Perang Salib adalah sebutan bagi pertempuran antara agama-agama di Eropa dan Asia Barat sejak abad kesebelas hingga ke-17 M.
Tak hanya bertujuan untuk berebut Yerusalem, tetapi dianggap juga sebagai perang suci antara dua agama besar, yaitu Islam dan Kristen.
Hanya ada delapan perang utama, kendati memang bertambah hingga Perang Salib 9 bahkan 10 yang tak banyak memengaruhi sejarah.
Mau tahu bagaimana jalannya peperangan yang terkenal sepanjang abad pertengahan ini dari periode pertama hingga terakhirnya?
Simak uraian lengkap mengenai pengertian dan penjelasannya berikut ini:
Sejarah Perang Salib
1. Latar Belakang Terjadinya
Faktor-faktor utama Perang Salib yang mempertemukan bentrokan antara Timur-Islam dan Barat-Kristen antara lain agama, sosial ekomomi, dan politik.
Semenjak Bani Saljuk dari Turki memperoleh Yerusalem dan mengalahkan Diogenes (Kaisar Yunani) di Mantzikert pada 1071, konfrontasi panjang peperangan ini pun dimulai.
Belum berhenti di sana, masih ada Antiokhia yang menyerah pada 1084, sehingga tak ada lagi kota besar Asia di bawah kuasa Kristen pada tahun 1092.
Namun Kaisar Alexius Komnenus yang tak mau tinggal diam, meminta Paus Urbanus II mengobarkan semangat peperangan kepada umat Kristen Eropa pada tahun 1095.
Ia serukan pertempuran dengan tujuan menyatukan kekuatan dan menundukkan gereja-gereja Timur di bawah kuasa umat Islam.
2. Kronologi dari 1 sampai 8
a. Perang Salib 1 (1095-1101)
Paus Urbanus II (1099 M) menghimpun seluruh umat Kristen di Konsili Clermont agar bergabung melawan Turki Seljuk.
Pengumuman pembebasan Yerusalem pada 1095 inilah yang agaknya “dianggap” mengawali Perang Salib, bagi umat Kristen atau sejarawan Barat.
Seruan itu disambut hangat oleh wilayah-wilayah Prancis dan sekitarnya.
Beberapa pendeta dan bangsawan kemudian memimpin keberangkatan melewati jalur darat, melalui Konstantinopel, mengarah ke Al-Quds (Yerusalem).
Kota ini pun jatuh ke tangan Tentara Salib usai pengepungan berlangsung selama lima pekan pada 15 Juli.
Wilayah Suriah, Asia Minor (kini Turki), dan Palestina yang berada di bawah naungan Muslim, jatuh juga ke tangan Tentara Salib satu persatu.
Mereka bahkan membangun negara-negara kecil bagi Tentara Salib, bagian dari Kerajaan Yerusalem pada 1099 pula.
b. Perang Salib 2 (1145-1150)
Abu Hamid al-Ghazali menjadi salah seorang ulama yang puna peran penting melalui inisiatif jihad al-nafs, atau jihad terhadap diri sendiri.
Setelahnya, bergulirlah gerakan perbaikan (islah) pada dekade-dekade berikutnya, hingga memuncak pada satu generasi berikutnya, yakni era Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166).
Perubahannya sendiri baru mulai tampak saat berlangsungnya Perang Salib II pada 1147-1148.
Namun ketika Muslimin kembali bersatu, orang-orang Frank –sebutan untuk orang-orang Prancis atau Eropa Barat ketika itu—justru saling menjegal.
Muncullah Nuruddin Mahmud Zanki (w 1174) di Suriah pada masa ini, seorang pemimpin saleh dan adil yang menjadi atasan juga pendahulu Sholahuddin.
Ia sadar betul, keberhasilan jihad harus didukung keagamaan masyarakat yang baik serta kemauan dari para pemimpin yang bersatu untuk sungguh-sungguh berjihad.
Sebagai respons atas serentetan kekakalahan sebelumnya, Paus Eugenius III mengobarkan Perang Salib berikutnya pada 1 Maret 1145.
Episode kedua dari Perang Salib ini memperoleh dukungan dari berbagai pengkhotbah, termasuk Bernardus dari Clairvaux yang terkenal.
