Dayak digunakan sebagai nama kolektif untuk suku bangsa asli pulau Kalimantan (termasuk juga wilayah Sabah serta Serawak Malaysia).
Istilah Dayak mengacu pada asal kata ‘Daya’ yang berarti hulu, dengan merujuk kebiasaan masyarakat tersebut bermukim di wilayah hulu sungai daerah pedalaman.
Kehidupan mistis, tinggal di pedalaman, bertato, aksesoris pakaian yang cantik, dan perempuan berparas cantik sudah sejak lama melekat sebagai identitas suku Dayak.
Bagaimana sebenarnya kehidupan suku indigeneous yang sangat unik ini?
Yuk cari tau!
Asal-usul Suku Dayak
Sejarah Suku Dayak bermula dari keturunan bangsa Austronesia yang berasal dari Yunan, Cina Selatan masuk Indonesia pada tahun 3000 SM.
Suku bangsa ini mulai bermukim di Indonesia salah satunya di pulau Kalimantan dan disebut-sebut sebagai nenek moyang suku Dayak.
Imigran dari Cina ini menempuh dua jalur, pertama melalui Vietnam (dulu disebut Indocina), Malaysia (Semenanjung Malaya), menuju Sumatera dan berakhir di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Rute kedua menempuh rute dari Hainan (Cina Selatan) menuju Taiwan, kemudian Filipina dan melintasi Laut Cina Selatan hingga mencapai Kalimantan bagian barat, utara dan timur.
Perbedaan jalur kedatangan ini kemudian mengakibatkan terbentuknya beragam kebudayaan yang dipengaruhi budaya di masing-masing daerah singgahan selama perjalanan.
Akibatnya dewasa ini suku Dayak terbagi menjadi ratusan sub etnis.
Pembagian sub etnis
Dayak merupakan sebutan kolektif dari ratusan sub etnis yang ada. Perbedaan adat istiadat, daerah tinggal, bahasa dan kebiasaan menjadi beberapa acuan pemberian nama pada setiap sub.
Nama ini biasanya exonym atau merupakan nama julukan dari orang luar kelompok mereka.
Penggolongan H.J. Malinckrodt (1928) yang dipaparkan oleh F. Ukur (1971) menyebutkan bahwa terdapat enam rumpun suku Dayak yang dikenal sebagai stammenras, yang terdiri dari 1) Kenya, Kayan, Bahau; 2) Ot Danum; 3) Iban; 4) Klemantan; 5) Dayak Moerot; dan 6) Poenan.
Pendapat berbeda, dikemukakan bahwa suku Dayak dikelompokkan menjadi tujuh kelompok yakni Ngaju, Apukayan, Iban, Klemantan (Dayak darat), Murut, Punan dan Danun.
Masing-masing suku memiliki sub etnis dengan jumlah yang berbeda, sampai sekarang tercatat ada 405 sub etnis suku Dayak.
Ciri khas
A. Rumah adat
Suku Dayak mendiami rumah yang biasa disebut rumah Panjang, Radakng, Lamin, Betang dan masih banyak lagi.
Pada dasarnya rumah tersebut berbentuk rumah panggung yang memanjang.
Uniknya, arah rumah harus mengikuti aturan bagian hulu rumah ada di penjuru matahari muncul sedangkan untuk hilirnya di sebelah matahari tenggelam.
Hal ini secara simbolis mengartikan kerja keras seorang manusia dilakukan sepanjang matahari mulai terbit sampai terbenam.
B. Pakaian adat
Pakaian adat adalah manifestasi adat istiadat dan kebiasaan suatu suku bangsa.
Hal tersebut pada masyarakat Dayak dimunculkan pada motif dekoratif pakaian yang menarik dan meriah.
Disebabkan banyaknya pengelompokan suku Dayak, maka hampir setiap sub etnis mengakuisisi masing-masing pakaian adat meskipun beberapa model memiliki ciri yang mirip.
1. Ta’a dan Sapei Sapaq
Ta’a dan Sapei sapaq merupakan baju tradisional Dayak Kenyah yang bertransformasi menjadi pakaian adat daerah Kalimantan Utara.
Ta’a dikenakan kaum wanita sedangkan Sapei sapaq digunakan oleh pria.
Ta’a terbuat dari beludru berwarna hitam berbentuk rompi tanpa lengan sebagai atasan, dan rok bermotif sama sebagai bawahan.
