Perang Kemerdekaan adalah upaya panjang rakyat Indonesia, dalam menghadapi alotnya Belanda mengangkat kaki dari negara kepulauan ini sejak tahun 1945-1949.
Pemicunya yakni masuknya Sekutu yang diboncengi bangsa asing tersebut melalui tangan NICA, ke wilayah-wilayah di Tanah Air usai kekalahan Jepang,
Peperangan ini pun tak hanya melibatkan pejuang dari dalam negeri, namun juga ada beberapa nama berkewarganegaraan asing di antaranya.
Sudah tak sabar mengetahui lebih banyak tentang kronologi, dan akhir dari perjuangan panjang rakyat negeri ini?
Simak baik-baik beberapa keterangan, penjelasan, hingga rinciannya berikut ini:
Sejarah Panjang Perang Kemerdekaan
Peta kekacauan konflik dan situasi Asia Tenggara yang serba hancur adalah pemandangan yang lazim bagi Portugis dan Belanda pada permulaan abad ke-16.
Penjelajahan laut mereka tak diilhami oleh kisah kisah petualangan semata, melainkan hasrat-gelap-mata terhadap komoditas alam.
1. Pengaruh Eropa
Seiring berjalannya waktu keberadaan bangsa-bangsa dari koloni Eropa di Nusantara, segalanya mengarah ke babak yang berbeda.
Gagasan-gagasan nasionalisme dan semangat patriotisme dari para pemuda Indonesia mulai muncul ke permukaan pada awal abad ke-20.
Polanya mengikuti sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan antikolonial pendahulu, yakni kaum intelektual terdidik dari Eropa yang mengidamkan kebebasan berpolitik.
Gelombang yang bergejolak ini pun melahirkan dua sosok penting bagi kelahiran bangsa Indonesia, yaitu Sukarno dan Mohammad Hatta, sosok orator dan tokoh ideolog atau dikenal sebagai Dwitunggal.
Keduanya secara bersama-sama membentuk kerja sama yang menarik (bahkan kedekatannya lebih dalam dari sekadar itu).
2. Invasi Jepang Mengakhiri Kolonialisme Belanda
Keberadaan Jepang yang tiba-tiba menginvasi Asia Tenggara pada 1941 telah meruntuhkan kolonialisasi Belanda di Batavia (sekarang Jakarta).
Memang, kedatangan ini –walau sekadar selingan singkat—otomatis membebaskan masyarakat Tanah Air dari belenggu Belanda serta menggembirakan barisan nasionalis di Jawa.
Namun, perilaku mereka pun tak ubahnya bangsa sebelumnya, dilengkapi pemaksaan kerja –yang bahkan lebih keras.
Kendati demikian, Jepang nyatanya membebaskan Sukarno –yang akrab dengan hukuman penjara dari kolonialisasi Belanda.
3. Jalan Menuju Kemerdekaan
Mengetahui berita menyerahnya Pasukan Kekaisaran Jepang pada 1945, barisan nasionalis mantan prajurit gerilya bersiap merebut Jawa kembali.
Tetapi yang selanjutnya muncul malah serangan balik dari Belanda terhadap negara baru Indonesia.
Baiknya, kegigihan Indonesia muda memojokkan Belanda dan Inggris hingga segera menemui kebuntuan.
Pangkalan di kota-kota besar tak ada artinya dibandingkan kepemimpinan pejuang kemerdekaan di kawasan pedesaan, atau pula peranan umat Islam pada masa ini.
4. Barisan Srikandi
a. Propaganda Perempuan Militan
Jepang sangat mengandalkan propaganda selama era Perang Pasifik.
Pemerintah mereka bahkan memobilisasi perkumpulan kaum perempuan Indonesia melalui serangkaian propaganda di akhir tahun 1944.
Surat-surat kabar juga secara serempak menggaungkan konsep perempuan ideal dan tanggung jawabnya, beberapa bulan menjelang pidato R.A. Abdurrachman yang berapi-api dalam rapat Fujinkai.