Raja Louis VII dan Konrad III memimpin tentara Prancis dan Jerman yang berbaris ke Yerusalem pada 1147, walau pada akhirnya gagal meraih keberhasilan besar.
Mereka kembali ke negara masing-masing dengan tangan kosong pada 1150.
c. Perang Salib 3 (1188-1192)
Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin) berhasil meraih keberhasilan dalam laga perdananya menjelang episode ke-3 Perang Salib tahun 1187, dan merebut Yerusalem atas pasukan salib di Pertempuran Hattin.
Seruan episode ke-3 pun digaungkan oleh Paus Gregorius VIII, yang bagai dayung bersambut dengan Raja Richard I The Lionheart dari Inggris, Raja Philip II dari Perancis, serta Kaisar Romawi Suci Frederick I.
Memang, mulanya barisan tentara ini sukses mengalahkan Muslimin di dekat Arsuf hingga mendekati Yerusalem.
Namun mereka menemui persoalan dengan ketersediaan makanan dan air yang tak memadai, dan menutup Perang Salib ketiga dengan kegagalan.
Richard sendiri baru meninggalkan Perang Salib usai mengadakan gencatan senjata dengan Shalahuddin.
d. Perang Salib 4 (1202-1204)
Maksud Paus Innosensius III memulai Perang Salib keempat pada 1202 adalah keinginannya menginvasi Tanah Suci lewat Mesir.
Perang ini juga ditunggangi oleh kepentingan politik Doge Enrico dari Venesia yang berambisi meluaskan kekuasaan Venesia sekaligus membebaskan diri dari Bizantium.
Kendati Tentara Salib menandatangani kontrak dengannya, mereka tak sanggup membayar armada dan ketentuan-ketentuannya.
Dandolo lalu hanya meminta mereka agar mengalihkan bentrokan Perang Salib ke Bizantium, dengan jaminan awal berupa Kota Zara.
Kekaisaran ini dibagi menjadi beragam fief Latin dan koloni Venesia oleh Tentara Salib, sekembalinya mereka dari pengepungan pada April 1204.
Perang Salib Keempat ditutup dengan pembagian Bizantium ke dalam dua bagian besar.
e. Perang Salib 5 (1217)
Gereja lagi-lagi mengupayakan jalan Perang Salib dengan berbagai khotbah, prosesi, dan doa.
Bahkan Dewan Keempat Lateran menyusun rumusan rencana pemulihan Tanah Suci pada 1215.
Gelombang pertama (1217) adalah perebutan Yerusalem oleh gabungan pasukan dari Hongaria, Austria dengan pasukan Pangeran Antiokhia dan Raja Yerusalem.
Sedangkan gelombang kedua adalah keberhasilan pasukan perang salib usai pengepungan Damietta di Mesir pada 1219.
Sayangnya, keberhasilan ini ternodai oleh kebodohan mereka sendiri yang melanjutkan serangan ke Kairo atas desakan Pelagius, Legatus Kepausan.
Kontan saja, mereka terpaksa menyerah dan harus mengadakan gencatan senjata sebab ada blokade pasukan Sultan Ayyubiyyah Al-Kamil.
f. Perang Salib 6 (1228-1229, 1239)
Paus Gregorius IX mengekskomunikasi Kaisar Friedrich II pada 1228, usai terus-menerus mengingkari sumpahnya sendiri selama Perang Salib.
Sementara itu, Al-Kamil memberikan Betlehem, Nazareth, dan Yerusalem pada Tentara Salib untuk sepuluh tahun berikutnya.
Perang Salib Para Baron dengan awal mula dari panggilan Paus Gregorius IX untuk menghimpun Tentara Salib pada Juli 1239, usai gencatan senjata dan masa tenang berakhir pun terjadi.
Ada Peter dari Dreux, Hugues IV dari Bourgogne, serta bangsawan Prancis lain yang mengikuti Thibaut untuk berpartisipasi di dalamnya dan tiba di Akko pada September 1239.
Setelah kekalahan pada bulan November di Gaza, Thibaut lalu melakukan pengaturan dua perjanjian dengan kaum Ayyubiyyah, satu dari Damaskus dan satunya lagi dari Mesir.
g. Perang Salib 7 (1249-1254)
Templar (pada gilirannya) mewakili kepentingan kepausan yang memicu konfrontasi dengan Mesir pada 1243.
