Tari Kancet Papatai adalah tarian tradisional masyarakat Dayak Kenyah yang ada di Kalimantan Timur. Terdapat berbagai versi tentang kapan tari ini pertama kali muncul. Tari Kancet Papatai sendiri mengandung simbol tentang keberanian pria Suku Dayak dalam berperang. Para penari mengenakan kostum baju perang Suku Dayak yang dilengkapi dengan properti berupa kelembit atau perisai yang terbuat dari kayu. Jadi tarian ini bisa disebut juga sebagai tarian perang.
Pola lantai dasar Kancet Papatai adalah berupa pola horizontal. Tarian ini diiringi dengan alat musik Sampe dan lagu daerah masyarakat setempat.
Simak uraian lengkap Tari Kancet Papatai berikut ini.
Sejarah Tari Kancet Papatai
Tari Kancet Papatai adalah tarian perang yang berasal dari Dayak Kenyah yang menempati wilayah Kalimantan Timur, disamping Tari Gantar yang juga dari Kalimantan Timur.
Berdasarkan literatur sejarah, tak banyak sumber yang memberikan informasi bagaimana asal muasal tarian ini tercipta.
Sebagian besar berpendapat bahwa tari kancet papatai ini muncul dan dikenal masyarakat lokal semenjak tahun 1948.
Namun, ada kelompok juga yang mengatakan bila tarian ini ada dalam kurun waktu 1970-an, tepatnya di tahun 1976.
Di masa itu, suku dayak banyak yang tinggal di perbatasan antara kawasan dataran tinggi hulu sungai Kayan dan Serawak, Malaysia.
Sebelum tahun 1960-an, suku Apo Kayan dan Kenyah banyak yang menempati Kutai Barat dan Manilau.
Kemudian, suku dayak kenyah akhirnya memilih untuk berpindah karena tidak ingin menggabungkan diri dengan Malaysia.
Karena hal tersebut, selama bertahun-tahun warga suku Dayak Kenyah menjadikan berladang sebagai mata pencaharian utama.
Hal ini dilakukan sampai mereka tiba di kawasan Pampang, Samarinda Utara dan sebagian lainnya menuju ke Tanjung Palas.
Namun, keberagaman yang ada dalam suku Dayak menyebabkan adanya konflik sehingga terjadi peperangan antar suku.
Karena hal ini, maka masyarakat suku dayak memprakarsai tarian Kancet Papatai.
Tarian ini adalah wujud simbol keberanian dan ketangguhan kaum pria dayak Kenyah yang akan selalu bersedia untuk berjuang dalam medan pertempuran.
Lebih tepatnya, para pria dari dayak kenyah bukan kaum yang mudah untuk menyerahkan tanahnya untuk dikuasai.
Juga membuktikan bahwa suku dayak kenyah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Sehingga menjadi hal yang wajar bagi warga suku tersebut untuk menggabungkan diri kembali dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pola Lantai dan Gerakan
Dalam tari Kancet Papatai, terdapat pola lantai dasar yang harus diingat yakni pola horizontal.
Pada awalnya, tarian ini dimulai dengan gerakan yang sangat teatrikal.
Lalu dilanjutkan dengan gerakan yang diiringi dengan teriakan sehingga antar penari saling memprovokasi.
Hal tersebut akan menjadi titik awal terjadinya gerakan saling serang di antara para penari.
Nantinya, pada saat memasuki gerakan saling serang, terdapat jeda dalam pementasan.
Jeda ini terdapat pada adegan saat para penari terlihat sedang beristirahat dengan kudanya.
Aktivitas istirahat ini juga diringi dengan gerakan berputar-putar.
Sehingga hal ini akan menggambarkan bahwa para penari akan selalu siap siaga jika terdapat serangan mendadak.
Musik Pengiring
Untuk instrumen musiknya sendiri, Tari Kancet Papatai hanya menggunakan lagu daerah setempat yakni Sak Paku.
Sedangkan untuk alat musik tradisional Dayak Kalimantan disebut dengan sampe.
Sampe
Sampe sendiri juga sering digunakan pada berbagai acara adat semacam kesenian tari dan lainnya.
Hanya saja, sebutan Sampe tidak cuma satu saja.
