Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan ibu kota Kupang sebenarnya memiliki berbagai rumah adat yang unik dan khas.
Namun, selama ini hanya rumah adat NTT bernama Mbaru Niang di kawasan Wae Rebo yang terekspos menjadi tujuan wisata selain Labuan Bajo.
Padahal, selain Mbaru Niang masih ada banyak rumah adat lain yang ditinggali oleh suku berbeda di seluruh provinsi kepulauan ini.
Apa saja jenis rumah adat tersebut dan bagaimana penjelasan detailnya?
Berikut ini adalah ulasan mengenai apa nama berbagai rumah adat yang ada dan dilengkapi dengan gambar.
Rumah Adat NTT dan Penjelasannya
NTT adalah provinsi berbentuk kepulauan yang dihuni oleh beragam suku bangsa, antara lain suku Manggarai, Ende Lio, Atoni, Alor dan Rote.
Masing-masing suku ini memiliki adat dan keunikannya yang berbeda, sehingga memunculkan berbagai rumah adat di NTT.
Rumah tradisional yang bertransformasi menjadi rumah adat di NTT ini antara lain rumah Mbaru Niang, Musalaki, Sao Ngada serta Sao Ata Mosa Lakitana.
Dalam bahasa NTT, Sao memiliki arti rumah adat.
Oleh karenanya kebanyakan rumah adat diawali dengan nama Sao dan diberi imbuhan sesuai dengan karakter suku masing-masing.
Beberapa nama rumah adat juga dipakai sebagai nama kolektif yang berdampingan dengan nama particular (nama aslinya).
Karena perkembangan budaya modern, penggunaan rumah adat ini semakin bergeser dan ditinggalkan.
Salah satu contoh upaya preventif mencegah hilangnya rumah adat, maka sekelompok arsitek melakukan gerakan rumah asuh yang dimulai pada tahun 2008.
Salah satu program yang berhasil adalah revitalisasi rumah Mbaru Niang di kampung Wae Rebo.
Kawasan ini sekarang menjadi salah satu destinasi wisata utama di wilayah NTT bagi para traveler dan foto hunter.
Jenis Rumah Adat NTT dan Keunikannya
A. Rumah Adat Mbaru Niang
Rumah adat Manggarai disebut dengan nama rumah Mbaru Niang, mengacu pada bentuknya yang kerucut dengan alas bundar.
Mbaru Niang merupakan salah satu rumah adat yang sangat eksotis karena terisolir di atas pegunungan.
Mbaru Niang dihuni oleh warga kampung Wae Rebo di Pulau Flores.
Kampung ini dikelilingi hutan tropis Manggarai Barat yang lebat dan tepat berbatasan dengan Taman Nasional Komodo.
Mbaru Niang di Wae Rebo didirikan sebanyak tujuh buah sebagai simbol penghormatan masyarakat terhadap tujuh gunung yang mengelilingi dan melindungi area kampung.
Rumah Mbaru Niang dibangun di atas tanah datar dan disusun mengelilingi panggung batu bernama Compang, sebagai pusat dari ketujuh di sekelilingnya.
Compang dilengkapi dengan menhir batu yang ditancapkan, dan area ini memiliki fungsi sebagai area pemujaan terhadap Tuhan dan roh leluhur.
Susunan rumahnya dibuat dengan arah hadap selatan membentuk setengah lingkaran.
Komposisi ini bertujuan agar setiap rumah Mbaru Niang tidak saling membelakangi.
Mbaru Niang yang diposisikan di tengah-tengah bernama Mbaru Gendang, dan berfungsi sebagai museum penyimpanan gendang dan barang pusaka lainnya milik warga Wae Rebo.
Rumah lainnya yang berjumlah enam di sayap kiri dan kanan Mbaru Gendang disebut Niang Gena (rumah tempat tinggal).
Nama-nama Niang Gena tersebut adalah 1) Niang Gena Mandok, 2) Niang Gena Jekong, 3) Niang Gena Ndorom, 4) Niang Gena Pirung, 5) Niang Gena Jintam, serta 6) Niang Gena Maro.