Maka Pasukan Khwarezm yang menghadap Al-Adil, anak Al-Kamil, menyerbu Yerusalem pada tahun berikutnya.
Dan hanya dalam rentang 48 jam, Tentara Salib tetap kalah telak oleh pasukan Baibars dari suku Khwarezmian, meski terdiri atas gabungan tentara bayaran Badui dan kaum Frank.
Kendati demikian –karena merasa menjadi bagian dari Perang Salib—Louis IX dari Prancis tetap mengkoordinir perlawanan terhadap Mesir sampai 1254.
h. Perang Salib 8 (1270)
Pada kesempatan selanjutnya, Louis IX mengoordinasi Perang Salib kedelapan pada 1270, melalui pelayaran dari Aigues-Mortes sebagai bantuan untuk negara-negara Tentara Salib yang masih tersisa.
Tetapi karena ada pengalihan perang ke Tunis, Louis menghabiskan dua bulan dari akhir sisa usianya sebelum mati di tempat itu.
Berkat upayanya, Louis berhasil menjadi Santo (pemberian nama St. Louis untuk salah satu kota di Missouri, AS untuknya).
Dari sinilah pemecahan peperangan dilakukan, menjadi perang salib kedelapan dan kesembilan.
Ujung terakhir dari sejarah panjang Perang Salib ini adalah Kristen yang telah kehilangan kekuasaannya atas Suriah, walau masih diizinkan hidup damai di sana.
3. Langkah-Langkah Salahuddin Al-Ayyubi dan Kisah di Bukit Hattin
Cerita yang bergulir mengenai panglima besar ini memang kerap diwarnai sanjungan.
Namun bagaimana jika rupanya, ada sisi lain soal kekejaman dirinya dalam Perang Salib yang membuatnya sangat ditakuti lawan?
Dalam mendapatkan takhtanya, Shalahuddin harus bersitegang dulu dengan Sultan Nuruddin, karena beliaulah yang memerintahnya saat ia masih begitu polos dalam usia muda.
Namun Sang Sultan keburu menutup usia, saat melakukan persiapan untuk menumpas “pembangkangan” Sholahuddin di Mesir tanggal 15 Mei 1174, tapi juga meninggalkan kursi “khalifah”.
Reputasi Saladin sebagai seorang religius melancarkan para fanatik meletakkan keberpihakan kepadanya, sehingga banyaknya provinsi Islam di Jazirah Arab yang terpisah menyatukan diri kepadanya.
Bersamaan dengan saat-saat inilah, kebesaran nama julukan: Sholahuddin al-Ayyubi menenggelamkan nama aslinya (Yusuf).
Namun kepopulerannya “sedikit” mengandung persepsi yang berbeda saat peristiwa Pertempuran Hattin meletus.
Pertempuran Hattin mengubah apa itu anggapan tentang Shalahuddin itu sosok yang welas asih pada lawan, gara-gara perlakuan Reynauld of Chattilon, si Tangan Kanan Raja Yerusalem, Guy.
Empat tahun sebelum Perang Hattin, Reynauld merenggut nyawa adik perempuan Saladin, menjarah, memperkosa, dan mengeksekusi kafilah di daerah para muslimin saat gencatan senjata masih terjalin.
Semua kabilah lalu menyatukan diri di bawah nama besar Shalahuddin dan menyingkirkan pertikaian masing-masing.
Para kaum fanatik buta di bawah komando Guy dan Reynauld memburu tentara Shaluhddin di tempat yang terbuka Tiberias, alih-alih menanti mereka di balik dinding kastil Yerusalem.
Shalahuddin tahu, akses terhadap sumber air bisa menentukan jalannya perang kali ini, maka persediaan air pun ia bendung, juga banyak mata air ia keringkan.
Pasukan Salib yang akhirnya tiba di Laut Galilea, baru sadar bahwa perkemahan pasukan Shalahuddin adalah satu-satunya tempat untuk memperoleh sumber air.
Tetapi kelelahan dan kondisi tubuh yang dehidrasi memaksa mereka memilih Bukit Hattin sebagai tempat beristirahat.
Barulah saat 4 Juli 1187 waktu fajar, pasukan Shalahuddin berangkat ke Bukit Hattin untuk menyerbu tempat kemah Pasukan Salib.
Usai pertempuran, Shalahuddin hanya membawa Reynauld dan rajanya (Guy) yang begitu lelah sekaligus sangat haus ke dalam tendanya dan memberi air es yang terlihat menyegarkan.