Karena setiap sub suku Dayak memiliki sebutan sendiri diantaranya adalah sampe’, sape’, sempe bahkan kecapai.
Kata sampe diambil dari Bahasa Dayak yang dimaknak “memetik dengan jari”.
Bentuk sampe menyerupai gitar, hanya saja gagangnya sedikit lebih pendek.
Senar yang digunakan pun jumlahnya berkisar antara 3-4 senar saja.
Pada mulanya, senar yang digunakan hanya berupa senar yang dibuat dari serat pohon enau.
Namun lambat laun, senarnya bisa juga dibuatkan dari kawat kecil.
Uniknya, sampe ini memiliki ukiran kepala burung enggang yang menjadi kekhasan dari suku Dayak.
Cara memainkan alat ini yakni dipetik menggunakan jari.
Secara umum bentuknya serupa dengan gitar, pemain sampe harus menyetel ulang nada yang akan dimainkan.
Karena setiap nada akan menghasilkan alunan yang berbeda-beda.
Dalam kepercayaan masyarakat Dayak, Sampe’ difungsikan untuk mengungkapkan sisi emosional manusia.
Seperti halnya ungkapan sayang, kerinduan, gembira bahkan rasa duka.
Dan hal ini telah berlangsung lama sedari dulu.
Sebelum berkembang seperti sekarang, sampe’ sering dimainkan pada waktu siang dan malam hari.
Kalau dimainkannya siang hari sama saja dengan mengungkapkan perasaan gembira dan ceria.
Sedangkan di malam hari, sama saja dengan mengekspresikan ungkapan sedih dan syahdu.
Properti Tari Kancet Papatai
Dalam tarian Kancet Papatai terdapat properti yang perlu disiapkan.
Berikut penjelasan sederhana tentang properti tersebut.
1. Kelembit
Bagi masyarakat Dayak di Kalimantan, kelembit merupakan sejenis perisai yang dibuat dari bahan kayu bermassa jenis ringan.
Walaupun dibuat dari bahan yang ringan, namun kekuatannya sangat terjamin dan terdapat hiasan pada bagian luarnya.
Pada mulanya, Kelambit ini difungsikan sebagai penangkis dalam mempertahankan diri dari serangan musuh.
Mandau.
Selain membawa perisai, para penari Kancet Papatai juga menggunakan senjata khas Dayak, yakni Mandau.
Mandau adalah sejenis senjata khas Dayak yang difungsikan sebagai warisan generasi alias pusaka turun temurun.
Pusaka ini biasanya disakralkan dan terdapat kesaktian di dalamnya.
Cara penggunaan Mandau biasanya dengan cara mengikatkan di bagian pinggang.
2. Baju Perang Dayak
Selanjutnya, terdapat baju perang Dayak yang menjadi properti utama.
Baju perang ini dapat dibuat dari bahan alami yakni kulit kayu dan binatang.
Keunikan pada baju perang ini, terdapat logam yang menghiasinya, sehingga terlihat lebih elegan dan menawan.
Selain logam, terdapat tulisan atau rajah yang diyakini dapat menjadi jimat keselamatan bagi pemakainya.
Pertunjukkan
Dalam pementasannya, Tari Kancet Papatai dilakukan oleh ajai dan diikuti dengan tarian iringan asal suku Dayak juga.
Simak penjelasan di bawah ini ya!
1. Ajai
Dalam kepercayaan masyarakat Dayak, ajai adalah sebutan bagi para penari laki – laki.
Ajai ini yang nantinya akan memperagakan gerakan saling serang dalam pementasan Tari Kancet Papatai.
2. Tari Iringan
Tari iringan yang mengiringi tari Lancer Papatai terdiri dari dua tarian yakni Tari Kancet Ledo dan Tari Kancet Lawan.
a. Tari Kancet Ledo
Tari Kancet Ledo adalah tari yang berasal dari Dayak Kalimantan Timur, lebih tepatnya di wilayah suku Dayak Kenyah.
Tarian ini juga biasa dikenal dengan sebutan Tari Gong.
Gerakan tarian ini sendiri dibawakan oleh seorang remaja perempuan alias gadis dengan menggunakan gong sebagai instrumen pengiring.
Bahkan, uniknya lagi gadis yang membawakan tarian ini juga ikut menari di atas gongnya.
