Perang Yom Kippur merupakan perang antara Israel dan Arab yang terjadi bertepatan dengan hari raya terbesar Yahudi yaitu hari raya Yom Kippur pada saat warga yahudi sedang khusuk merayakannya, maka bisa disimpulkan mengapa perang tersebut disebut perang Yom Kippur.
Perang ini juga sering dikenal dengan Perang Ramadhan 1973, karena juga bertepatan dengan bulan ramadhan di mana umat muslim juga sedang menjalankan ibadah puasa.
Untuk penjelasan lebih detail terkait Perang Yom Kippur, simak artikel di bawah ini sampai habis!
Latar Belakang
Israel yang memenangkan perang Arab-Israel selama 6 hari pada tahun 1967 membuatnya memperluas wilayah kekuasaannya hingga empat kali lipat dari sebelumnya dengan merebut beberapa wilayah dari negara lain. Hal tersebut membuat Yordania harus kehilangan Yerusalem Timur dan tepi barat wilayahnya, sementara Mesir kehilangan Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai seluas 23.200 mil persegi, serta Suriah harus merelakan wilayahnya yang strategis yaitu dataran tinggi Golan.
Pada tahun 1970, Presiden Mesir Anwar El Sadat menyadari bahwa ekonomi Mesir sedang terpuruk sehingga tidak bisa melanjutkan peperangan dengan Israel. Oleh karena itu Sadat menginginkan perdamaian untuk mengembalikan stabilitas negara dan mengambil kembali Semenanjung Sinai, tapi di sisi lain, kemenangan Israel membuat Sadat berpikir kembali bahwa perjanjian mungkin tidak akan menguntungkan bagi Mesir. Akhirnya dengan berani Sadat menyusun rencana untuk melakukan serangan ke Israel untuk mempengaruhi Israel bahwa negara tersebut membutuhkan perdamaian dengan Mesir agar tidak menerima serangan.
Dua tahun kemudian, Sadat mengambil keputusan besar dengan mengusir 20.000 penasehat Uni Soviet dari Mesir pada tahun 1972, kemudian menjalin hubungan diplomasi dengan Washington DC. Sadat juga membentuk sebuah Aliansi militer baru bersama Suriah dan menyusun strategi penyerangan ke Israel.
Peta Perang Yom Kippur
Berikut adalah peta perang Yom Kippur.
Negara yang Terlibat
Secara militer, negara yang terlibat dalam perang Yom Kippur adalah Israel melawan Mesir dan Suriah, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Suriah dan Mesir memiliki tujuan dan pandangan yang berbeda atas perang Yom Kippur. Selain itu, Mesir dan Suriah didukung dengan kekuatan negara-negara Arab lainnya seperti Yordania, Irak, dan Libya.
Tak ketinggalan dua negara adidaya Amerika Serikat dan Uni Soviet juga turut ambil bagian dalam perang Yom Kippur dengan mengirimkan bantuan senjata kepada kedua belah pihak di mana Uni Soviet berada di pihak Arab sedangkan Amerika Serikat mendukung Israel.
Kronologi Perang Yom Kippur
Awal Perang
Pada tanggal 6 Oktober 1973 pukul 2 dini hari, Mesir dan Suriah yang telah menyatukan komando militer mulai melancarkan serangan pada saat kaum yahudi sedang merayakan Yom Kippur dan penebusan dosa di hari yang paling suci. Pasukan Suriah yang dikomandoi oleh Hafez al-Assad memulai penyerangan udara secara besar-besaran ke pos-pos di dataran tinggi Golan, sedangkan pesawat pasukan Mesir di bawah perintah Anwar el-Sadat bergerak menuju Sinai dengan melewati terusan Suez. Target pasukan Mesir pada hari pertama perang adalah merebut penyeberangan Terusan Suez dan menguasai dinding pertahanan yang dibangun Israel di perbatasan, Bar Lev Line dengan melakukan operasi Badr, dan usaha tersebut berhasil.
Sementara itu tiga Divisi Infanteri Suriah melintasi jalur gencatan senjata Purple Line di medan perang utara, pasukan Suriah berhasil menguasai Mata Israel, yaitu sebuah titik pandang Israel yang berada di puncak gunung Hermon dengan ketinggian di atas 2000 meter, dalam kurun waktu 2 jam. Atas serangan tersebut, Suriah sudah merasa berada di atas angin dan yakin akan memenangkan perang sedangkan Israel mengalami kerugian yang cukup besar.
