Rumah adat Gorontalo adalah berupa rumah panggung. Rumah adat ini luasnya dapat mencapai ratusan meter persegi. Karenanya tak heran pemerintah daerah Gorontalo kerap menjadikannya sebagai tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan seperti pagelaran seni, rapat-rapat adat, dan sebagainya. Selain itu, rumah adat ini juga dijadikan sebagai tempat penyimpanan pakaian adat, dokumentasi berbagai upacara adat, hingga alat-alat musik tradisional. Terdapat dua jenis rumah adat Gorontalo yakni Rumah Adat Dulohupa dan Rumah Adat Bantayo Poboide. Setiap rumah adat ini memiliki makna dan filosofi tersendiri.
Simak pembahasan dari masing-masing rumah adat Gorontalo berikut ini.
Bentuk Rumah Adat Gorontalo
Tidak kalah menarik dengan rumah adat dari provinsi lain, bentuk rumah adat Gorontalo juga berbentuk panggung.
Ibarat tubuh manusia, rumah tradisional ini dibangun dengan beranggotakan kepala, badan, dan kaki.
Terdapat prinsip serta filosofi yang dipegang teguh oleh masyarakat di sana terkait ukuran dan bentuknya.
Secara vertikal maupun horizontal, ukurannya harus menggunakan patokan yang sudah disepakati bersama.
Mereka membangunnya dengan rumus ukuran ketinggian, lebar beserta panjang rumah menggunakan depa.
Satu depa dikurangi satu jengkal, kemudian hasilnya dibagi 8.
Angka delapan ini menunjukkan semua situasi yang pasti dialami manusia.
Hal itu terdiri dari: rahmat, celaka, beruntung, rugi, berketurunan, kematian, umur, dan hangus.
Apabila akhir dari angka itu berada pada hal yang tidak baik, maka aturannya adalah menambah atau pun mengurangi satu untuk sampai pada yang baik.
Terdapat banyak tiang yang membentuk rumah adat suku Gorontalo yang terdiri dari beberapa jenis berikut:
1. Wolihi atau tiang utama dari bangunan. Tiang ini ada dua buah yang secara langsung ditancap ke tanah.
Lalu tingginya menjulang hingga pada kerangka atap.
Keberadaannya menjadi simbol ikrar persatuan dan kesatuan yang dilakukan oleh Gorontalo-Limboto pada tahun 1664.
Dua tiang tersebut juga mengisyaratkan prinsip hidup masyarakat Gorontalo berupa adat dan syaraiat yang harus dilaksanakan, baik dalam pemerintahan maupun di kehidupan sehari-hari.
2. Enam buah tiang memperkuat kekokohan formasi bangunan.
Biasanya diletakkan dua buah tiang di bagian depan yang juga menancap ke tanah.
Lalu empat tiang lainnya sejajar di bagian tengah ruangan.
Tiang-tiang ini melambangkan 6 ciri dasar yang ada pada diri masyarakat Gorontalo.
Sifat-sifat tersebut yaitu tombulao (hormat), tinepo (tenggang rasa), tombulu (setia pada penguasa), adati (patuh aturan), wuudu (sesuai kewajaran), dan sifat butoo (patuh terhadap keputusan hakim).
3. Potu atau tiang dasar yang hanya diperuntukkan untuk kediaman raja.
Ada 32 tiang yang dipasang sebagai simbol 32 penjuru mata angin.
Tiang yang berada di serambi rumah berbentuk persegi.
Jumlahnya bervariasi disesuaikan dengan jumlah budak milik raja pada masa itu.
Bisa berjumlah 4, 6, bahkan 8 tiang.
Secara terus menerus bentuk ini dilestarikan hingga tidak mempermasalahkan apakah rumah tersebut milik bangsawan atau pun rakyat biasa.
Maknanya menjadi beralih pada sentuhan estetika rumah adat.
Terdapat tangga di sisi kana dan kiri rumah adat ini.
Jumlah anak tangganya secara umum ada 5 hingga 7 anak tangga.
Hal tersebut tidak terlepas dari makna yang dimilikinya.
Dikarenakanlmasyarakat Gorontalo beragama Islam, maka syariat 5 rukun islam dilambangkan dalam anak tangga tersebut sebagai pijakan dasar hidup mereka.
Selain itu juga melambangkan 5 prinsip dalam adat istiadat yang terdiri dari Banguasa Talalo, Lipu Poduluwalo, Batanga Pomaya, Upango Potombulu, dan Nyawa Podungalo.
Prinsip tersebut bermakna keturunan dijaga, negeri dibela, diri mengabdi, mengorbankan harta, nyawa taruhannya.
Kemudian jumlah 7 pada anak tangga menunjukkan tujuh tingkat hawa nafsu dalam diri manusia: amarah, lauwamah, mulhimah, muthmainnah, rathiah, mardhiyah, dan kamilah.