Ketika Reynauld begitu entengnya minum tanpa tuan rumah mengizinkannya, Shalahuddin bertanya, “Siapakah yang memberikanmu izin minum? Maka dari itu aku tak harus berbelas kasih kepadamu.”
Begitu usai kalimat itu, tercabutlah pedang dari sabuk Shalahuddin dan terpenggallah seketika kepala Reynauld di depan mata Guy yang memandang dengan penuh ketakutan.
4. Sosok di Belakang Layar Kemenangan Sang Panglima
Shalahuddin tidaklah melangkah seorang diri, baik dalam meraih karir gemilangnya maupun saat mengangkat umat Islam dari keterpurukan.
Terdapat dua sosok ulama besar di balik kemenangannya, dan berjasa besar dalam menyiapkan generasi baru, yakni Imam Al-Ghazali dan Abd al-Qadir Al-Jaelani.
Untuk mengupayakan perubahan umat dari dasar-dasarnya, Al-Ghazali dan Al-Jaelani lebih fokus mengatasi persoalan kondisi umat yang memang layak merasakan kekalahan ketika itu.
Abdul Qadir Al-Jailani pula, adalah ulama ahli fikih Mazhab Hanbali yang aktif berdakwah kepada para penguasa dan berhasil mengislamkan ribuan orang non-Muslim.
Merekalah inspirasi bagi Shalahuddin Al-Ayyubi pada masa itu.
Singkatnya, kaum Muslim kemudian mampu menggabungkan konsep jihad al-nafs dan perlawanan terhadap musuh dalam bentuk qital dengan baik pada masa-masa peperangan berikutnya.
Karya-karya Imam al-Ghazali perkara jihad menekankan pula, betapa penting mensimultankan beragam jenis potensi dalam suatu perjuangan.
Aktivitas Al-Ghazali yang gigih memberikan kritikan keras terhadap pemikiran yang dinilainya menyesatkan, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama.
5. Fakta-Fakta di Balik Medan Laga
Perang Salib tak melulu soal pertempuran hingga menumpahkan darah.
Ada pula kompromi politik, koeksistensi, pertukaran ilmiah, perdagangan, tak terkecuali cinta.
Terdapat ilmuwan Nasrani Inggris yang berasal dari Bath bernama Adelardus Bathensis, yang menjalankan misi penggalian terhadap ilmu-ilmu Islam saat Perang Salib.
Ia melaksanakan perjalanan demi menghimpun ilmu pengetahuan dari para sarjana umat Muslim dari kota satu ke kota berikutnya di Syam, walau dibayang-bayangi Perang Salib.
Fakta mengenai keleluasaannya mengakses pusat-pusat arsip keilmuan di bawah kuasa Ayyubiyah, menjadi bukti otentik, Perang Salib bukan perang agama yang semata-mata berlandaskan kebencian.
Justru kontak budaya antardua masyarakat lain iman adalah yang lebih jamak terjadi.
Maka di sanalah pertukaran beragam ilmu pengetahuan itu terjadi, mulai dari astronomi, kedokteran, sampai ilmu filsafat.
Dinasti Ayyubiyah memberlakukan karakteristik pemerintahan yang terbuka, entah itu bidang perdagangan ataupun industri.
Para pemimpin kemiliteran Muslim (Shalahuddin sampai Sultan Ayyubiyyah al-Kamil), sering membuka perundingan dalam menghadapi para agresor dari Kaum Salibis yang berbeda iman.
Sehingga gencatan senjata yang sering berlangsung, menjadi masa rehat bagi komunitas kedua belah pihak untuk senantiasa berinteraksi dan berniaga.
Bangsa Eropa pada masa-masa peperangan ini pun baru kali pertamanya mengetahui sistem moneterisasi umat Muslim yang ternyata lebih kompleks.
Mereka juga turut menjadi saksi, pertumbuhan industri negeri-negeri Islam yang subur.
Kontan saja mereka langsung mengadopsi beragam teknologi rintisan Muslimin, seperti teknik pembuatan kain, kertas, karpet, atau irigasi dan kincir air guna mengairi lahan pertanian.
