Selamat Datang di Sulawesi Selatan!
Nah, pasti kamu sudah tidak asing bukan dengan provinsi yang beribu kota di Makassar ini.
Selain panorama alam yang indah, Provinsi Sulawesi Selatan juga menawarkan daya tarik berupa budaya yang sangat kaya.
Salah satunya rumah adat Bugis yang merupakan rumah adat khas dari Suku Bugis dari Sulawesi Selatan.
Penasaran tentang rumah adat Bugis? Yuk, langsung kita bahas!
Pengertian dan Sejarah Rumah Adat Bugis
Rumah adat Bugis merupakan bangunan khas Suku Bugis yang juga bagian dari suku-suku Melayu Deutro.
Nama Bugis sendiri berasal dari kata “ugi” yang merujuk pada La Sattumpugi, nama raja dari Cina yang berkuasa di daerah Pammana, Kabupaten Wajo.
Sehingga, orang-orang yang tunduk pada Raja La Sattumpugi menyebut diri mereka To Ugi yang berarti pengikut Raja La Sattumpugi dan kemudian dapat diartikan pula sebagai orang Bugis.
Masyarakat yang menjadi cikal bakal kelompok Suku Bugis pertama kali masuk ke Nusantara saat gelombang migrasi pertama dari daratan Asia.
Dalam prosesnya, komunitas ini berkembang dari yang hanya kelompok masyarakat kemudian membentuk beberapa kerajaan.
Beberapa kerajaan yang terbentuk adalah Kerajaan Bone, Kerajaan Makassar, Kerajaan Wajo, dan Kerajaan Soppeng.
Pembentukan kerajaan ini diikuti dengan pengembangan bahasa, aksara, pemerintahan, termasuk budaya.
Hal ini juga yang kemudian mempengaruhi bentuk atau arsitektur rumah adat Suku Bugis yang berbeda-beda dan memiliki keunikannya masing-masing.
Bangunan rumah adat Bugis juga merupakan bentuk representasi dari filosofi Sulapa Appa, yang bermakna bahwa segi empat merupakan bentuk yang menandakan bahwa segala aspek kehidupan manusia itu sempurna.
Hal ini pun yang kemudian terepresentasikan dari struktur rumah adat Bugis yang berbentuk bangun segi empat karena dianggap melambangkan kesempurnaan.
Macam-Macam Rumah Adat Bugis
Secara lebih lengkap, berikut adalah pembahasan mengenai jenis-jenis rumah adat Bugis beserta gambar dan keterangan secara lengkap.
1. Rumah Adat Bola Soba Bone
Salah satu jenis rumah adat Suku Bugis ini juga dikenal dengan nama rumah persahabatan.
Rumah ini salah satunya bisa ditemukan di Watampone, kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.
Konstruksi bangunan ini berupa rumah panggung dan berasal dari material kayu.
Rumah Bola Soba dapat terbagi menjadi empat bagian, yaitu teras (lego-lego), rumah induk, bagian belakang atau ruang dapur, dan selasar penghubung bangunan rumah induk dengan bagian belakang rumah (lari-larian).
Selain itu, rumah adat ini juga memiliki jumlah jendela yang ganjil (15) dan menggunakan jenis jendela permanen dari terali kayu.
Jendela yang digunakan juga terdiri dari dua jenis.
Pertama adalah jendela dengan bangun segi empat yang diletakkan di bagian depan, belakang, dan kanan bangunan.
Kedua yaitu jendela bangun persegi panjang yang diletakkan di kiri belakang bangunan.
Rumah adat ini pertama kali dibangun masa pemerintahan Raja Bone XXX.
Dalam perkembangannya, manfaat dan kegunaan rumah adat Soba Bone ini mengalami beberapa perubahan.
Bermula pada tahun 1890, bangunan adat ini sempat digunakan oleh Baso Pagilingi Abdul Hamid, seorang Panglima Besar Kerajaan Bone.
Namun setelah Baso Pagilingi mengalami kekalahan dalam pertempuran, Belanda mengambil alih bangunan ini dan diubah menjadi mess atau penginapan bagi tamu-tamu dari Belanda.
Peristiwa ini pula yang menjadi cikal bakal penyebutan rumah persahabatan yang disematkan pada Rumah Bola Soba.
