Kerusuhan yang berujung pada konflik horizontal di Sampit, Kalimantan Tengah atau acap disebut Perang Sampit terjadi pada tahun 2001. Konflik ini melibatkan Suku Dayak dengan warga pendatang Madura. Konflik dipicu oleh persaingan dalam berbagai aspek antara kedua belah pihak. Meski perselisihan telah terjadi sejak tahun 1990-an, tetapi selalu dapat diredam hingga akhirnya terjadi perkelahian yang menewaskan salah seorang warga Dayak pada akhir tahun 2000. Perselisihan kedua kelompok berlanjut pada tahun 2001 yang berawal dari penyerangan rumah warga Madura oleh Suku Dayak. Perang antar etnis akhirnya tak lagi dapat dihindarkan.
Simak pembahasan lengkapnya di bawah ini.
Sejarah dan Latar Belakang
1. Ritual Ngayau
Sebelumnya, mari kita berkenalan dengan salah satu ritual yang dilakukan beberapa sub etnis suku Dayak seperti Dayak Iban dan Dayak Kenyah. Ritual ini dinamakan mengayau dan dapat diartikan sebagai berburu kepala manusia. Umumnya penggalan kepala yang diburu adalah kepala musuh yang dapat mengancam keamanan kampung. Meski mengerikan dan tidak lazim, ngayau sudah ada sejak zaman dahulu.
Kenapa dari sekian banyaknya anggota tubuh, harus kepala? Karena kepala dipercaya memiliki kekuatan supranatural yang dapat melindungi seantero kampung dari marabahaya manusia dan ruh jahat serta wabah penyakit. Kepala-kepala tersebut dibawa untuk upacara dan pesta lalu setelah selesai digantung di rumah-rumah. Ritual ngayau ini nantinya berhubungan dengan kepala-kepala orang Madura yang dipenggal dan digantung usai Perang Sampit.
2. Penyebab Terjadinya
Pada tahun 1930, untuk mengantisipasi kepadatan penduduk, pemerintah kolonial Belanda menggelar program transmigrasi. Salah satu daerah yang melakukan transmigrasi adalah Pulau Madura yang berpindah ke Pulau Kalimantan. Orang Madura awalnya diterima-diterima saja di Kalimantan.
Jumlah transmigran lambat laun semakin menambah. Bahkan, di Kalimantan Tengah sendiri populasi orang Madura sebesar 21%. Hal ini membuat adanya persaingan dalam pekerjaan, tempat tinggal, dan aspek kehidupan lain.
Warga Madura dinilai semakin agresif menurut suku Dayak, terutama dalam sektor ekonomi pertambangan emas di sana. Persaingan ini kian menyulut api hingga terjadi konflik kecil-kecilan. Hingga akhirnya konflik besar terjadi antara Desember 1996 sampai Januari 1997. Meski sudah mereda, ketegangan masih dirasakan dari kedua belah pihak.
Lagi-lagi pada akhir 2000, bentrok terjadi antara Madura vs Dayak di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Perkelahian juga muncul di Desa Ampalit yang menewaskan Sandong, seorang warga Dayak. Dilansir dari Tirto, kasus ini ditelusuri dalam penelitian skripsi seorang mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Rinchi Andika Marry, yang berjudul Konflik Etnis antara Etnis Dayak dan Madura di Sampit dan Penyelesaiannya 2001-2006 (2014).
Meski secara hukum sudah diselesaikan, nampaknya pihak kerabat Sandong masih belum menerimanya. Lusanya, 300 orang Dayak berkerumun di TKP untuk mencari siapa pelakunya. Pelaku tidak berhasil ditemukan, namun warga Dayak itu meninggalkan jejak amarah dengan merusak rumah, bangunan, dan kendaraan sekitar. Naasnya, semua properti itu dimiliki oleh orang Madura.
1.335 warga asal Madura di sekitar Katingan mengungsi. Kabar angin berhembus kembali mengatakan bahwa pembunuh bersembunyi di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. Ditambah lagi hoax bahwa ada bom rakitan yang disimpan warga Madura di Sampit.
Lambatnya polisi dalam menginvestigasi kasus pembunuhan dan rumor yang berkembang membuat kondisi semakin mencekam. Orang Madura terpaksa untuk mengambil sikap defensif dan mempersejatai dirinya. Puncak konflik di Sampit terjadi pada tahun berikutnya.
Kronologi Konflik Sampit 2001
Masih berlokasi di Sampit, pada 18 Februari 2001, sekelompok orang Dayak menyerang rumah Matayo, seorang warga asal Madura. Rumah dibalas rumah, kali ini warga Madura beraksi ke rumah Timil yang diduga ikut dalam penyerangan rumah Matayo. Meski ia berhasil kabur, rumahnya tidak terselamatkan. Tidak hanya rumahnya, rumah kerabatnya juga ikut hangus dibakar beserta seisi rumahnya.
Akibat kasus Matayo, warga Madura di Sampit berani memukul mundur warga Dayak dari pemukimannya. Celakanya, ini justru memancing warga Dayak dari luar wilayah untuk berombongan mendatangi Sampit. Perang saudara antar etnis Indonesia ini tidak dapat dihindari. Beragam senjata digunakan mulai dari tradisional seperti mandau, tombak, dan celurit; hingga senjata api dan bom rakitan.