4. Atap yang terdiri atas dua susun sebagai lambang syariat dan adat istiadat yang dianut masyarakat.
Di zaman dahulu terdapat talapua pada bagian puncaknya.
Dua batang kayu yang dipasang dengan bentuk bersilang tersebut (talapua) dipercaya oleh rakyat sebagai ajimat pelindung dari hal-hal buruk.
Namun pada masa sekarang hal semacam itu tidak lagi ditemukan.
Selain jimat tersebut, ada juga benda penting yang dipasang pad dinding bagian depan.
Sebutannya Tange lo bu’ulu yang menjadi simbol dari kesejahteraan masyarakat Gorontalo.
Tata Ruang
Ruangan yang ada di rumah adat Gorontalo berbentuk segi empat.
Berdasarkan catatan sejarah, hal itu menjadi tanda akan adanya 4 kekuatan alam, yaitu tanah, air, udara, dan api.
Ketika di awal membangun rumah, tidak diperkenankan membuatnya menjadi kamar.
Boleh dilakukan penambahan ruangan setelah rumah tersebut ditempati oleh pemilik.
Letak kamarnya harus berjejer lurus ke belakang.
Bisa juga tidak sejajar, tapi bersilang membentuk zigzag dengan syarat kamar utama terletak di sisi kanan ketika keluar rumah.
Posisi ini mengandung harapan agar pemilik rumah tidak lupa untuk pulang setiap kali bepergian.
Arah letaknya kamar pun tidak boleh sembarangan.
Patokannya adalah sumber aliran sungai yang ada di sekitar.
Jika aliran sungai datang dari utara menuju selatan, maka kamar menghadap ke utara.
Terdapat harapan rezeki si pemilik rumah lancar sejahtera selayaknya aliran air sungai.
Pembagian kamar tidur laki-laki dan perempuan juga diatur.
Bagi keluarga yang memiliki putra laki-laki maka kamarnya ada di posisi depan.
Sedangkan kamar untuk anak perempuan berada di bagian belakang.
Hal ini berkaitan dengan implementasi syariat keislaman yang tidak membolehkan orang yang bukan mahramnya masuk ke rumah.
Terlebih lagi orang-laki-laki masuk ke kamar perempuan.
Terdapat pembatas yang berbentuk balok untuk memberikan batasan privasi.
Pengaruh agama islam sangat kuat di kalangan masyarakat Gorontalo hingga menjadi acuan tata ruang hunian.
Mengenai letak dapur, mereka membuatnya terpish dengan bangunan utama.
Dibatasi dengan adanya jembatan antara keduanya menjadikan tamu dilarang memasukinya.
Sebabnya adalah dapur beserta isinya dianggap sesuatu yang rahasia dalam setiap keluarga.
Jika kamar tidur menghadap ke arah datangnya aliran sungai, maka dapur tidak boleh menghadap kiblat.
Masyarakat memiliki kepercayaan rumah rentan terbakar jika hal itu dilakukan.
Macam-Macam Rumah Adat Gorontalo
Ada beberapa rumah adat suku Gorontalo yang menjadi kekayaan sejarah Indonesia.
Namun dua rumah adat yang sangat populer di sana adalah Dulohupa dan Bantayo Poboide.
1. Rumah Adat Dulohupa
Fungsi utamanya yang menjadi tempat bermusyawarah, rumah Doluhapa menghasilkan banyak kesepakatan dengan berbagai pihak.
Jika ditelaah dari makna harfiah, Doluhapa memiliki arti mufakat.
Oleh karena itulah bangunan adat ini menjadi tempat yang penting.
Bahkan di masa kerajaan rumah adat Doluhapa menjadi tempat mengadili segala macam permasalahan dan kejahatan.
Tiga aturan yang menjadi aturan dalam memvonis 3 penghianat di rumah ini:
a. Buwatulo Bala yang merupakan prosedur pertahanan kerajaan.
b. Buwatulo Syara, berisi alur hukum sesuai agama Islam.
c. Buwatulo Adati menjadi aturan yang mewakili hukum adat dalam masyarakat Gorontalo.
Pada masa sekarang, rumah Doluhapa tidak hanya dijadikan sebagai tempat berdiskusi dan mencapai mufakat.
Ketika masyarakat hendak menyelenggarakan upacara pernikahan dan upacara sakral lainnya juga memanfaatkan rumah adat ini.
Kemudian dari segi pembagian materialnya, rumah ini banyak terdiri dari tiang berbahan kayu sebagaimana dijelaskan di atas.
Berbentuk panggung dengan hiasan yang aestetik dan khas. Adapun bagian-bagian rumahnya sebagai berikut:
a. Bagian atas yang terdiri dari atas dengan material jerami yang memiliki kualitas bagus.
b. Bagian dalam dari rumah Doluhapa adalah ruangan yang lebar tanpa banyak sekat.
c. Tersedia anjungan di setiap rumah yang khusus disediakan untuk raja beserta kerabat istana.
d. Dilengkapi dengan tangga di sisi kanan dan kirinya menjadikannya bangunan yang mudah dikenali dan diingat. Sebutan tangga tersebut adalah Tolitihu.
