Perang Tondano terjadi di Sulawesi Utara dari tahun 1808 hingga 1809 dan terjadi dalam dua periode yang dibagi menjadi Perang Tondano I dan Perang Tondano II. Perang ini berawal dari ambisi pihak persekutuan dagang Belanda (VOC) yang ingin memonopoli perdagangan di tanah Minahasa. Perang Tondano berakhir dengan kekalahan pada rakyat Minahasa dan berdampak jatuhnya wilayah Minahasa ke tangan Pemerintah Hindia-Belanda serta telah berhasil memakan korban jiwa yang tidak sedikit dari kedua belah pihak.
Artikel ini membahas sejarah awal perang, latar belakang perang Perang Tondano I dan II, serta para tokoh yang terlibat di dalamnya.
Sekilas Sejarah tentang Perang Tondano
Perang Tondano merupakan perang yang terjadi antara Suku Minahasa melawan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1808-1809. Perang Tondano terjadi di wilayah Danau Tondano, di semenanjung Sulawesi utara.
Secara singkat, perang pada permulaan abad ke-18 ini terjadi karena pengaruh politik pemerintah kolonial Hindia Belanda di Minahasa, terutama upaya penggunaan pemudanya sebagai tentara tambahan Kompeni (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375). Meski perang besarnya ini hanya berlangsung satu tahun, perang yang terjadi di daerah dengan julukan Tanah Nyiur Melambai ini terbagi menjadi dua tahap yaitu Perang Tondano I dan Perang Tondano II.
Peta
Inilah peta wilayah sekitar Danau Tondano yang menjadi arena pertempuran pejuang tanah air dengan bangsa Belanda.
Perang Tondano I
1. Latar Belakang
Perang ini terjadi akibat persekutuan dagang milik Belanda yang bernama VOC. Bangsa bumi belahan barat sudah ada sejak lama di tanah Minahasa. Orang-orang Spanyol adalah bangsa yang sampai terlebih dahulu di tondono atau Tondano, Sulawesi Utara . Selain berdagang, mereka juga menyebarkan ajaran Agama Kristen kepada masyarakat.
Hubungan dagang kedua bangsa turut berkembang. Akan tetapi, mulai abad ke-22 hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu akibat kehadiran para pedagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), perusahaan dagang Hindia-Belanda. Kala itu, VOC berhasil memengaruhi kawasan Ternate, Maluku. Bahkan Gubernur Ternate zaman itu, Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk mengusir Spanyol dari Minahasa demi Kompeni bisa memonopoli perdagangan di sana.
Simon Cos kemudian berlabuh dengan kapalnya di Selat Lembeh, memasuki area pantai timur Minahasa. Para pedagang dari Spanyol dan Makassar yang semula bebas berdagang mulai terusik dan akhirnya tersingkir akibat ulah VOC. Padahal sebelum VOC berkuasa, orang Minahasa mempunyai hubungan dagang yang baik dengan bangsa Spanyol yang akhirnya tersingkirkan.
Lalu setelah tersingkirnya bangsa Spanyol dan Makassar di Tondano, VOC berusaha memaksakan kehendak agar rakyat Minahasa menjual berasnya kepada VOC dan hanya kepadanya. Hal ini dikarenakan bumi Minahasa yang memproduksi beras terbanyak di Sulawesi Utara dan VOC ingin memonopolinya. Akan tetapi, permintaan VOC ini mentah-mentah ditolak oleh rakyat Minahasa sehingga tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali jalan perang.
2. Strategi dan Taktik
VOC akhirnya membendung sungai Temberen dan mengakibatkan pemukiman penduduk Minahasa banjir dan porak-poranda. VOC bahkan terus melakukan tekanan dan mengultimatum agar orang Minahasa menyerah lalu mengganti rugi tanaman padi yang gagal panen akibat banjir tersebut. Simon Cos menyerahkan ultimatum berisikan:
- Orang-orang Tondano wajib menyerahkan tokoh-tokoh pemberontak ke VOC,
- Orang-orang Tondano wajib membayar ganti rugi dalam bentuk budak sebanyak 50-60 orang sebagai ganti rugi rusaknya padi karena genangan air Sungai Temberan.
3. Jalannya Perang
Namun perkiraan VOC agar orang-orang Minahasa akan menyerah lalu mengganti rugi nyatanya tidak sesuai ekspektasi. Hal tersebut malah sama sekali tidak dihiraukan oleh warga Minahasa. Ultimatumnya tidak berhasil dan membuat Simon Cos terpaksa memundurkan VOC ke Manado.
Hal ini justru menambah masalah lantaran hasil pertanian Minahasa yang menumpuk, sehingga orang Minahasa akhirnya memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan VOC. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan perkampungannya ke sekitar Danau Tondano dan pemukiman tersebut diberi nama Minawanua yang berarti ibu negeri, sekaligus menandai akhir dari Perang Tondano I.