Fungsi rumah adat ini kembali berubah menjadi istana dari Raja Bone XXXI pada tahun 1913.
Saat revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu pada 17 Agustus 1945, rumah ini dimanfaatkan sebagai markas Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGS) dan kemudian menjadi markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) hingga tahun 1957.
Namun, kini Rumah Bola Soba ini difungsikan sebagai museum sekaligus tempat menyimpan berbagai benda bersejarah, seperti peralatan perang dan meriam.
2. Rumah Adat Balla Lompoa Makassar
Bangunan rumah tradisional Balla ini memiliki karakteristik rumah panggung dengan atap desain berbentuk pelana yang dilengkapi timpalaja.
Timpalaja atau juga disebut sebagai gevel atau gable ini adalah ornamen berbentuk bidang segitiga, pertemuan antara atap dan dinding.
Dimana jumlah susunan timpalaja ini menyimbolkan status sosial pemilik rumah.
Bangunan Rumah Balla Lompa dengan satu sampai dua susun timpalaja menandakan bahwa pemilik rumah adalah masyarakat biasa.
Sedangkan bangunan dengan tiga hingga lima susun timpalaja menyimbolkan bahwa pemilik rumah berasal dari kalangan bangsawan.
Penggunaan timpalaja secara lebih spesifik yaitu: (1) satu susun untuk hamba sahaya, (2) dua susun untuk masyarakat umum (3) tiga susun untuk keturunan karaeng, (4) empat susun untuk kalangan karaeng atau bangsawan, dan (5) lima susun untuk bangunan istana raja.
Meskipun demikian, penggunaan timpalaja yang identik dengan status sosial pemilik rumah ini sudah mulai luntur dan pemilik rumah bebas menentukan berapa banyak susun timpalaja yang akan mereka buat.
Oleh masyarakat setempat, struktur bangunan rumah ini dapat digambarkan sebagai seorang manusia, yaitu: bagian atap sebagai kepala manusia, bagian badan bangunan sebagai badan manusia, dan bagian bawah sebagai kaki manusia.
Di samping itu, arsitektur rumah Balla Lompoa ini dapat dimaknai melalui dua perspektif.
Pertama yaitu perspektif kepercayaan kuno, bahwa bangunan ini dapat dilihat sebagai sebuah jagad raya dengan tiga bagian, yaitu:
· Boting Langiq yang dimaknai sebagai dunia atas atau kerajaan langit dan dianggap sebagai tempat tinggal dari La Togeq atau Batara Guru.
· Ale Kawaq/ Ale Lino yang dimaknai sebagai simbol dari bumi sekaligus sebagai tempat dimana La Togeq dan We Nyili’ ditugaskan oleh dewa.
· Buriq Liu/ Toddang Toja/ Pe’re’tiwi yang dimaknai sebagai simbol dunia bawah tanah atau bawah laut dan digambarkan sebagai seorang permaisuri dari Batara Guru.
Kedua yaitu perspektif kosmologi yang menganggap bahwa bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian yang dapat menggambarkan makrokosmos atau jagad raya.
Selain itu, bagian badan bangunan rumah adat ini dapat terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
(1) Dego-dego, yaitu ruangan kecil seperti teras yang ada di bagian rumah paling luar;
(2) Paddaserang Dallekang, yaitu ruang tamu yang berada setelah pintu masuk;
(3) Paddaserang Tangnga, yaitu ruang keluarga atau ruang tengah yang secara khusus digunakan oleh anggota keluarga saja;
(4) Paddaserang Riboko, yaitu ruangan yang berada di sisi belakang rumah dan digunakan oleh anak perempuan pemilik rumah yang masih gadis;
(5) Balla Pallu, yaitu berupa ruangan dapur yang berada di sisi belakang rumah dengan lantai paling rendah dari seluruh ruangan; serta
(6) Siring yaitu sebuah gudang yang berada di bawah rumah.
3. Rumah Adat Sao Mario Soppeng
Bangunan rumah tradisional ini dapat ditemukan di Kampung Awakaluku, Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan.
Ditinjau dari denah, lokasi dari Rumah Sao Mario ini terletak 32 kilometer dari Kota Watangsoppeng.
Arsitektur rumah ini merupakan perpaduan dari budaya Soppeng, Batu-Batu, dan Minangkabau serta dibangun menggunakan kayu hitam atau aju bolong.