Motif dan aksesoris seperti kalung dan gelang menggunakan warna mencolok seperti merah, hijau, biru dan putih.
Motif pada pakaian ini menunjukkan strata sosialnya.
Misalnya motif dengan gambar harimau dan burung enggang untuk kaum elite sementara tumbuhan untuk masyarakat umum.
Kombinasi mencolok lagi untuk pakaian adat ini adalah penambahan rumbai pada bagian dada dan lengan, serta penggunaan penutup kepala berhiaskan bulu burung enggang.
Hampir sama dengan Ta’a, Sapei sapaq juga mengenakan baju rompi berwarna hitam.
Hanya saja bawahannya dipadukan dengan celana pendek (dahulu menggunakan cawat).
Aksesoris tambahan lain yang melengkapi baju Sapei sapaq adalah Mandau yang diselipkan di pinggang dan perisai.
2. King Bibinge dan King Baba
King Bibinge adalah pakaian adat Dayak Kanayatn yang berkembang menjadi baju adat Kalimantan Barat.
Bahan dasar pakaiannya terbuat dari kulit kayu Gantiingan (baju akan berwarna putih) ataupun Talong (membentuk lembaran kain berwarna cokelat tua) yang berserat tinggi.
Pemrosesan dilakukan dengan memukul kulit pohon yang dikerjakan dalam air menggunakan pemukul kayu bulat.
Selanjutnya, kain yang terbentuk kemudian dilukis dengan motif khas Dayak.
King Bibinge yang dipakai kaum perempuan berbentuk rompi yang dilengkapi dengan stagen.
Aksesoris tambahannya antara lain kalung dari akar kayu untuk menangkal roh halus, manik-manik, gelang tangan yang terbuat dari pintalan akar pohon Tengang sebagai penolak bala, dan penutup kepala dari bulu Ruai atau Enggang yang dikenal dengan nama Tangkulas.
Sementara itu, King Baba adalah pakaian kaum laki-laki.
Berbentuk rompi yang dipadukan dengan bawahan celana.
Selain itu, ikat kepala dengan sehelai bulu burung Enggang, Mandau dan perisai juga dibubuhkan sebagai kelengkapan pakaian adat pria.
3. Sangkarut
Sangkarut adalah pakaian adat yang berasal dari Suku Dayak Ngaju dan diakui sebagai busana adat Kalimantan Tengah.
Sangkarut berarti rompi berwarna cokelat karena berasal dari serat kayu Siren yang dipercantik dengan warna dan motif khas.
Namun seiring waktu bahan pembuatnya berubah menjadi kain tenun halus.
Sangkarut dikombinasikan dengan bawahan sebatas lutut.
Sebagai pemanis, dikenakan pula aksesoris berupa gelang, kalung maupun penutup kepala, pada pria disebut salutup hatue dan pada wanita dikenal dengan nama salutup bawi.
Tidak ketinggalan, perisai dan Mandau yang dibawa oleh laki-laki suku Dayak.
C. Senjata
1. Mandau
Mandau yakni senjata tradisional masyarakat Dayak yang terlihat seperti parang berukuran 50 hingga 60 cm.
Bagian pegangannya terbuat dari kayu (beberapa menggunakan tanduk rusa) yang dibubuhi ukiran binatang dan dikombinasikan dengan aksen geometris.
Bagian utama yaitu bilahnya berbahan besi baja dengan ukuran huruf S saling bersilangan yang menyimbolkan laki-laki Dayak mengacu pada mati; perang; lawan dan perempuannya simbolik dari hidup; damai; kawan.
Kumpang atau sarung untuk Mandau terbuat dari dua lapis kayu dengan hiasan berupa ukiran bermotif antroposentris manusia, hewan dan tumbuhan.
2. Talawang
Talawang atau perisai orang Dayak adalah pelindung yang biasanya digunakan dalam perang bersama dengan Mandau.
Talawang berbahan kayu ulin berbentuk persegi panjang yang meruncing di bagian ujung atas maupun bawah.
Talawang memiliki panjang 1 sampai 2 meter sedangkan lebarnya biasanya tidak lebih dari 50 cm.
Bagian dalam yang menghadap ke tubuh manusia diberi pegangan, sedangkan bagian luarnya dihias menggunakan ukiran motif Dayak.
Seiring berkembangnya waktu, sekarang Talawang banyak juga yang dihias menggunakan manik-manik dengan warna mencolok yang indah.
3. Sumpit
Sumpit merupakan senjata andalan lain orang Dayak, yaitu senjata semacam panah.