Perang Tondano II
1. Latar Belakang
Bertahun-tahun kemudian, Perang Tondano jilid II terjadi kembali pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels. Pada masa itu, Daendels menetapkan kebijakan baru tentang upaya memperkuat pertahanan untuk menahan serangan dari Inggris. Salah satu caranya adalah dengan merekrut pasukan dari kalangan pribumi yaitu suku-suku yang memiliki jiwa keberanian tinggi untuk berperang seperti Madura, Dayak, dan Minahasa.
Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger, diperintahkan olehnya untuk bergegas mengumpulkan para ukung walak atau pemimpin adat daerah setingkat distrik kecamatan dalam satu tempat. Oleh karena itu, pemerintahan Belanda mengumpulkan para pemimpin adat agar menyediakan pasukan dan dikirim ke Jawa.
Minahasa ditargekan untuk mengirim 2.000 pemuda ke Jawa untuk menjadi calon pasukan Hindia Belanda. Namun kebijakan ini ditolak oleh orang Minahasa, justru mereka ingin melakukan perlawanan terhadap Kolonial Belanda dan aktivitas perjuangan ini dipusatkan di Tondano.
2. Strategi dan Taktik
Dalam suasana yang semakin kritis dan mendesak pemerintah kolonial Belanda kembali menyerang dengan menerapkan strategi membendung kembali Sungai Temberan. Tetapi strategi ini justru nantinya menjadi bumerang bagi Belanda karena Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri.
3. Jalannya Perang
Belanda lagi-lagi menyerang warga pada tanggal 23 Oktober 1808. Esok harinya, Belanda berhasil menguasai wilayah Tondano dan melemahkan serangan rakyat. Namun, orang-orang Tondano muncul kembali dengan melakukan serangan balik.
Perang Tondano II yang berlangsung cukup lama, mulai dari 23 Oktober 1808 sampai selesai berkobar pada Agustus 1809. Karena ketersediaan makanan dan kebutuhan hidup berkurang, ditambah lagi perang yang tak kunjung berakhir, beberapa kelompok pejuang memilih untuk berpihak kepada Belanda.
Pejuang-pejuang yang tersisa dipimpin oleh Lonto, Tewu, Lumingkewas Matulandi, Mamahit, Korengkeng, Sarapung, Sepang, Kepel dan lain-lain; masih memberikan perlawanan. Mereka bertarung hingga tetes darah penghabisan di Benteng Moraya. Kisahnya tak kalah dengan perjuangan pahlawan nasional lain seperti Pattimura, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol.
Tokoh-Tokoh yang Terlibat
Adapun tokoh-tokoh yang terlibat dalam Perang Tondano yaitu :
- Tewu;
- Sarapung;
- Korengkeng;
- Lumingkewas Matulandi;
- Lonto Kamasi, kepala walak Tomohon;
- Ukung Mamahit dari walak Remboken; dan
- Warga yang berasal dari Tondano Minawanua dan sekitarnya.
Akhir Perang Tondano dan Dampaknya
Cerita Perang Tondano berakhir di tangan Belanda di bawah pimpinan Daendels pada tanggal 5 Agustus 1809. Nyatanya kisah ini mengundang perhatian cukup besar sebab perlawanan rakyat Minahasa terhadap Belanda tidaklah tanggung-tanggung.
Sinar mentari di ufuk timur tidak lagi menyambut Minawanua, tetapi bersedih melihat kehancuran, puing-puing, dan mayat yang berserakan. Benteng Moraya dan Benteng Paapal kini terbengkalai ditinggal oleh penjaganya. Wanua atau pemukiman tercinta telah musnah diterjang Kompeni.
Walaupun kalah, para pejuang memilih untuk mati daripada menyerah. Salah satu dampak terbesar dari kalahnya pejuang Minahasa adalah jatuhnya wilayahnya kepada Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, dampak lain dari hasil perang Tondano :
- Jatuhnya korban dari kedua belah pihak;
- Kerugian sumber daya baik uang, logistik, dan manusia dari kedua belah pihak;
- Penderitaan rakyat yang semakin memburuk (rakyat harus menjual hasil buminya ke Belanda, pajak yang tinggi, dan buruh tani dengan upah tidak manusiawi);
- Terpengaruhnya orang-orang Minahasa, terutama pejabat pribumi oleh Belanda;
Sekian cerita tentang Perang Tondano yang pecah di Sulawesi Utara. Sekiranya dapat membantu Selasares dalam memahami sejarah perjuangan Indonesia. Untuk kisah perang-perang lainnya, tersedia juga di Selasar.