Secara keseluruhan, bangunan ini mempunyai lima bagian atau komponen utama, yaitu rangka utama (terdiri dari balok induk dan tiang), atap, lantai, dinding, dan tangga.
Rumah tradisional ini juga memiliki empat pilar di bagian depan.
Keunikan dari bangunan rumah ini adalah jumlah tiang penyangganya yang mencapai kurang lebih 100 buah.
Sehingga, terkadang Rumah Sao Mario disebut juga sebagai bola seratu yang bermakna “rumah seratus tiang”.
4. Rumah Adat Atakkae Wajo
Bangunan rumah tradisional yang pertama kali dibangun pada tahun 1995 ini berada di Kelurahan Atakkae, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Secara arsitektur, rumah adat Atakkae ini mengusung konsep rumah panggung dan bangunan disokong menggunakan tiang.
Dinding rumah ini juga dilengkapi dengan jendela yang berjumlah ganjil (7) serta menggunakan tipe ayun (memiliki dua daun jendela).
Selain itu, pada umumnya rumah ini dibangun menggunakan perpaduan material kaca dan kayu, khususnya pada bagian jendela.
Salah satu jenis Rumah Atakke ini adalah rumah adat Saoraja La Tenri Bali yang juga berbentuk rumah panggung.
Nama Saoraja berarti istana raja dan La Tenri Bali merupakan nama dari salah satu raja yang pernah memimpin Kerajaan Wajo.
Bangunan ini sendiri ditopang dengan tiang dengan total beratnya mencapai dua ton.
Setiap tiang juga mempunyai diameter 1,45 meter dan memiliki garis tengah 0,45 meter.
Bangunan ini sepenuhnya dibangun menggunakan kayu jenis ulin.
Tiang-tiang penyokong ini memiliki panjang sekitar 8 meter dan berjumlah 101 buah.
Oleh karena itu, rumah tradisional La Tenri Bali ini juga sering disebut dengan rumah 101 tiang.
Bangunan ini juga dilengkapi dua buah anak tangga yang dinaungi oleh atap kecil dengan sirip dan ukiran kayu yang diberi warna kuning.
5. Rumah Adat Lapinceng Barru
Bangunan rumah adat ini dapat ditemukan di Kampung Bulu Dua, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
Berdasarkan sejarah, rumah ini pertama kali didirikan pada masa Raja Balusu, Andi Muhammad Saleh Daeng Parani Balusu, pada tahun 1879.
Asal nama “lapinceng” sendiri berasal dari peristiwa robohnya bangunan saat masa pembangunan yang kemudian menimpa piring dan alat dapur mudah pecah lainnya atau beling.
Oleh sebab itu, rumah ini diberi nama Lapinceng untuk memperingati peristiwa tersebut.
Secara umum, arsitektur dasar rumah ini berupa rumah panggung dan dibuat dengan material kayu ipi yang biasanya ditemukan di tengah Hutan Balusu.
Struktur rumah ini terdiri dari empat bagian utama dan ditopang dengan 66 buah tiang penyangga; 35 tiang di bangunan utama, 22 tiang di bagian dapur, dan 9 tiang sisanya berada di beranda.
Rumah adat ini juga mempunyai tangga di akses pintu utama serta dapur dengan masing-masing memiliki 17 dan 15 anak tangga.
Keunikan lainnya yaitu terletak pada jendelanya yang berjumlah genap (10) dan memakai jendela jenis panil serta bertipe jendela ayun.
6. Rumah Adat Luwu
Berdasarkan sejarah, rumah adat ini dulunya merupakan tempat tinggal dari Raja Luwu.
Bangunan adat yang juga dikenal dengan nama Langkane ini mempunyai struktur dasar berupa rumah panggung yang ditopang dengan 88 tiang penyangga.
Rumah Luwu juga terdiri dari tiga bagian: tudang sipulung, ruang tengah, dan ruang belakang.
Ciri khas nya adalah berupa jendela yang berjumlah genap (12) dan memakai tipe jendela kombinasi jalusi dan panil.
7. Rumah Adat Baranti Sidrap
Rumah ini dibangun dengan konsep rumah panggung dan ditopang dengan banyak tiang.