Sumpit didesain dari pohon pelawi dengan panjang 1 – 3 meter, dengan damek (anak panah) yang akan dilontarkan dibuat dari bahan bambu.
Biasanya, ketika digunakan untuk berburu bagian ujung anak panahnya dilumuri racun yang berasal dari getah pohon.
Saat ini, sumpit tidak hanya digunakan sebagai alat berburu, lebih jauh sudah dikembangkan sebagai sebuah seni ketangkasan.
Demi menjaga kelestariannya, Pemkot Singkawang, Kalimantan Barat membuat turnamen menyumpit berskala internasional sejak 2011 silam.
D. Bahasa adat
Bahasa adat yang diakui di kalangan suku Dayak sangat beragam tergantung sub etnisnya.
Rumpun Dayak Iban mengenal ada 6 bahasa; rumpun Ot Danum 20 bahasa; rumpun Dayak Kayan 17 bahasa; rumpun Klemantan 16 bahasa; dan rumpun Dayak Kenyah 12 bahasa.
Bahasa dalam suku Dayak sebenarnya sulit untuk dirinci karena biasanya masing-masing tempat akan memiliki dialek yang berbeda meskipun menggunakan bahasa yang sama.
Sebagai contoh, Suku Dayak Kanayatn yang sehari-hari menggunakan bahasa ahe dan damea, apabila bertempat tinggal di Meranti maka akan muncul dialek behe, moro dan padakng bekambai.
Berbeda dengan yang bermukim di Menyuke, dialek yang digunakan adalah songga batukng-ngalampa dan satolo-ngalampa.
Kesenian Suku Dayak
A. Alat musik
1. Sape
Sape merupakan alat musik petik yang menjadi ciri khas kesenian orang Dayak.
Sape digunakan untuk mengiringi upacara dan ritual, juga sebagai hiburan.
Mulanya sape hanya digunakan untuk pengiring tarian saat ‘kepala manusia’ hasil kayau sampai di rumah Pajang.
Sape dibuat dari kayu adau yang dibentuk, kemudian dibubuhi dawai berjumlah empat hingga enam.
Permainan sape dalam tempo cepat disebut nada sakpakok, sementara yang bertempo lambat dikenal dengan tubunsitun.
Uyau Moris adalah sosok musisi sape yang terkenal bahkan hingga kancah internasional.
Uyau Moris adalah keturunan Dayak Kenyah yang tinggal di Malinau, Kalimantan Utara.
Gurunya adalah seorang pemain sape terkenal bernama Majan Kasit, yang sekaligus adalah kakeknya sendiri.
Permainan sape yang dibawakan oleh sang master, Majan Kasit dapat disaksikan pada video berikut ini:
Sedangkan permainan sape oleh Uyau Moris, yang membawakan lagu tradisioanl berjudul Datun julut dapat dinikmati di video berikut ini:
2. Gandang
Merupakan jenis gendang yang digunakan oleh masyarakat untuk memainkan musik terutama untuk iringan tarian dan ritual adat.
3. Gong Garantung
Ialah gong dari suku Dayak dengan ciri khasnya yaitu tidak menimbulkan gema yang lama setelah dipukul.
4. Gamang
Adalah model alat musik pukul yang digunakan di kalangan Dayak Maanyan.
Alat musik ini terbuat dari kayu dan menghasilkan nada do, re, mi, sol, la ketika dimainkan.
5. Entebong
Tipe alat musik pukul yang merupakan kebanggaan masyarakat Dayak Mualang.
Di daerah lain, entebong dikenal dengan nama gendang.
6. Kalali
Merupakan alat musik yang dimainkan dengan cara ditiup.
Dibuat dari buluh kecil dengan panjang kurang lebih 50 cm.
Bagian ujung kalali dibuat beruas dan di dekat ruasnya diberikan lubang kecil.
Buluh rotan dipasang di ujung ruas yang kemudian ditalikan ke batang kalali.
Tinggi rendah nada dihasilkan dari lima lubang yang dibuat sepanjang buluh rotan.
Alat musik ini mirip dengan seruling.
7. Tote
Termasuk alat musik tiup dari buluh dengan ujung dalamnya ditambahkan lidah.
Sepanjang batang tote dilubangi sebanyak dua atau tiga lubang untuk menghasilkan nada yang berbeda ketika ditiup.