Eksistensi Mbaru Niang yang berhasil dipertahankan di Wae Rebo memperoleh penghargaan UNESCO Asia-Pasifik sebagai daerah konservasi warisan budaya pada tahun 2012.
Fungsi Rumah Adat
Mbaru Niang tidak hanya difungsikan untuk rumah hunian, tetapi lebih luas berperan sebagai pusat kegiatan masyarakat Wae Rebo.
Setiap Mbaru Niang biasa digunakan 6 sampai 8 keluarga dengan pembagian masing-masing ruang.
Filosofi, Ciri Khas dan Keunikan Konstruksi
Mbaru Mbaru Niang sebagai rumah tradisional yang diwariskan oleh leluhur secara turun temurun, memiliki berbagai filosofi di setiap elemen di dalamnya.
Rumah Mbaru Niang melambangkan seorang ibu dengan menarik intisari sifat melindungi, mengayomi dan memberikan rasa aman.
Persambungan di masing-masing konstruksi bangunannya dianggap sebagai visualisasi pernikahan sepasang suami istri dalam membangun keluarga.
Keunikan rumah Mbaru Niang berada di bentuk atapnya.
Atap rumah Mbaru Niang terbuat dari daun lontar yang dikombinasikan dengan ijuk.
Atap tersebut berbentuk kerucut dan dipasang menjulur hingga mencapai tanah.
Bentuk kerucut dianggap sebagai representasi perlindungan dan persatuan.
Lantai rumah Mbaru Niang disusun dengan bentuk lingkaran menyimbolkan keadilan dan keharmonisan masyarakat.
Di dalamnya terdapat lantai bersusun lima dan masing-masingnya diisi dengan ruangan yang memiliki fungsi beragam.
Konfigurasi Rumah dan Penjelasan
a) Pondasi
Rumah Mbaru Niang bertipologi rumah panggung.
Sehingga di bawah lantai dasarnya terdapat kolong rumah (ngaung) dengan tinggi kurang lebih satu meter yang biasa dipakai masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti menenun dan dan kendang hewan untuk memelihara ternak.
Pondasi rumah Mbaru Niang terbuat dari batang kayu yang dipancang ke dalam tanah dengan kedalam kurang lebih dua meter.
Kayu tersebut dibungkus menggunakan ijuk berlapis plastik dengan tujuan supaya kayu tidak bersentuhan dengan tanah dan menjadi busuk.
b) Tiang
Mbaru Niang disangga oleh dua jenis tiang, yaitu hiri mehe (tiang utama) dan hiri ngaung (tiang pendukung).
Jumlah hiri mehe pada Mbaru Niang berjumlah 9 buah dan difungsikan sebagai penyangga utama konstruksi bangunan.
Jumlah ini sebagai simbol perjuangan ibu yang mengandung selama 9 bulan.
Salah satu dari hiri mehe di rumah Mbaru Niang menggunakan kayu dari pohon utuh dengan tinggi sekitar 15 meter.
Hiri mehe dipasang di atas umpak (bantalan tiang) yang terbuat dari batu besar.
Sedangkan hiri ngaung lebih digunakan sebagai penopang lantai dasar dan jumlahnya mencapai 42 tiang.
c) Atap
Atap ijuknya dikenal dengan nama wehang dan dirangkai menggunakan ikatan rotan menjadi rangkaian sepanjang 9 meter.
Pada proses pemasangannya dimulai dari bawah ke atas dengan pola tumpukan 2:1.
Artinya dua lapis atap pada bagian bawah akan diikuti dengan satu lapis, kemudian disusul dua lapis lembaran ijuk lagi dan seterusnya hingga mencapai puncak.
Kerangka atap dibentuk oleh susunan rangka dari bambu utuh yang disebut buku.
Terdapat dua jenis buku dalam konstruksi atap Mbaru Niang, yaitu buku utama dan buku biasa.
Jumlah buku utama ada delapan dan pangkalnya dipasang pada setiap penjuru mata angin (utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut) kemudian ujungnya disatukan di puncak.