Namun, kesenangan yang dirasakan Suriah tidak bertahan lama karena dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, Israel langsung merespon dengan mengirimkan serangan dengan kendaraan berlapis baja untuk merebut kembali Mata Israel, bahkan berhasil masuk lebih jauh ke wilayah Suriah.
Atas kejadian tersebut, negara-negara Arab panik dan mengirimkan bantuan tentara Yordania, Irak, dan Arab saudi ke pertahanan Suriah, akan tetapi usaha tersebut sia-sia karena Israel sudah terlanjur menguasai wilayah Suriah hingga sejauh 35 kilometer dari Damaskus.
Pada saat yang sama, Uni Soviet yang telah terkenal berseberangan ideologi turut mengambil peran dengan mengirimkan bantuan, di mana Uni Soviet mendukung negara-negara Arab dan Amerika Serikat berada di pihak Israel. Baik Uni Soviet maupun Amerika Serikat mengirimkan artileri, senjata, tank, dan lain sebagainya sebagai bentuk dukungan mereka.
Hal tersebut sangat menguntungkan bagi Israel sehingga 10 hari setelah serangan pertama, Israel kemudian berhasil menembus pertahanan Mesir yang letaknya sangat dekat dengan Ibu Kota Mesir, Kairo. Kondisi itu membuat negara Arab terdesak sedangkan Israel berada di atas angin dan mengklaim kemenangan dalam militer. Dalam keadaan terdesak tersebut, koalisi negara Arab merubah strategi dengan memanfaatkan kekayaan alam mereka berupa minyak bumi yang selama ini menjadi sumber pasokan utama negara-negara lain.
Negara-negara Arab penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC (Organisasi Negara Pengekspor Minyak) sepakat untuk mengurangi produksi minyaknya hingga 5 persen. Mereka juga mengatakan bahwa setiap bulan pengurangan akan terus dilakukan hingga Israel menarik semua pasukannya yang berada di wilayah Arab yang dikuasai saat perang 6 hari, serta hak-hak sah rakyat palestina dipulihkan.
Amerika Serikat yang diketahui mendukung Israel juga mendapatkan imbas dengan menangguhkan pasokan minyak ke negara tersebut sehingga harga minyak di Amerika naik secara drastis dan membuat negara tersebut mempertimbangkan kembali untuk terlibat dalam perang.
Sementara itu korban perang terus berjatuhan dari kedua belah pihak karena serangan-serangan yang terus berlanjut, jumlah tentara Israel yang gugur diperkirakan sebanyak 2.000 jiwa, sedangkan 8.800 lainnya mengalami luka-luka. Sebanyak 7.700 pasukan Mesir juga dinyatakan gugur, dan Suriah kehilangan kurang lebih 3.500 orang tentaranya. Banyaknya korban yang jatuh membuat kedua belah pihak mulai lelah dan ingin mengakhiri perang dengan melakukan gencatan senjata pada pertengahan bulan Oktober.
Bertepatan dengan itu, dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 338 yang berisi tentang seruan gencatan senjata serta penegasan kembali resolusi 242 tentang penarikan tentara Israel dari wilayah yang diduduki negara tersebut saat perang 1967. Resolusi tersebut diharapkan oleh PBB dapat menghentikan perang dan PBB juga menjadwalkan bahwa perang Yom Kippur akan berhenti keesokan harinya pukul 06.52 waktu setempat.
Namun resolusi tersebut tidak diindahkan oleh Israel yang tetap melakukan serangan seperti biasanya yang mana mereka berhasil menembus kota Suez dan memasuki pelabuhan Adabia serta mengepung pasukan Mesir yang sedang melakukan penjagaan di sisi timur terusan Suez hingga membuat komunikasi mereka dengan markas pusat terputus.
Melihat hal tersebut Dewan keamanan PBB kembali berkumpul untuk berdiskusi dan dengan tegas mengeluarkan resolusi 339, mereka juga bahkan mengirimkan pengamat ke garis depan peperangan, kali ini mereka menjadwalkan gencatan senjata pada tanggal 24 Oktober pukul 7 pagi. Keesokan harinya, sekali lagi Israel melanggar gencatan senjata dan kali ini menargetkan kota-kota besar seperti Suez dan Ismalia.
Menurut sumber sejarah, antara israel dan Mesir tak hanya terlibat dalam perang militer, namun juga perang media yang mana bertujuan untuk memenangkan politik yang lebih besar daripada sebelumnya.