Seperti mayoritas jenis rumah adat Bugis lainnya, bagian yang jadi ciri khas adalah jendela.
Jendela bangunan adat ini berjumlah ganjil (13), memakai jenis jendela papan, dan menggunakan tipe jendela ayun.
8. Rumah Adat Parepare
Salah satu jenis rumah tradisional Bugis ini mempunyai struktur dasar rumah panggung.
Ciri khas yang paling mudah diidentifikasi dari rumah tradisional ini dapat ditinjau dari bagian jendela.
Dimana jumlah jendela yang terdapat di rumah ini berjumlah genap dan paling banyak diantara jenis rumah adat Bugis lainnya (20).
Selain itu, rumah adat Parepare ini juga menggunakan jendela dengan jenis panil dan memakai tipe jendela permanen dengan terali kayu.
Proses dan Ritual Pembangunan Rumah Adat Bugis
Terdapat tiga prosesi atau ritual adat yang harus dijalani oleh masyarakat Bugis sebelum membangun rumah dan menjadi miliknya, yaitu:
1. Makkarawa Bola
Memiliki arti mengerjakan elemen rumah dan merupakan sebuah ritual yang dilakukan saat memulai proses pelaksanaan pekerjaan.
Prosesi adat ini bertujuan agar pemilik dan tenaga pekerja yang membangun rumah dapat diberi selamat dan kesehatan.
Selain itu, apabila terjadi bahaya maupun kesulitan, maka penggantinya adalah ayam sebagai alat ritual.
Ritual ini dipimpin langsung oleh kepala tukang atau ponggawa panre atau panrita bola/ sanro bola.
Jalannya ritual ini pun terbagi menjadi tiga tahap, yaitu (1) melicinkan elemen rumah (makattang), (2) mengukur dan melubangi tiang (mappa), dan (3) menyusun dan memasang rangka bangunan (mappattama arateng).
2. Mappatettong Bola
Merupakan ritual yang dilakukan saat sedang mendirikan rumah.
Ritual ini dilakukan sebagai bentuk permohonan izin kepada para roh-roh penjaga untuk membangun rumah dan waktu untuk memulai pembangunan ini didasarkan atas hari baik menurut adat atau ketentuan dari kepala tukang.
Tujuannya yaitu agar pemilik rumah mendapat kesejahteraan dan memiliki hidup yang bahagia bersama keluarga.
Prosesi ini biasanya akan dihadiri oleh anggota keluarga pemilik rumah dan tetangga sekitar.
Ritual ini dipimpin oleh kepala tukang yang pesertanya merupakan pemilik rumah, keluarga, tetangga, tukang, dan pembantu.
Alat-alat ritual yang digunakan berupa kitab “barasanji” dan dua ekor ayam “bakka” (jenis ayam dengan paruh dan kaki berwarna kekuningan-kuningan dan mempunyai bulu selang-seling merah dan putih).
Di samping itu, ritual adat ini terbagi dalam empat prosesi:
· Pertama yaitu ritual mengisi pusat rumah atau lise posi bola, yang merupakan ritual penanaman bahan-bahan bangunan yang akan ditanam di pusat rumah dan di tiang-tiang tempat sandaran tangga (aliri pakka).
Bahan-bahan yang digunakan sebagai alat ritual adalah tembikar (awali), sudut tika daun lontar (sung appe), kelapa (kaluku), bakul anyam baru (baku mabbulu), umbi-umbian (penno-penno), gula merah (golla cella), buah pala, dan kayu manis (aju cenning).
· Kedua adalah ritual penyimpanan dekat posi bola atau singkatnya ritual posi bola yang mengandung nilai agar pemilik rumah dapat hidup secara berkecukupan dan serba lengkap.
Prosesi ini dipimpin oleh panrita bola dan diikuti oleh pemilik rumah dan panrita bola itu sendiri.
Alat ritual yang digunakan berupa kain putih, (kain kaci), kukur kelapa (pakkeriq), sendok sayur (sanru), pisau (piso), gula merah (golla cella), kelapa (kaluku), nyiru (pattapi), sendok nasi (saji), dan kelapa (kaluku).
· Ketiga adalah ritual memberi makan atau mappanere ali merupakan ritual yang dilakukan untuk memberi makan pada tukang atau orang-orang yang telah selesai membantu mendirikan tiang bangunan.