Sebenarnya, tarian gong ini merupakan penggambaran dari kecantikan dan kemolekan seorang gadis.
Gadis ini nantinya akan diperebutkan oleh dua pemuda Dayak.
Selain menggunakan gong, tarian ini juga diiringi oleh alat musik tradisional berupa sampe.
Dari tarian ini dapat disimpulkan bahwa seorang wanita sejatinya adalah sosok yang lembut, pandai, dan cantik sehingga menjadi sebuah kewajaran jika memang diperebutkan oleh pemuda Dayak.
Gerakan dalam tarian ini tidak terlalu banyak. Sang penari hanya akan menggunakan gerak tubuh dan tangan dengan karakter yang lemah lembut.
Bahkan, gerakan dalam tarian ini kebanyakan diulang-ulang karena yang sengaja ditonjolkan adalah kelembutan sang gadis penari.
b. Tari Kancet Lasan
Selain tari Kancet Ledo, terdapat pula tari Kancet Lasan sebagai tari iringan.
Tarian ini sangat berkaitan erat dengan burung enggang alias rangkong.
Bagi masyarakat Dayak Kenyah, burung ini sangat dimuliakan.
Jadi dapat dikatan bahwasannya tari Kancet Lasan merupakan penggambaran dari keseharian burung enggang.
Bagi masyarakat Dayak Kenyah, burung enggang dianggap sebagai penjelmaan dari leluhur mereka.
Mereka meyakini bahwa burung tersebut merupakan leluhur mereka yang turun dari langit ke bumi dalam wujud burung enggang.
Maka dari itu, burung enggang ini menjadi salah satu kategori binatang yang dilindungi dan dikeramatkan.
Bahkan hewan ini dijuluki sebagai simbol dari keagungan dan kepahlawanan dengan sebutan Panglima Burung.
Pendapat lain menyatakan bahwa tarian ini merupakan sebuah bentuk gambaran kebiasaan umum dalam kehidupan masyarakat Dayak.
Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, bahwa masyarakat Dayak punya kebiasaan nomaden (berpindah dari satu tempat ke tempat lain).
Untuk gerakannya sendiri tarian ini memiliki tiga gerak dasar menyerupai gerakan burung enggang.
Pertama, gerakan Nganjat yang merupakan gerakan inti dari tari Kancet Lasan.
Kedua, gerakan Ngasai adalah gerakan yang merepresentasikan cara terbang burung enggang.
Ketiga, gerakan Purak Barik sebagai wujud dari gerakan berpindah tempat.
Makna
Setiap kebudayaan pasti mengandung pesan moral untuk disampaikan pada generasi mendatang.
Sehingga, melalui pesan moral inilah diharapkan generasi muda dapat mengambil hikmah yang bisa dipetik.
Menunjukkan Keberanian
Pesan utama dalam tarian ini yakni ingin menunjukkan keberanian yang dimiliki para pemuda Dayak.
Sehingga, dengan menunjukkan keberanian mereka maka tidak akan ada satupun yang berusaha untuk menjajah dan menindas suku mereka.
Hal ini merupakan sebuah kewajaran di masa lampau.
Bahkan, di masa lampau seringkali terjadi peperangan antar suku.
Suku yang menang dalam peperangan akan mendapat tanah dari lawan yang kalah.
Pelestarian Tari Kancet Papatai
Salah satu cara menjaga kelestarian tari ini adalah melalui festival budaya.
Festival Budaya
Seiring bertambahnya kecanggihan teknologi, sangat disayangkan bila tari Kancet Papatai tidak dapat dilestarikan.
Karena tarian ini memiliki berbagai manfaat baik bagi para penarinya maupun masyarakat Jawa secara luas.
Demikian ulasan tentang tari Kancet Papatai ini ya, kawan!
Semoga apa yang sudah terbahas menjadi pencerah dan penjelas bagi kita semua bahwasannya Indonesia sangat kaya dengan kebudayaan yang ada.
Kebudayaan ini perlu diingat dan dijaga filosofinya sehingga memberikan kesan dan makna yang mendalam bagi generasi mendatang.
Jangan lupa untuk membaca ulasan tarian adat lainnya seperti Tari Monong, Tari Bosara, dan lainnya ya!