8. Kaledik
Alat musik tiup suku Dayak ini sangat unik karena dibuat dari kombinasi batang bambu dan labu yang dikeringkan, kemudian dibubuhkan benang.
Kaledik yang ditiup akan menghasilkan nada pentatonik.
B. Tarian adat
Tarian adat suku Dayak juga sangat beragam.
Tarian ini biasa dkgunakan untuk melakukan ritual adat maupun keagamaan.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut,
1. Tari Kinyah Mandau
Merupakan tari teatrikal peperangan menggunakan senjata Mandau.
Sekarang tari ini banyak digunakan sebagai tari penyambutan tamu kehormatan di Kalimantan Tengah, namun sebenarnya hampir semua sub suku Dayak mengenal dan menggunakan tarian ini.
2. Tari Ajat Temuai Datai
Yakni tarian untuk penyambutan tamu berasal dari Dayak Mualang di Kalimantan Barat.
Dahulunya, tarian ini ditarikan untuk menyambut tokoh Dayak yang membawa pulang ‘kepala manusia’ setelah mengayau (memenggal kepala musuh).
3. Tari Hudoq
Merupakan tarian bertopeng dalam ritual Dayak Bahau dan Dayak Modang di Kalimantan Timur.
Tari Hudoq ditarikan saat musim buka lahan tanam padi.
Formasi penarinya terdiri dari orang dengan topeng (hudoq) binatang babi atau monyet yang merupakan simbol hama pengganggu tanaman; topeng burung elang melambangkan pelindung, dan penari tanpa topeng sebagai perwujudan leluhur.
Simbolik lainnya dari penari Hudoq adalah kostum serba hijau yang biasanya merupakan tempelan dedaunan sebagai representasi doa supaya tanaman tetap menghijau.
C. Lagu Adat
Suku Dayak dalam melakukan ritual adat dan keagamaan memang diiringi oleh alat musik dan lantunan syair.
Namun uniknya, syair yang biasanya ‘dinyanyikan’ oleh seorang Tabit (dukun) ini lebih merujuk pada mantra dan permohonan, sehingga liriknya variatif.
Beberapa judul lagu popular di kalangan suku Dayak Kanayatn yang tinggal di Kalimantan Barat antara lain Batamu; Babalas pantun; Kambang bepanggel; Sayangku ka kao; Pasatn Urakng tuha; dll.
Tato
Merajah tubuh atau dalam bahasa modern dikenal dengan tato adalah salah satu ciri khas masyarakat Dayak.
Tato yang diukir memiliki maksud tertentu, sebagai contoh pada kaum pria ukiran bisa ditunjukkan sebagai tanda telah melakukan sesuatu seperti berbuat kebaikan ataupun membunuh.
Sementara untuk kaum perempuan, tato lebih ditujukkan sebagai penangkal roh jahat maka ukirannya bermakna suluh bagi roh ke alam baka.
Tradisi
A. Tradisi Penguburan
Upacara penguburan jenazah di suku Dayak merupakan salah satu ritual sakral yang tercantum dalam hukum adat.
Terdapat tiga tradisi berbeda merujuk pada media penguburan yang digunakan.
Terdiri dari a) penguburan tanpa peti dengan kerangka dilipat; b) penguburan menggunakan peti batu; dan c) penguburan dengan peti kayu, bambu dan tikar.
Prosesi ritualnya terdiri dari dua tahapan yaitu,
1. Penguburan tahap primer
- Parepm api digunakan untuk menyebut upacara pelepasan seseorang yang telah meninggal untuk diberangkatkan ke Lumut (surga).
Upacara ini dilakukan hari ke tujuh jika seorang perempuan yang meninggal, dan hari ke enam apabila laki-laki.
Hal ini merujuk pada kepercayaan bahwa seorang laki-laki akan tiba di Lumut satu hari lebih lambat karena tulang rusuk bagian kirinya tidak lagi lengkap. - Kenyau adalah tahapan kedua yang biasa dilaksanakan selama sembilan hari sembilan malam.
Namun, tahapan ini boleh dihilangkan apabila ada ihwal tertentu misalkan keadaan ekonomi yang kurang mendukung.
2. Penguburan tahap sekunder
Upacara puncak dari prosesi penguburan suku Dayak disebut Kwangkai.
Ritual ini ditujukan untuk memberikan tempat terbaik bagi seseorang yang telah meninggal tersebut.
Upacara ini biasanya digelar minimal dua tahun dari hari kematian.
Ritual dimulai dengan menampilkan tarian yang dibawakan oleh laki-laki yang disusul perempuan.