Maka tak pelak, surat kabar yang sama juga memberitakan lahirnya Barisan Srikandi hanya satu bulan kemudian, yang berakar lahir dari propaganda Jepang.
b. Rapat Reaksi Organisasi Perempuan
Perdana Menteri Kuniaki Koiso merilis keputusan resmi Kekaisaran Jepang tentang janji pemberian kemerdekaan kepada Indonesia, sebelum dilumat pasukan Sekutu.
Putusan yang pada 7 September 1944 itu kontan memicu reaksi dari pelbagai kalangan di Nusantara, khususnya Fujinkai.
Kondisi yang tanpa arah kemudian memotvasi diadakannya rapat di Taman Raden Saleh, Jakarta, oleh Fujinkai pada pertengahan September 1944.
Nyonya R.A. Abdurrachman selaku Ketua Fujinkai Jakarta, melalui rapat itu, memberi pernyataan sikap tentang perempuan yang keberatan bila tak dilibatkan dalam upaya menyambut kemerdekaan.
c. Pelopor Laskar Perempuan
Fujinkai –melalui pangreh praja—lalu membawahi Barisan Srikandi, badan semimiliter yang dibentuk secara resmi pada April 1944 di Jakarta.
Sejumlah anggotanya turut menyebarkan berita kemerdekaan ke sepenjuru Jakarta, usai mendengar informasi kekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945.
Mereka berjuang bersama Laskar Wanita Indonesia dalam mempertahankan Bandung, atau mendirikan Pemuda Putri Republik Indonesia yang punya peranan dalam konfrontasi 10 November di Surabaya.
5. Perwira Inggris sebagai Saksi Kekuatan Rakyat Indonesia
Laurens van der Post, lelaki kelahiran Afrika Selatan berdarah Belanda adalah perwira Inggris yang pernah ditugaskan ke Sumatera dan Jawa untuk membantu militer Belanda.
Walau tak lama setelah itu ia tertangkap, menjadi tawanan di kamp interniran Jepang di Cimahi, dan baru dibebaskan pada 14 Agustus 1945.
a. Kehadiran Laurens dalam Rapat Raksasa di Ikada
Laurens, dengan kemampuan berbahasa Belanda dan Jepang ikut menghadiri rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945.
Apa yang dilihatnya pada 17 Agustus 1945, adalah kekuatan rakyat Republik Indonesia yang baru saja lahir, mereka bukanlah boneka Jepang.
Ia lantas melaporkan hasil observasinya ini kepada Laksamana Wilfred Patterson, saat pasukan Inggris sampai di Tanjung Priok pada 29 September 1945.
b. Kekecewaan Belanda
Tak hanya Patterson yang mendengar laporan itu, karena Charles van der Plas, pendiri Nederlandsch Indie Civiel Administratie (NICA) sekaligus Si Biang Keladi peristiwa 1945 – 1949 juga ada di sana.
Ada kekecewaan dalam dirinya mendengar laporan Laurens, karena itu berarti masa depan Belanda di Indonesia akan terancam.
Saat peristiwa 10 November di Surabaya memperburuk hubungan Inggris dan Indonesia, Laurens mengusulkan adanya dialog dengan pejabat Indonesia kepada Laksamana Patterson.
Ia sendiri yang mengemban tugas untuk menyampaikan juga usulan itu kepada para pejabat Indonesia, atas nama Laksamana Louis Muontbatten (Panglima Tinggi Sekutu di Asia Tenggara) dan Patterson.
c. Kepercayaan Indonesia
Suatu hari menjelang kedatangan Mountbatten di Jakarta, Brigadir Jenderal Lauder, perwira Inggris yang berseberangan dengan Laurens, tidak ingin melihatnya di markas besar.
Namun beberapa waktu setelahnya, Laurens malah dimarahi karena tak berada di markas besar saat Panglima Tinggi itu datang.
Mereka akhirnya menemui Sjahrir di rumahnya, dan membentuk kepercayaan orang Indonesia pada Inggris melalui pertemuan itu.