Menu yang biasa dihidangkan berupa ketan (sokko) dan pallise (makanan yang berbahan dasar kelapa muda, gula merah, dan campuran tepung beras ketan).
· Keempat adalah ritual pemercikan air ke aliri atau disebut juga dengan ritual Manggepi Aliri.
Prosesi ini dipimpin panrita bola dan bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat dalam bangunan sekaligus agar rumah tersebut diberkahi.
Peralatan yang digunakan untuk memercikan air adalah daun attaka, daun asiri, dan pecahan kuali atau reppa pamuttu.
3. Menre Bola Baru
Memiliki arti memasuki atau menaiki rumah baru dan merupakan ritual yang dilakukan saat selesai membangun rumah.
Ritual ini dipimpin oleh panrita bola dan ditujukan sebagai bentuk syukur setelah rumah telah berhasil di bangun.
Dalam kesempatan tersebut, pemilik rumah akan mengundang kerabat, tetangga, tukang beserta para pembantunya untuk bisa ikut dalam acara hajatan tersebut.
Di hari yang sama, pada malam hari juga diadakan pembacaan kitab “barazanji” yang kemudian diikuti dengan acara makan bersama.
Makanan yang disajikan adalah beragam kue tradisional khas Bugis, yang diantaranya adalah jompo-jompo, onde-onde, suwella, sara semmu, lame-lame, dan doko-doko.
Ciri Khas Umum Rumah Adat Bugis
Rumah adat Bugis memang terdiri dari berbagai macam jenis dan masing-masing bangunan memiliki keunikan masing-masing.
Namun, secara umum terdapat ciri khas yang pasti dimiliki oleh setiap jenis rumah tradisional Bugis.
Berikut uraian lengkapnya beserta contoh gambar dan penjelasannya!
1. Alliri
Merupakan tiang utama bangunan rumah adat Bugis yang jumlah tiang per barisnya tergantung dari banyaknya ruangan yang dibangun.
Namun, biasanya sebuah rumah adat Bugis memiliki tiga atau empat tiang tiap baris.
2. Fadonglo’
Merupakan penyambung alliri yang terdapat di setiap baris.
3. Fatoppo’
Merupakan pengait bagian atas alliri berada di tengah barisan.
4. Rakkeang
Merupakan bagian di atas langit-langit rumah atau loteng yang mempunyai manfaat sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, seperti jagung, padi, dan berbagai hasil kebun lainnya.
5. Ale Bola
Merupakan bagian badan bangunan yang terdiri dari dinding dan lantai.
Bagian bangunan ini merupakan tempat yang digunakan oleh pemilik rumah untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti bermusyawarah, istirahat atau tidur, serta menjamu tamu.
6. Posi’ Bola
Merupakan titik pusat bangunan rumah adat Bugis yang terdapat di bagian tengah bangunan.
7. Awa Bola
Merupakan bagian bawah bangunan antara tanah dengan lantai bangunan (kolong).
Dahulu kala, bagian rumah ini mempunyai fungsi sebagai tempat untuk menyimpan alat berburu dan alat pertanian.
8. Material bangunan
Konstruksi rumah adat Bugis dibangun dengan material kayu yang setiap bagian rumah saling dihubungkan dengan rotan.
9. Konstruksi dasar
Konstruksi rumah adat Bugis terdiri dari tiang-tiang (alliri) dan pasak (pattolo) yang terpasang secara “ringan”, sehingga memudahkan bangunan untuk dibongkar pasang, digeser, bahkan dipindah-pindah lokasinya dengan digotong secara ramai-ramai.
Demikian adalah penjelasan mengenai rumah adat Bugis.
Suku Bugis yang terdiri dari beragam kelompok suku ternyata memiliki pengaruh terhadap kebudayaan yang berkembang di masyarakat setempat, tidak terkecuali rumah adat.
Pada umumnya, rumah- rumah ini memiliki struktur dasar yang sama.
Namun rumah-rumah adat ini juga bisa dibedakan dari beberapa bagian rumahnya, seperti jumlah tiang, ruangan, hingga jendela bangunan.
Semoga pengetahuan ini bisa menambah wawasan kamu dan juga meningkatkan semangat untuk terus menghargai dan melestarikan budaya Indonesia.