Kemudian dilanjutkan dengan prosesi peturi kelelungan atau menidurkan roh dengan cara memanjatkan doa dengan duduk mengitari kotak tempat menyimpan tengkorak.
Penanaman belontakng kemudian dilakukan untuk tempat menambatkan hewan kurban (sapi atau kerbau) yang akan digunakan pada hari puncak.
Upacara puncak diawali dengan menombak hewan yang dikorbankan, kemudian tulang tengkorak dibersihkan dan diusap dengan darah hewan untuk diantarkan ke surga.
Dokumentasi prosesi pemakamannya secara singkat bisa dilihat di sini:
B. Mangkok Merah
Ialah media komunikasi untuk menyampaikan isyarat bahaya.
Komponen mangkok merah terdiri dari mangkok itu sendiri yang memang berwarna merah, darah ayam, abu, dedaunan kajang, batang korek api dan juga bulu ayam.
Mangkok merah diedarkan berantai door to door.
Beredarnya mangkok merah ini, salah satunya ditindak lanjuti dengan mengayau.
C. Upacara
1. Upacara Tiwah
Adalah prosesi mengantarkan tulang seseorang yang telah meninggal ke Sandung (rumah khusus untuk menyimpan tulang belulang leluhur).
Ritual diwujudkan melalui tarian yang mengelilingi sangkay raya dengan iringan musik tradisional Dayak.
Tiwah ini merupakan salah satu rangkaian acara yang juga terikut sebagai penguburan tahap sekunder.
2. Mengayau
Merupakan aksi memenggal kepala musuh kemudian membawa kepala manusia sebagai hasil Kayau ke rumah, dan seseorang yang berhasil tersebut dianggap sebagai pahlawan.
Kayau dibolehkan sebagai alasan untuk pembelaan diri terhadap ancaman dari luar.
Alasan itu antara lain melindungi hasil pertanian, memperoleh tambahan daya rohaniah, dan balas dendam.
Sekarang ini, ngayau sudah ditinggalkan oleh masyarakat suku Dayak.
C. Sistem Medis Tradisional
Pengobatan tradisional suku Dayak dikenal dengan istilah tatamban obat kampung yang dilakukan oleh seorang Tabit/ Lasang atau dalam bahasa Indonesia dukun.
Eksistensinya hingga saat ini belum hilang karena sistem pengobatan ini masih dianggap efektif dalam menyembuhkan penyakit, dan tentu saja biayanya tergolong lebih murah.
Pengobatannya dimulai dengan sang Tabit melakukan diagnosis penyakit pasiennya, salah satunya melalui mimpi.
Apabila prognosis penyakit sudah didapatkan maka disusul dengan dilakukannya tindakan.
Penyakit ringan seperti demam atau batuk diobati dengan air tawar seribu, air minum yang telah dibacakan mantra oleh tabit.
Jika pasien belum sembuh, hal selanjutnya yang akan dilakukan adalah mangul, yaitu prosesi pengangkatan penyakit dari tubuh pasien menggunakan batu dan minyak pisik yang dioleskan ke tubuh pasien.
Hal ini dipercaya mampu menetralisir dan membunuh penyakit yang ada.
Langkah seterusnya apabila pasien belum menunjukkan tanda kesembuhan maka akan dirujuk ke sistem medis modern di rumah sakit.
Tindakan terakhir jika tetap belum sembuh adalah melalui ritual balian sangiang atau biasa dikenal dengan tenung, yaitu ritual permohonan kesembuhan kepada sahur parapah (roh leluhur) yang dipercayai sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan Ranying Hatalla Langit (Tuhan).
Masyarakat Dayak selain menggunakan batu dan minyak, juga mengenal tindakan fisioterapi lain untuk melakukan penyembuhan suatu penyakit.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut,
- Ritual mandi kembang, dilakukan untuk menghilangkan sial (kapohonan), gangguan roh halus dan ilmu hitam, serta mata luka.
- Pemanfaatan tumbuhan di alam seperti dengkek dan terpadu yang merupakan dua jenis paling sering digunakan.
Keduanya memiliki batang dengan kandungan air banyak.
Bedanya, batang dengkek berwarna kuning sedangkan terpadu merah.
Ada dua cara dalam memanfaatkannya, pertama dengan menampung air yang menetes dari batang pohon dan kedua dilakukan perebusan batang tanaman tersebut.