Tokoh-Tokoh dalam Perang Salib
1. Salahuddin Al-Ayyubi
Shalahuddin al-Ayyubi menjadi jenderal dan pejuang muslim dari Kurdi Tikrit (kini utara Irak) dan orang yang berhasil menaklukkan Yerussalem.
Ia mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir, sebagian Yaman, Suriah, Mekkah Hejaz, Irak, dan Diyar Bakr.
Shalahuddin dikenal oleh dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifat kesatrianya mengampuni lawan saat memerangi Tentara Salib.
Ia pun seorang ulama.
2. Richard a.k.a The Lion-Heart
Richard I (6-09-1157 s/d 6-04-1199) yang bertakhta di Inggris antara 1189-1199, berjuluk si Hati Singa Richard (Cœur de Lion dalam bahasa Perancis) karena tingkatan keberaniannya.
Dia adalah putra ketiga Henry II Inggris, lalu merebut tahta itu dari ayahnya melalui kerja sama dengan Raja Phillip II Prancis pada 1189.
Raja Richard I adalah salah seorang tokoh Perang Salib yang telah dikenal mampu merebut Siprus agar mendukung pasukannya.
3. Barbarossa
Pemilihan Friedrich ke-1 Barbarossa (1122 s/d 10-06-1190) menjadi Raja Jerman dilaksanakan di Frankfurt tertanggal 4-03-1152, sementara baru diberi mahkota di Aachen tanggal 9 bulan Maret.
Selanjutnya ia diberi mahkota sebagai Pemimpin Italia di daerah Pavia pada 1154, lalu sebagai pimpinan Kekaisaran Romawi yang dianggap suci oleh Paus Adrianus ke-4 pada 18-06-1155.
Terakhir, ia dimahkotai pula menjadi Raja Burgundi saat berada di Arles pada 30-06-1178.
4. Dracula
Dracula memang hidup pada era Perang Salib, tapi alih-alih berwujud kelelawar atau sejenisnya, melainkan makhluk sadis nun bengis penyula warganya.
Dia biasa menewaskan tak kurang dari 10.000 muslimin, hingga Sultan Mehmed ke-2 memburunya.
Usai dipenggal di dekat Danau Snagov, lalu jenazahnya dikubur di sana, tapi kepalanya dipindahkan ke Turki –yang usai diteliti rupanya jasadnya tak ada.
5. Mohammad al-Fatih
Muhammad Al-Fatih adalah nama dari kelahiran Sultan Mehmed ke-2.
Ia menjadi sultan di Turki yang berhasil menaklukkan Konstantinopel lewat aksi “Pelayaran Kapal di Daratan”, karena memberi perintah kepada prajurit untuk mengangkut kapalnya melalui gurun.
Ia pula seseorang yang punya perkara dengan Dracula.
6. Baldwin ke-4
Baldwin IV (1161 s/d 16-03-1185), anak Amalric I dari Yerusalem ini erat sekali dengan julukan Lepra atau Kusta.
Agnes dari Courtenay, Istri pertamanya, menjadi ratu di Yerusalem 1174-1185.
Separuh hidup yang dijalaninya memerangi penyakit lepra, hingga akhirnya meninggal pada 1185 karena penyakitnya itu.
Dampak bagi Masyarakat Luas
Perang Salib menanggalkan persangkaan, kecurigaan, serta bekas luka pada sejarah yang tertanam bagi kedua belah pihak.
Ketika deklarasi perang melawan terorisme dilancarkan oleh George Helbert Walker Bush pada permulaan 2000-an, dia gunakan nama Perang Salib atau Holy War.
Barat yang masih mencampuri urusan di Timur Tengah diduga membawa-bawa tendensi Perang Salib.
Gara-gara Barat mengidentikkan jihad sebagai pergerakan berunsur terorisme hingga menyimpan konflik dalam peradaban, mereka anggap tragedi 11 September adalah Perang Suci versi modern.
Motifnya tak lagi sekadar agama semata, tapi kian kompleks dengan beragam kepentingan yang lebih politis maupun ideologis, serta penguasaan terhadap sumber daya dari alam.
Kini, banyak Muslim memikirkan di mana mereka saat ini dalam hal hegemoni Barat.
Bagi sebagian orang, Perang Salib dipandang tidak hanya sebagai ancaman abad pertengahan, tetapi masa kini juga, yang mana adalah upaya Barat secara terus-menerus untuk merusak Islam.