Sedangkan buku biasa bertugas untuk mendukung buku utama, sehingga jumlahnya bervariasi tergantung besarnya atap.
d) Lantai
Lantai rumah Mbaru Niang terdiri dari lima susun, dengan setiap tepi lantainya dibatasi dengan jalinan kayu kenti.
Masing-masing lantai di rumah Mbaru Niang memiliki fungsi dan penjelasannya sebagai berikut.
1. Lantai Pertama (Tenda)
Tenda memiliki diameter paling besar yaitu sekitar 11 meter.
Lantai pertama disekat menjadi dua ruang, yaitu lutur (ruang publik untuk menerima tamu) dan molang (di sebelah belakang ruang tamu, berfungsi sebagai ruang tinggal).
Molang difungsikan sebagai kamar tidur (loang) yang biasanya berjumlah 6 – 8 tergantung jumlah keluarga, serta dapur (hapo) dengan jumlah tungku sama seperti jumlah loang.
Hal ini karena setiap keluarga yang tinggal di Mbaru Niang memiliki harus memiliki tungku masing-masing.
2. Lantai Kedua (Loteng Lobo Mehe)
Loteng Lobo Mahe berdiameter lebih kecil dari tenda yakni 9 meter.
Lantai ini lebih berfungsi sebagai area penyimpanan yang dibagi dalam dua lobo masing-masing untuk menyimpan bahan makanan serta mengawetkan daging dan kayu.
Uniknya, di bagian lobo ini salah satu tiang sebesar kepala manusia ditempatkan dengan posisi menggantung sehingga sering dijadikan simbol kelahiran di rumah Mbaru Niang.
3. Lantai Ketiga (Lobo Lentar)
Labo Lentar disusun dengan diameter lantai kurang lebih 6 meter.
Fungsi lantai ini untuk menyimpan berbagai jenis benih untuk di tanam di ladang.
4. Lantai Keempat (Lemparae)
Lemparae digunakan untuk ruang penyimpanan stok bahan pangan sebagai bentuk antisipasi masyarakat terhadap kemarau panjang ataupun jika terjadi gagal panen.
5. Lantai Kelima (Hekang Kode)
Hekang Kode ini merupakan lantai di tingkatan paling tinggi dengan diameter hanya sekitar 1,8 meter.
Hekang Kode dipakai sebagai ruang penyimpanan pelengkap upacara adat seperti langkar (mirip besek anyaman bambu) yang dipakai sebagai tempat sesaji.
B. Rumah Adat Musalaki
Rumah adat Musalaki merupakan salah satu rumah tradisional suku Ende Lio yang berkembang di NTT, tepatnya di Desa Wolotolo, Kabupaten Ende.
Nama Musalaki diambil dari kata mosa yang bermakna ketua, dan laki yang berarti adat.
Hal ini merujuk pada peruntukan rumah Musalaki sebagai rumah tradisional yang ditinggali oleh para ketua adat (kepala suku).
Filosofi dan Fungsi Rumah Adat
Rumah adat Musalaki di Desa Wolotolo lebih sering dikenal dengan nama Sao Ria, yang diartikan sebagai rumah besar yang diperuntukkan oleh empat Mosa Laki (Kepala suku).
Selain tempat tinggal, Sao Ria memiliki fungsi religi sebagai lokasi pelaksanaan upacara adat seperti kelahiran, kematian, pernikahan, dan upacara yang mendukung kegiatan pertanian.
Sao Ria menjadi simbol kesatuan dan kebesaran masyarakat adat Ende Lio.
Disini rumah dianggap sebagai representasi seorang perempuan karena menjadi pusat kelahiran generasi baru.
Sedangkan, laki-laki disimbolkan pada Tubu Musu yang berada di tengah lapangan yang dikelilingi perkampungan.
Selain Sao Ria, komposisi perkampungan Desa Wolotolo juga dilengkapi dengan Sao Keda, yang berfungsi sebagai balai adat untuk pelaksanaan musyawarah.