6. Perjuangan yang Berliku Belum Tuntas Pasca Proklamasi
a. Latar Belakang Terjadinya Peperangan Kedua
Sebagaimana termaktub dalam perjanjian Wina tahun 1942, negara-negara sekutu bersepaham untuk mengembalikan seluruh wilayah pendudukan Jepang pada pemiliknya masing-masing.
Tetapi sebagian wilayah Indonesia malah berada di bawah kuasa Tentara Sekutu –mulai dari Australia AS, dan SEAC—menjelang akhir perang pada 1945.
b. Mendaratnya Belanda diwakili NICA
Barisan dari Inggris yang mewakili Sekutu, didampingi Dr. Charles van der Plas dari Belanda tiba di Jakarta pada 15 September 1945.
Kehadiran mereka rupanya “ditunggangi” NICA di bawah pimpinan Dr. Hubertus J van Mook, untuk merundingkan pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942.
Van Mook ini pula yang kemudian membuka jalan pada perang kemerdekaan, dengan melancarkan pendaratan para pengintai hingga adanya peran terselubung Belanda.
Taktik bulus van Mook berjalan mulus pada akhirnya.
Pidato itu menegaskan, adanya rencana pembentukan wilayah persemakmuran yang anggotanya termasuk Kerajaan Belanda sendiri dan Hindia Belanda, di bawah kuasa Ratu Belanda.
c. Perlawanan dari Rakyat Tanah Air
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi gara-gara Sekutu dan NICA memasuki Indonesia, yang masih baru saja menyatakan kemerdekaannya:
- Pertempuran Lima Hari pada 15-19 Oktober 1945 (melawan Jepang) di Semarang.
- Peristiwa 10 November pada 10 November 1945 di Surabaya, yang dipimpin Kolonel (TKR) Sungkono.
- Bandung Lautan Api pada 23 Maret 1946 di Bandung, berdasarkan perintah Kolonel (TRI) A.H. Nasution.
- Konfrontasi Selat Bali pada April di Selat Bali, yang dipimpin Kapten Laut (TRI) Markadi.
d. Peristiwa 1946 (Pemindahan Ibu Kota)
Keamanan ibu kota di Batavia tak lagi kondusif, karena aksi saling serang antara kelompok pro-Belanda dan pro-kemerdekaan kian memperburuk situasi menjelang akhir 1945.
Maka dengan segera, Presiden Soekarno memerintahkan –secara rahasia—Balai Yasa Manggarai agar bertindak cepat menyiapkan rangkaian kereta api untuk menyelamatkan para pejabat negara.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta, beserta sejumlah menteri / staf juga keluarga mereka menuju Yogyakarta –sekaligus memindahkan “sementara” ibu kota—pada 3 Januari 1946.
e. Pembantaian Westerling
Tragedi ini adalah tindakan pembunuhan massal terhadap ribuan warga sipil Sulawesi Selatan, oleh tentara Belanda di bawah tangan dingin Raymond Pierre Paul Westerling.
Peristiwa ini berlangsung sepanjang operasi (yang mengada-ada) militer, Counter Insurgency atau penumpasan pemberontakan pada Desember 1946 sampai Februari 1947.
f. Meneken Perjanjian Linggarjati
Ada tiga orang Komisioner Jenderal yang ditunjuk Belanda agar mendatangi Jawa sebagai bantuan untuk van Mook dalam perundingan baru dengan para wakil republik.
Usai mengalami tekanan berat dari luar negeri sepanjang Perundingan Linggarjati, dicapailah satu persetujuan yang diparaf secara resmi pada 15 November 1946 di rumah Sjahrir, Jakarta.
Persetujuan yang dihasilkan dari perundingan antara Belanda dan Indonesia di Linggarjati (Jawa Barat) ini mengandung status kemerdekaan Indonesia.
Tetapi pada kenyataannya, Gubernur Jenderal H.J. van Mook menyatakan ketidakterikatan Belanda dengan perjanjian ini, hingga Agresi Militer Belanda I meletus pada 21 Juli 1947.
g. Agresi Militer I
“Operatie Product” (Agresi Militer Belanda I) adalah operasi militer Belanda di Sumatera dan Jawa yang dilaksanakan dari 21 Juli sampai 5 Agustus 1947.