Konflik kian merambat ke kota-kota lain di sekujur Provinsi Kalimantan Tengah, termasuk ibu kotanya, Palangkaraya. Hampir 1.300 nyawa melayang akibat insiden tahun ini yang sebagian besar adalah orang Madura. Dilansir dari catatan Van Klinken, seorang profesor sejarah University of Amsterdam, bahwa hampir 90 persen populasi Madura yang tinggal di Kalimantan Tengah melarikan diri. Konflik panas ini dikabarkan berlangsung sampai akhir tahun 2001.
Peta
Berikut adalah wilayah Kalimantan Selatan, tempat terjadinya Perang Sampit.
Aksi Aparat Hukum dan Keamanan
Sayangnya, respon dari pihak keamanan seperti polisi dan tentara belum cukup kuat untuk menghindari korban yang begitu banyaknya. Mereka mendapatkan bantuan dari pasukan tambahan luar daerah untuk menangani kasus ini.
Walau demikian, Sampit tetap jatuh ke tangan suku Dayak. Polisi dengan segenap tenaga menahan orang-orang yang diduga pembuat onar atau biang utama dari kerusuhan. Naasnya, kantor-kantor mereka justru dikepung oleh warga Dayak dan meminta para polisi melepaskan tahanan. Sampai akhirnya pihak militer bisa membubarkan massa pada pertengahan tahun.
Dan dari sisi hukum melalui Komnas HAM membuat Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Sampit. Bulan Agustus 2001, para pengungsi Madura kembali dan siap untuk berdamai dengan orang Dayak. Akhir tahun 2001, pemerintah pusat dan pemerintah daerah Kalimantan Tengah memulai tahap rekonsiliasi kedua suku. Dan sampai detik ini, mungkin masih ada perasaan yang menyangkut dari kedua suku namun toleransi dan komunikasi adalah senjata untuk menyelesaikannya.
Tokoh-Tokoh yang Terlibat
Berikut adalah tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik sampit dan penyelesaiannya.
- Sandong, warga etnis Dayak;
- Matayo, warga etnis Madura;
- Timil, warga etnis Dayak;
- Purnawirawan R. Hartono, Kepala Staf TNI AD pada tahun 2001;
- Soedjono Atmonegoro, Jaksa Agung pada tahun 2001;
- Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan pada tahun 2001;
- Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden RI pada tahun 2001;
- Abdurrahman Wahid, Presiden RI pada tahun 2001;
- Asmawi Agani, Gubernur Kalimantan Tengah pada tahun 2001;
- Warga Madura yang tinggal di Kalimantan Tengah lainnya;
- Warga suku Dayak yang tinggal di Kalimantan Tengah dan sekitarnya.
Dampak Perang Sampit
Dampak yang paling terlihat dari Perang Sampit adalah jumlah korbannya yang menurut catatan Garry Van Klinken mencapai kurang lebih 1.500 orang, sebagian besarnya adalah orang Madura. Selain itu, menurut Ditintel Polda Kalimantan Tengah dari Tirto, ada juga kerugian materi seperti 1.192 rumah yang hangus terbakar dan 173 kendaraan dirusak.
Dampak negatifnya juga dirasakan dalam level psikis warga Madura dan Dayak yang trauma akibat kejadian ini. Sebagian masyarakat juga jadi menakuti orang-orang Dayak karena persepsinya yang bisa memenggal kepala orang atau ngayau dengan mudahnya. Mereka juga dianggap brutal dan tidak manusiawi akibat ngayau. Padahal tidak semua orang Dayak seperti itu dan justru malah ramah.
Sisi positifnya, kejadian ini semakin mengajarkan kita bahwa komunikasi dan toleransi harus dijaga untuk mencegah adanya kesalahpahaman. Pun bila terjadi sebuah kesalahpahaman, jalan damai harus dipertahankan.
Mitos yang Berkembang
1. Panglima Burung
Siapa itu Panglima Burung? Tidak ada yang mengetahui siapa dia sebenarnya. Ada yang bilang ia adalah jelmaan burung enggang; ada yang bilang orang sakti yang sudah hidup ratusan tahun, tinggal di pedalaman antara perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat; dan ada yang bilang sebenarnya ia adalah orang yang sudah meninggal namun ruhnya masih memiliki kekuatan magis.
Sosok Panglima Burung dikatakan muncul saat tragedi Sampit. Ia yang diyakini membantu warga Dayak membantai warga Madura. Diceritakan juga ia dapat menjelma menjadi laki-laki ataupun perempuan. Hingga kini, nasib ceritanya belum jelas karena belum ada bukti validnya.
2. Kekuatan Mistis Orang Dayak
Mitos lainnya adalah orang Dayak dipercaya memiliki kekuatan mistis ketika melawan orang Madura. Ada yang mengatakan bahwa mereka melihat mandau melayang untuk memburu kepala orang Madura. Selain itu, ada juga yang bilang bahwa orang Dayak bisa mencium darah orang Madura jadi mereka bisa tahu mana orang Madura. Kembali lagi ke awal, ini adalah mitos dan belum terbukti kebenarannya.
Inilah ujung dari cerita soal Perang Sampit 2001. Kami harap dapat mencerahkan Selasares akan peristiwa tragis ini. Untuk mengetahui perang-perang lainnya yang terjadi di Indonesia, bisa langsung cek di Selasar.