Dua hari kemudian, mungkin karena kesal dengan serangan-serangan yang dilancarkan Israel, Mesir juga mulai melanggar gencatan senjata pada 26 Oktober dengan menerobos wilayah Israel walaupun kemudian berhasil dipukul mundur oleh pasukan darat dan udara Israel. Walaupun demikian, masih ada pasukan dari kedua belah pihak di wilayah utara terusan Suez yang menghormati gencatan senjata sehingga tidak melakukan serangan apapun.
Pada tanggal 28 Oktober, pemimpin militer Israel dan Mesir melakukan pertemuan pertama mereka setelah 25 tahun untuk membahas tentang gencatan senjata, namun pertemuan tersebut tak berjalan dengan mulus dan berakhir dengan ketegangan karena kondisi lapangan yang belum sepenuhnya bisa dikendalikan.
Akhir Perang
Amerika Serikat yang mendapatkan imbas dari perang Yom Kippur karena pasokan minyak yang menurun mengakibatkan ekonomi nasional mereka bergejolak, mencoba untuk memfasilitasi hubungan diplomatik antara Mesir-Suriah dan Israel agar kedua negara tersebut mengakhiri peperangan. Amerika Serikat bahkan menawarkan jutaan dollar demi agar kedua pihak dapat menghormati kesepakatan gencatan senjata yang telah dijamin oleh Amerika Serikat. Henry Kissinger, Menteri Luar Negeri amerika Serikat terjun langsung dengan berkunjung dari satu negara ke negara lain sebagai bentuk upaya menjadi perantara kesepakatan perdamaian sejak 6 November.
Usaha yang dilakukan Henry Kissinger tidak sia-sia, kerja kerasnya terbayar dengan persetujuan Israel untuk menarik kembali pasukannya dari wilayah suriah dan mengembalikan wilayah tersebut. Pada tanggal 18 Januari 1974, kesepakatan antara Mesir – Israel ditandatangani di Jenewa sedangkan Suriah – Israel melakukan kesepakatan pada Mei 1974 dan kesepakatan tersebut secara resmi mengakhiri perang Yom Kippur yang telah berlangsung selama 243 hari.
Pada kesepakatan tersebut, Mesir berhasil mendapatkan kembali seluruh wilayah tepi timur Terusan Suez sedangkan Suriah mendapatkan sebagian wilayah Golan yang lepas dari Suriah saat perang 1967, pengembalian tersebut diawasi dan dijaga oleh tentara penyangga yang dikendalikan PBB.
Setelah peperangan resmi berakhir, pada tanggal 18 Maret 1974 negara-negara Arab juga memutuskan untuk mengakhiri embargo minyak karena tujuan mereka telah tercapai.
Dampak Perang Yom Kippur
Perang Yom Kippur memberikan dampak besar untuk negara-negara Arab baik yang terlibat secara langsung maupun tidak, perang ini juga sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap masa depan negara Timur Tengah.
Secara militer, perang Yom Kippur telah dimenangkan oleh Israel walaupun negara tersebut harus kehilangan banyak pasukan dan mengalami kerugian yang amat besar, sementara Mesir dan Suriah menang dalam segi politik. Hal tersebut memberikan pelajaran kepada Sadat bahwa sangat sulit untuk menaklukkan Israel dengan jalan pertempuran militer, pada akhirnya sadat memutuskan untuk menjalin hubungan perdamaian dengan Israel walaupun keputusan tersebut penuh resiko. Sadat kemudian melakukan kunjungan ke Yerussalem untuk menemui Perdana Menteri Israel pada 19 November 1977, yang mana kunjungan tersebut baru pertama kali dilakukan oleh pemimpin negara Arab.
Satu tahun kemudian, pada 17-29 November 1978 Mesir dan Israel mengadakan negosiasi rahasia yang dimediasi oleh Amerika Serikat di Camp David. Kesepakatan tersebut resmi ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 26 Maret 1979 di Gedung Putih, yang mana empat tahun setelahnya sadat harus terbunuh saat perayaan pendudukan Terusan Suez akibat perjanjian tersebut. Mengetahui kesepakatan yang dilakukan Mesir dengan Israel, negara-negara Arab kemudian mengeluarkan Mesir dari Liga arab dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Kairo
Pada tahun 1992, Yordania juga menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel sehingga hanya Mesir dan Yordania yang tidak lagi bersitegang dengan Israel. Di sisi lain, Israel masih terus melakukan aneksasi di sebagian dataran tinggi Golan, Yerussalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza hingga hari ini.
Perang Yom Kippur, walaupun berakhir dengan ditempuhnya jalan damai yang berlangsung secara alot dari kedua belah pihak, menyisakan luka yang dalam karena banyaknya nyawa yang harus hilang dalam perang tersebut.