Tanaman dengkek biasa digunakan mengobati sakit hepatitis, sementara tanaman terpadu lazim untuk demam. - Ramuan minyak binatang yang difungsikan bagi pengobatan luka fisik dan patah tulang.
D. Telingaan Aaruu
Yaitu tradisi suku Dayak memanjangkan bagian cuping telinga menggunakan pemberat berbahan logam berbentuk seperti gelang.
Pemasangan pemberat ini dilakukan saat bayi berumur satu tahun dan terus digunakan sehingga cuping telinga akan memanjang dengan sendirinya bebeapa sentimeter.
Tujuan dari telingaan aruu ini salah satunya untuk menunjukkan status sosial seseorang dan juga bermakna filosofis sebagai simbolik pembelajaran sabar dan kesanggupan menahan rasa sakit.
Kaum laki-laki hanya boleh memanjangkan telinga maksimal sampai bahu, sedangkan untuk perempuan batasannya adalah sampai dada.
Telingaan Aaruu (sumber: www.indonesiakaya.com)
Agama dan Kepercayaan
Kepercayaan asli masyarakat Dayak secara resmi adalah Kaharingan.
Nama ini berasal dari istilah Danum Kaharingan yang memiliki arti air kehidupan.
Pemeluknya percaya bahwa setiap benda maupun makhluk di bumi memiliki jiwa.
Mereka menyembah Tuhan yang disebut Ranying Hatalla Langit.
Tempat peribadatan penganut agama ini disebut Balai Kaharingan dengan kitab sucinya Panaturan.
Menurut kepercayaan, nama Dewa hanya boleh disebutkan oleh seorang Pisur (pemuka agama) dan tidak boleh sembarangan, semata-mata diucapkan dalam upacara keagamaan serta upacara adat.
Panglima Suku Dayak
Suku Dayak mengenal setidaknya ada empat orang panglima yang diyakini mempunyai peran untuk melindungi dari ancaman musuh.
Siapa dan dimana keberadaan sosok panglima tersebut tetap misterius.
Sang panglima baru akan muncul saat peperangan dengan kondisi pasukan dalam keadaan terdesak. Panglima tersebut adalah,
- Panglima Api yang berasal dari Dayak Iban. Kekuatannya adalah mampu memunculkan kobaran api yang dapat meruntuhkan pertahanan musuh.
- Panglima Angsa biasa dikenal dengan panglima kilat karena biasanya kemunculannya berbarengan terjadinya kilat.
- Panglima Sumpit dikenal dengan peranannya membantu suku Dayak dengan memanfaatkan senjata sumpit.
- Panglima Naga adalah panglima yang paling misterius dan susah ditemui dan bertempat tinggal di gunung.
Mata Pencaharian
Dahulunya suku Dayak hidup secara nomaden dan bergantung hidup dengan cara berburu.
Namun dengan perkembangan jaman, masyarakat Dayak mulai beralih mata pencahariannya menjadi bertani, berladang, berkebun, dan bekerja sebagai pegawai pada instansi pemerintahan maupun swasta.
Meskipun begitu, masyarakat Dayak tetap menjaga kearifan lokal dan berusaha menjaga kelestarian alam.
Perempuan Suku Dayak
Tersohor hingga mancanegara perempuan suku Dayak dikenal sangat cantik.
Selain itu banyak yang menambahkan embel-embel magis pada anggapan terhadap perempuan Dayak.
Beberapa diantara stigma yang melekat adalah memiliki kemampuan untuk menghilangkan alat kelamin seorang laki-laki yang menyakiti hatinya, juga mampu ‘mengunci’ pria yang disukainya sehingga tidak bisa lagi pulang ke asalnya.
Cukup menyeramkan, ya?
Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan tersebut alangkah lebih baik jika penilain bisa dilakukan dengan lebih open minded, dan yang paling penting adalah tidak membuat tersinggung pihak lain, termasuk para perempuan suku Dayak.
Adil ka `talino, Bacuramin ka `saruga, Basengat ka `jabata
(Adil kepada sesama manusia, Bercermin ke Surga, Nafas hidup itu berasal dari Tuhan)
Nah, penjabaran terperinci tentang Suku Dayak ini semoga dapat memberikan pemahaman yang mumpuni untuk menambah khazanah keilmuan tentang betapa kayanya Indonesia.
Wawasan seperti ini perlu terus diapresiasi untuk meningkatkan sense of belongings terhadap kebudayaan Indonesia yang luar biasa.