Sao keda ini merupakan lambang kesakralan bagi suku Ende Lio sebab dianggap sebagai awal mula munculnya pemukiman penduduk dengan model rumah yang sama.
Elemen tambahan lain yang melengkapi pemukiman suku Ende Lio antara lain, Kanga yaitu area pemujaan Dua Ngae (Tuhan) berlokasi di depan Sao Keda, Tubu musu (tugu batu), Kebo Ria (Lumbung beras) serta Rate (Makam).
Ciri Khas dan Keunikan
Rumah Musalaki atau Sao Ria memiliki ciri bangunan yang lebih tinggi dan besar dibandingkan rumah penduduk biasa.
Rumah ini menggunakan tipologi rumah panggung dan tidak memiliki jendela.
Dinding pada rumah Musalaki tidak terlihat karena susunan atapnya yang menjuntai hingga bawah.
Atap rumah Musalaki namanya ubu bewa dengan ciri memiliki tinggi mencapai 9 meter (terhitung dari tiang sampai puncak atap atau saka ubu).
Tiang keliling (lake kaka) berukuran lebih pendek daripada tiang utama (lake one sao).
Keunikan lainnya adalah rumah adat ini hanya memiliki tiga buah anak tangga sebagai penghubung ke dalam rumah.
Arsitektur Rumah dan Keterangannya
Pola perumahan diatur mengelilingi Sao Keda dan Kanga.
Konstruksi pendukung rumah dijelaskan sebagai berikut:
- Lake Lewu (Tiang Kolom) terbuat dari batu lonjong dan kayu, dengan jumlah menyesuaikan besar kecilnya rumah.
- Tangi (Tangga) dibedakan menjadi tangga utama (di bagian samping rumah) dan tangi lulu ire mbasa (di bagian belakang rumah) bercirikan hanya memiliki anak tangga berjumlah tiga.
- Padha (tenda) berada di samping kiri dan kanan tangga utama, serta difungsikan sebagai balai tempat bersantai.
- Bengu Sesu (penghubung) menghubungkan tangga utama dengan pintu rumah yang berada diantara tenda singi lau (tenda kiri) dengan tenda singi gheta (tenda kanan).
- Isi Khubi (kayu palang) merupakan kerangka rumah berbentuk persegi panjang yang sekaligus membagi ruangan di dalam rumah adat.
- Leke raja (tiang atap) berjumlah 2-4 tiang dan berposisi di tengah rumah untuk menopang atap.
- Wisu (tiang sudut) dan Hai dari (tiang pendukung) merupakan tiang rangka yang membentuk atap.
- Ate Ubu (atap rumah) berbahan ijuk (nao) dan alang-alang (ki).
- Kebi dan seemo (dinding rumah) terbuat dari papan kayu.
- Pere, Pene dan Pete (pintu) terdiri dari dua daun pintu yang dipenuhi ukiran khas suku Ende Lio.
Konfigurasi Ruang dan Penjelasannya
1. Bera Waja (dapur)
Berbeda dengan susunan rumah adat lain, rumah Musalaki memiliki dua dapur yaitu dapur utama dan dapur umum.
Dapur utama dalam rumah Musalaki justru berada di bagian depan, dekat dengan pintu utama, dan berfungsi untuk memasak sesaji (pa’a loka) upacara adat.
Sedangkan dapur umum yang digunakan keluarga, berada di sekeliling koja ndawa.
Masyarakat suku Ende masih berpegang teguh pada filosofi satu keluarga satu tungku, sehingga di dalam dapur utama jumlah tungkunya sesuai dengan jumlah kepala keluarga yang tinggal.
2. Koja Ndawa (ruang utama)
Koja Ndawa berada di susunan paling depan setelah pintu masuk.
Ruangannya tidak dilengkapi plafon karena bagian atas digunakan untuk menggantung Ola Teo sebagai perlengkapan upacara adat.
Ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu dan kegiatan sosial kemasyarakatan lain seperti musyawarah
3. Soja (kamar tidur)
Soja adalah kamar-kamar tidur yang langit-langitnya dilengkapi dengan plafon.
