisikan tangan berkecak pinggang.
c. Gerak Kaki
Nggurdho, tidak mengenakan telapak kaki (tumit) belakang ke lantai, atau seperti menggantung.
Kicat, mengangkat kaki kiri, sementara kaki kanan di lantai, lalu mengangkat jari-jari kaki kiri agar tidak menyentuh lantai.
Pola Lantai
Tari Kupu-Kupu menggunakan Pola Lantai Garis Lurus yang dikembangkan dalam bentuk vertikal maupun horizontal (bisa keduanya).
Bentuk Pola Lantai Vertikal adalah pola yang menyerupai sebuah garis, yang lurus mulai dari depan ke belakang.
Sementara Pola Lantai Horizontal adalah pola yang membentuk garis lurus ke samping, baik dari sisi kanan ke kiri maupun sebaliknya.
Beberapa pola lantai lain yang juga digunakan dalam variasinya meliputi:
Pola Lantai V
Pola Lantai Segi Lima
Pola Lantai Persegi:
Pola Lantai Garis Lurus yang dilambangkan dalam bentuk segi empat.
Pola Lantai Melingkar
Pola Lantai Diagonal, mengharuskan penari berbaris dalam bentuk garis yang menyudut ke kanan dan kiri.
Pola Lantai Trapesium
Makna dan Filosofi
Menurut penciptanya (I Wayan Beratha), filosofi Tari Kupu Kupu Tarum adalah penggambaran eksotisme, kedamaian, dan keindahan yang ada di Pulau Bali.
Gerakannya bahkan tampak seperti kupu-kupu yang sedang terbang (sesuai namanya), bila dilihat sepintas.
Pakaian para penari yang terlihat berwarna-warni menambah kesan keharmonisan.
Nuansa damai yang tecermin pula melalui mereka, membuat Tari Kupu Kupu kian menarik nun sangat indah.
Paduan gelap-terang seperti biru, hijau tua, dan kuning emas pada kostum, serta kilauan pada mahkota dari pernak-pernik keemasan, menggambarkan keindahan di tengah kontrasnya perbedaan.
Seperti kondisi sosial, keindahan alam, budaya, keyakinan, dan keragaman karya seni masyarakat Bali yang disatukan ke dalam keharmonisan gerak.
Walau musik pengiringnya dihasilkan dari alat yang sama (Gamelan Bali), ada harmoni nada dengan kelembutan birama di sana.
Keseluruhan pemaknaan ini mencerminkan cara berpikir Beratha dengan pandangan yang sangat terbuka.
Perkembangan Tarian
1. Tari Kupu Kupu Tarum
Tarian Kupu-Kupu Tarum mengalami perkembangan yang demikian pesat dewasa ini.
Salah satu faktornya ada pada banyaknya penyelenggaraan lomba tari yang salah-satunya berisi Tari Kupu-Kupu Tarum.
Ketika piodalan pun, Tari Kupu-Kupu-lah yang jamak dipentaskan untuk menghibur atau balih-balihan.
2. Tari Kupu Kupu Anak-Anak
Tari “Kupu Kupu Kuning Angarung Samudra” adalah kreasi dalam bidang kesenian yang dihasilkan oleh Citra Usadhi Mengwitani, di Kabupaten Badung, Bali.
Tarian jenis kelompok ini dibawakan oleh sembilan anak perempuan, yang memakai kostum kupu-kupu kuning iminatif, diiringi alunan musik dari seperangkat Gamelan Semarandana.
Tariannya sendiri dituangkan dalam barungan gamelan tersebut dengan permainan patet, lengkap beserta dinamika dramatik untuk alur tematik C.
Tujuannya semata untuk mendiseminasikan sejarah Kerajaan Karangasem, sekaligus sebagai informasi kepada masyarakat bahwa peristiwa bersejarah itu bisa divisualisasikan menjadi tarian.
Selain itu, tentu saja agar menambah keanekaragaman dan khasanah tarian anak-anak.
Sehingga akan ada lebih banyak lagi pilihan bagi mereka dalam menyelami seni budaya Bali.
3. Drama Tari Kupu Kupu
Lain versi Kuning ketimbang Tarum, lain pula versi Carum.
Dikisahkan, Kupu-Kupu Carum adalah pengganggu tapa Abimanyu untuk memperoleh anugerah “Ayawanggani” pemberian dari Bhatara Siwa.
Tak sekadar menyukai wangi bunga, Kupu-Kupu Carum merupakan jelmaan widyadara dan widyadari yang berusaha menggoda tapa Abimanyu.
Pesannya adalah tentang ketabahan manusia dalam menghadapi cobaan sampai mampu meraih keinginannya.
Walau telah ada di Ubud semenjak kira-kira tahun 30-an, Kupu-Kupu Carum sempat mengalami masa-masa jarang dipentaskan.
Diupayakan bangkit sekitar 10-15 tahun lalu di Banjar melalui pementasan di hadapan wisatawan mancanegara, tetapi hilang karena sponsornya sudah tidak ada lagi.
Masalah tersebut maupun permintaan pentas yang minim bukanlah satu-satunya penghambat.
Keinginan generasi muda untuk menekuni kesenian ini yang hampir tidak ada juga termasuk.
Drama tari seperti ini sekiranya perlu diarahkan menjadi pertunjukan komersial, agar minat generasi muda bisa terpacu dan tidak mengalami vakum kembali.
Terlebih, saat para seniman yang sudah sepuh tidak ada lagi, maka akan kian sulit untuk membangkitkannya.
Nilai estetika atau keindahan Tari Kupu-Kupu terlihat dalam gerakan lincah nun dinamis dan menawan, perpaduan warna gelap dan terang kostum, serta pernak pernik mahkota dari para penarinya.
Itulah pembahasan mengenai tari kupu-kupu, salah satu tarian kebanggaan Indonesia sebagai keunikan dan nilai eksotis kebudayaan bangsa.
Kecintaan dan kebanggaan pada bangsa sendiri akan timbul, saat mau semakin mengenal kebudayaannya.
Jangan sampai kebudayaan yang telah sedemikian beranekaragamnya hilang, seiring zaman yang kian berkembang beserta kemajuan teknologinya.