Jelas saja dari perspektif Republik Indonesia, operasi ini adalah pelanggaran hasil Perundingan Linggarjati.
Namun barisan republik hanya bisa bergerak mundur kebingungan dalam menyikapi aksi Belanda ini.
Mereka cuma menghancurkan apa-apa yang bisa dihancurkan saja.
Beruntung, ‘aksi polisional’ ini tak disukai oleh kedua sekutunya, yaitu Amerika dan Inggris.
Mereka menggiring Belanda agar sesegera mungkin menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Indonesia.
h. Peristiwa 1948 (Kemunculan Persetujuan Renville)
Saat konfrontasi masih terus bergulir, Dewan Keamanan dari PBB, berdasarkan desakan dari Australia serta India, memberikan perintah untuk meletakkan senjata tertanggal 1 pada bulan Agustus 1947.
Berikutnya pada Januari 1948 tertanggal 17, dilangsungkanlah konferensi dalam Renville (kapal perang milik Amerika Serikat), yang rupanya memberikan persetujuan lain sebagai jalan tengah untuk kedua pihak.
Wilayah Republik bahkan lebih terbatas bila dibandingkan dengan kesepakatan Linggarjati: hanya mencakup bagian ujung Pulau Jawa bagian barat serta sebagian kecil dari wilayah Jawa Tengah (8 keresidenan di sana dan Jogja).
i. Peristiwa 1948-1949 (Agresi Militer Belanda II)
Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak pada 19-12-1948 diawali dengan menyerang ibu kota Indonesia waktu itu (Yogyakarta), serta menangkap Sukarno, Moh. Hatta, Syahrir, dan tokoh-tokoh lain.
Ibu kota negara yang jatuh mendorong pembentukan Pemerintahan Darurat untuk Republik Indonesia di Sumatera yang di bawah kepemimpinan Sjafruddin Prawiranegara.
Begitu serdadu Belanda memulai serangan mereka, Pangsar Jenderal Soedirman (dalam keadaan sakit) mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan lewat radio tertanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
j. Serangan Umum tanggal 1 Maret
Penyerangan besar-besaran terhadap Yogyakarta pada Maret tanggal 1 tahun 1949, direncanakan serta disiapkan oleh petinggi jajaran dalam satuan militer Divisi III-GM III.
Sejumlah pucuk pimpinan sipil setempat juga turut serta atas dasar instruksi dari Pangsar Jendral Sudirman, sebagai bukti bahwa RI masih eksis dan punya kekuatan.
Tujuan utamanya adalah mematahkan moral serdadu Belanda serta pembuktian pada dunia mancanegara bahwa TNI masih bertaring untuk melawan Belanda.
k. Menyetujui Perjanjian Roem-Van Roijen
Agresi militer dua kali ini memaksa adanya perundingan kembali, antara Belanda dengan RI, karena tekanan dari pihak internasional –terutama Amerika Serikat.
Belanda dan Republik Indonesia lalu menyepakati perjanjian baru Roem Royen atau juga disebut Kesepakatan Roem-von Roijen pada 7-05-1949.
Sangking alotnya perjanjian ini, sampai-sampai butuh menghadirkan Bung Hatta yang berangkai dari tempatnya diasingkan, yaitu Bangka, juga Sri Sultan HB IX dari daerah Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX pun menegaskan sikapnya terhadap Pemerintahan RI di Yogyakarta, “Jogjakarta is de Republiek Indonesie”, yang mana artinya adalah Yogyakarta merupakan bagian dari Republik Indonesia.
l. Serangan Umum di Surakarta dan Tentara Pelajar
Peristiwa Serangan Umum di Solo atau Surakarta yang bergulir sejak tanggal 7 sampai 10 bulan ke-8 1949, dilaksanakan oleh para pejuang gerilyawan, bahkan mahasiswa dan pelajar (yang disebut Tentara Pelajar).
keme
Kendati peralatannya tertinggal, tapi Solo berhasil dikuasai TNI sehingga pertahanannya menjadi yang terkuat.