Letaknya berada di sayap kiri dan kanan dengan posisi sejajar rumah.
Jumlah Soja bergantung pada banyaknya keluarga yang tinggal dalam satu rumah Musalaki.
C. Rumah Adat Sao Ata Mosa Lakitana
Rumah adat Sao Ata Mosa Lakitana adalah nama kolektif untuk beberapa rumah adat dari NTT.
Secara umum rumah jenis ini memiliki dua jenis konstruksi, yaitu Amu Kelaga (rumah panggung) dan Amu Laburai (rumah berdinding tanah).
Karena merupakan nama kolektif, Sao Ata Mosa Lakitana memiliki atap rumah yang beragam sebagai identitas masing-masing suku pendukungnya.
1. Bentuk atap Joglo
Bentuk atap ini diterapkan pada rumah adat ini sebagai ciri khas bahwa rumah Sao Ata Mosa Lakitana tersebut berasal dari suku Sumba.
Keunikan dari rumah adat suku Sumba ini adalah memiliki pintu khusus yang dibedakan untuk laki-laki dan perempuan.
Pintu perempuan mempunyai akses ke dapur sebagai pusat kegiatan ibu rumah tangga.
Sedangkan pintu laki-laki berada di rumah depan sekaligus sebagai pintu utama.
2. Bentuk atap perahu terbalik
Bentuk atap ini merupakan karakteristik rumah yang dimiliki oleh suku Rote.
Keunikannya terletak pada susunan rumah yang dibuat menjadi tiga lantai dengan fungsi berbeda.
Lantai pertama digunakan sebagai ruang penyimpanan padi, lantai kedua difungsikan sebagai ruang tinggal untuk tidur, dan lantai ketiga digunakan untuk penyimpanan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.
3. Bentuk atap kerucut bulat
Bentuk atap kerucut bulat merupakan rumah Sao Ata Mosa Lakitana yang biasanya menunjukkan kepemilikan dari suku Timor.
Rumah dari suku Timor di pulau Timor ini juga dikenal dengan nama rumah bulat atau Ume Khubu.
Konstruksi rumahnya berbentuk bulat, menyerupai rumah Mbaru Niang.
Pintu rumah bulat hanya sekitar satu meter dan mengharuskan menunduk ketika akan memasuki rumah.
Rumah ini tidak dilengkapi dengan jendela dan sekat dalam rumah.
Konstruksi ini dibuat untuk menyulitkan musuh untuk masuk, sehingga rumah bulat tidak hanya untuk tempat tinggal tetapi sekaligus sebagai benteng pertahanan.
D. Rumah Adat Sao Ngada
Rumah adat Sao Ngada merupakan identitas suku Bajawa yang berada di Ngada, Pulau Flores.
Terdapat dua jenis rumah adat yaitu Sao Saka Pu’u (rumah induk sebagai lambang leluhur perempuan) dan Sao Saka Lobo (rumah mewakili leluhur laik-laki).
Sao Saka Lobo umumnya mempunyai ukuran rumah yang lebih kecil daripada Sao Saka Pu’u.
Masih seperti rumah adat NTT lainnya, rumah adat ini bertipologi rumah panggung dengan atap terbuat dari perpaduan ijuk dan alang-alang.
Dindingnya terbuat dari papan kayu dengan beberapa hiasan berupa ukiran.
Keunikan dari rumah adat ini terletak daun pintunya yang didesain rendah sehingga harus merunduk ketika akan masuk.
Selain itu, pola pemukimannya dibuat membentuk huruf U.
Saat ini eksistensi rumah adatnya dapat dilihat di Kampung Bena, sebagai wisata budaya kampung tertua di Pulau Flores.
Jadi semakin greget ya belajar mengenai warisan budaya di Indonesia.
Nusa Tenggara Timur yang tergolong pulau kecil saja memiliki beragam budaya dengan kompleksitas setinggi ini.
Benar-benar harus bangga menjadi orang Indonesia, ya!