Kelompok-kelompok yang terkena dampak terbesar dari pengalaman tentara salib adalah orang-orang Kristen lokal (non-Eropa).
Pada saat tentara salib ditendang keluar, banyak orang setempat merasa pilihan terbaik mereka adalah berpindah agama.
Perbedaan Pendapat antara Kedua Belah Pihak
Mayoritas sejarah Perang Salib berpandangan sepihak, mengambil kronik abad pertengahan Eropa, lalu disaring oleh para sejarawan Barat abad ke-18 dan 19.
Walau ada perbedaan cara pandang versi Islam dan versi Kristen terhadap peperangan itu, karena ternyata umat Islam tak selalu kontroversial dalam memandang invasi sepanjang pertempurannya.
Secara kronologis, Islam mengakui peristiwa yang hari ini disebut Perang Salib hanya sebagai agresi kaum Frank terhadap dunia Muslim, serta dimulai beberapa dekade sebelum pidato Paus Urban.
Barat mengakui jatuhnya Acre pada 1291 mengakhiri Perang Salib utama, sementara sejarawan Muslim tak melihat kaum Frank menyudahi ancaman keberadaannya sampai pertengahan abad ke-15.
Tentara Salib diberi mandat untuk merebut Tanah Suci serta memperoleh lagi, kendali terhadap segala situs penting milik umat Kristen, misalnya Yerusalem.
Namun wilayah ini penting untuk dunia Islam, karena Yerusalem adalah kota tersuci dalam agama Islam sesudah Makkah lalu Madinah sebagai salah satu dari banyaknya situs ziarah yang paling suci.
Ada berbagai literatur yang mengandung perintah bagi umat Islam untuk senantiasa melindungi Tanah Suci sebagai ruang umat Islam.
Namun banyak tempat, seperti Yerusalem, Acre, atau pula Saidnaya, menerima klaim oleh beragam komunitas, karena menjadi situs suci bagi semua orang, tak cuma satu kelompok.
Inilah pemahaman kaku hari ini, soal situs suci bagi satu kelompok, sementara yang lain tidak seharusnya mendekat.
Padahal kenyataannya ada yang lebih kolektif dalam hal pendekatan untuk sucinya ruangan, alih-alih tetap kukuh mempertahankan kata-kata teori, karena mereka bersedia saling berbagi dalam praktiknya.
Tak lama usai Tentara Salib melaksanakan infiltrasi, mereka dibolehkan berada dalam satu lanskap politik melalui aliansi, perjanjian, ataupun perdagangan.
Ada tumpukan surat dari Shalahuddin kepada Baldwin III sang Raja Yerusalem, yang berisi kedalaman ujaran aliansi dan persahabatan.
Mereka yang menjalani kehidupan bersama Tentara Salib dari jarak dekat kadangkala menggambarkan hal yang lebih tersamarkan.
Usama bin Munqidh, seorang diplomat, pergi ke daerah Tentara Salib menjalin pertemanan dengan pemimpin-pemimpin di sana.
Dia bahkan sangat terkesan saat mampi berkunjung ke pengadilan dan menuliskannya.
Sesungguhnya, mereka tak melulu otokratis.
Ada kemiripan yang saling mengaitkan antara perang salib dan jihad, karena punya akar pada tauhid dan menawarkan status martir atau syahid bagi siapa saja yang tewas.
Namun beberapa perbedaan pentingnya adalah, Perang Salib membebaskan tanah suci yang dianggap hanya milik Kristen, sementara Jihad merupakan penyelamatan mereka yang dianggapnya tersesat.
Peta Peperangan
Perang Salib berpengaruh besar pada Abad Pertengahan Eropa, terutama pertemuan umat Islam dan Kristen dalam beragam bidang pengetahuan seperti kedokteran, sains, dan arsitektur.
Para ideolog dalam babak modern barangkali menggunakan Perang Salib sebagai pembenaran konflik kontemporer yang lengkap, karena menjadi sebagian kejadian dari peristiwa ribuan tahun.
Walau faktanya, Pasukan Muslimin dan Tentara Salib, masing-masing kelompok berjuang demi tujuan sendiri-sendiri, alih-alih untuk tujuan sebagaimana yang memotivasi masa kini.
apakah sejarah perang salib ada 2 versi yaitu versi barat dan versi timur?karena kebanyakan perang salib ditulis oleh orang2 barat.