2. Rumah Adat Bantayo Poboide
Jika rumat adat Doluhapa memiliki ruangan yang sangat lowong, maka tidak dengan Bantayo Poboide.
Terdapat banyak sekali sekat di bagian dalam bangunan. Setiap ruangannya tentu memiliki fungsi yang berbeda-beda.
Untuk melihatnya secara langsung, rumah ini berada tepat di depan rumah dinas Bupati Gorontalo hingga sekarang.
Sebutannya memiliki arti yang mirip dengan Doluhapa, yakni bermusyawarah.
Kedua rumah adat ini sama-sama dijadikan sebagai tempat untuk berunding hingga mencapai sebuah mufakat.
Di zaman dahulu, asal usul Bantayo Poboide sering ditempati untuk pagelaran budaya khusus Gorontalo.
Sering pula menjadi tempat upacara adat, ruang perjamuan tamu kenegaraan, upacara pernikahan, dan acara tradisional lainnya.
Material yang digunakan dalam bangunan ini berupa kayu hitam dan kayu cokelat kemerahan.
Dua jenis tersebut menjadi andalan mereka karena memiliki tekstur bagus dan daya tahan yang kuat.
Biasanya kayu-kayu itu sudah memiliki posisinya masing-masing.
Untuk material pembuatan kusen, railing tangga, ornamen pada jendela, serta pembuatan pagar blankon, kayu hitam lah yang menjadi bahan dasarnya.
Kemudian material untuk pembuatan jendela, lantai, dinding, dan pintu menggunakan kayu cokelat kemerahan sebagai pilihan.
Sekat-sekat yang ada di dalam rumah adat Gorontalo ini terdiri dari setidaknya 4 bagian penting.
Ada ruang tamu, ruang dalam, ruang tengah, dan ruang belakang.
Ruang tamu berukuran panjang yang mana terdapat beberapa kamar di setiap ujung sisi kanan dan kiri.
Ruangan terluas diterapkan pada ruangan tengah.
Catatan penting yang belum diketahui masyarakat luas mengenai Bantayo Poboide adalah adanya ruangan selain ruang utama.
Ketika datang para tamu istana, ada ruang yang menjadi tempat khusus perjamuan mereka.
Ada pula ruangan untuk persidangan para tokoh agama dan ruang serba guna.
Biasanya ruang serba guna ini menjadi tempat anggota kerajaan berkegiatan.
Ruang ini pula yang dipilih Raja sebagai ruangan privasinya dengan keluarga.
Filosofi Rumah Adat Gorontalo
Adat istiada serta kepercayaan dalam beragama menjadi landasan yang kuat dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.
Begitu pun dalam membangun tempat tinggal. Mereka menciptakan filosofi yang religius pada setiap bagian bangunannya.
Semisal bagian atap Dulohupa yang terbuat dari jerami tersusun atas dua bentuk segitiga.
Kedua lapisan tersebut menunjukkan adat serta syariat dari masyarakat Gorontalo.
Lapisan atas menjadi simbol kepercayaan mereka kepada Sang Pencipta.
Agama adalah pedoman teratas yang dijunjung tinggi.
Lalu lapisan atap bagian bawah adalah simbol dari adat istiadat yang mereka anut.
Budaya yang tercipta di antara mereka menjadi acuan yang sangat melekat dalam menjalani kehidupan sosial.
Ada hiasan khas di dinding bagian depan rumah adat Gorontalo yang disebut Tange lo Bu’ulu.
Biasanya digantung di deat pintu masuk utama sebagai penangkal roh-roh jahat yang juga menjadi lambang kesejahteraan.
Hal tersebut memiliki filosofi yang sangat penting bagi mereka karena pintu utama adalah kunci keselamatan yang harus terus dijaga.
Jika menerima tamu yang baik, maka kebaikan pula yang didapat.
Namun jika tamu yang datang adalah roh-roh jahat, maka tentu kesialan yang akan menimpa keluarga.
Kemudian mengenai aturan yang tidak membolehkan menambah ruangan sebelum rumah dihuni mengandung arti yang cukup religius.
Tiga tahapan pada kehidupan manusia juga diterapkan dalam membangun hunian.
Dimulai dari ketiadaan, kemudian dilahirkan, hingga berakhir dengan ketiadaan lagi.
Oleh karena itu penambahan ruangan di dalam rumah boleh dilakukan setelah pemiliknya mulai menghuni rumah tersebut.
Sebagai warisan nenek moyang yang masih dilestarikan hingga saat ini, rumah adat Gorontalo ini perlu dikenal masyarakat.
Terlebih lagi mempelajari filosofi dan makna yang tersirat darinya.
Kemudian kita sebagai pewaris sejarah berharga ini turut mengambil hikmah darinya.