Hal ini tak lepas dari dukungan rakyat yang dikomandoi oleh pemimpin andal, yakni Slamet Riyadi.
m. Konferensi pada Meja Bundar (Alot Utang Luar Negeri dan Papua Barat)
Konferensi pada Meja Bundar diadakan di Den-Haag sejak 23 Agustus sampai 2-11-1949, oleh perwakilan dari RI, Belanda, dan BFO –yang mewakili negara ciptaan Belanda di kepulauan Indonesia.
Dewan Keamanan PBB meloloskan resolusi kecaman penyerangan militer Belanda terhadap rakyat Indonesia, juga menuntut dipulihkannya pemerintahan di Republik.
Ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat hingga berlangsung berkepanjangan dan alot.
Pada akhirnya, “berkat intervensi anggota AS”, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan melunasi sebagian utang Belanda adalah harga yang pantas demi meraih kedaulatan.
Perkara soal Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menemui jalan buntu.
Hingga konferensi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949 “tanpa keputusan yang berarti” mengenai hal ini, dengan penyerahan kedaulatan selambat-lambatnya 30 Desember 1949.
n. Tujuh Pejuang Asing
Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949), tak hanya melibatkan para pejuang bumi putera saja.
Tujuh nama di antaranya adalah orang asing yang tercatat aktif berjuang demi Indonesia merdeka:
J.C. Princen
Johannes Cornelis Princen adalah seorang kopral wajib militer dari Divisi 7 Desember, yang sejak lama sudah merasa tak nyaman dengan pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia.
Dia ditangkap Tentara Merah dan ditawan di Pati, tapi Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi membebaskannya untuk kembali pada pasukannya sebulan kemudian.
Namun dia bersikukuh memilih ikut Siliwangi untuk long march ke Jawa Barat, dan tercatat aktif sebagai gerilyawan Republik yang berjuang di wilayah Cianjur-Sukabumi pada 1949.
Shigeru Ono
Shigeru Ono (usia 95 tahun) menjadi pejuang Indonesia yang berasal dari Jepang terakhir yang meninggal pada Agustus 2014 lalu, karena pembuluh darah yang membengkak dan penyakit tifus.
Selain turut bergerilya di lereng Gunung Semeru, Shigeru juga terlibat dalam proses penyusunan buku petunjuk yang khusus berisi strategi perang gerilya dengan Kol. Zulkifli Lubis (alm.).
Demi pembelaan untuk tanah air yang baru, tangan kanan Shigeru bahkan hilang karena menerima ledakan dari mortir.
Abdullah Sattar
Bergabungnya pria asal India ini dengan tentara Republik yang kuat di Medan berawal dari pembelotannya dari BIA, atau British-India-Army membawa sekian puluh anak buah dan persenjataan yang lengkap.
Para jajaran tertinggi tentara Republik di Medan membuatkan kompi khusus di Batalyon I untuk pasukan pembelot ini.
Mereka lalu banyak terlibat pula dalam beragam operasi perang di daerah Medan dan di sekitarnya.
Warner – Losche
Keduanya adalah personel Angkatan Laut di Jerman (Kriegsmarine) yang ditawan serdadu Inggris pada 1945 di Jakarta, kemudian “disingkirkan” ke Kepulauan Seribu (Pulau Onrust).
Werner serta Losche adalah eks-awak dalam Kapal Selam berkode U-219 yang berhasil meloloskan diri dari ‘neraka’ Onrust.
Mereka lantas menggabungkan diri dengan para gerilyawan begitu tiba di Jakarta.
Kol. Zulkifli Lubis menempatkan keduanya di Ambarawa, sebagai instruktur dalam pelatihan intelijen untuk Republik Indonesia.
Besin
Sebanyak empat prajurit Gurkha tertangkap tentara Republik –termasuk Besin dari Batalion Gurkha Rifles 3//3, dalam konfrontasi brutal pada Maret 1946 di sekitaran Jembatan Cisokan Lama.
Ketika akan ada pertukaran tawanan, alih-alih kembali ke kelompoknya, ia pilih menggabungkan diri dengan barisan Republik menjadi ajudan wedana Ciranjang.
Besin masih sempat berprofesi menjaga salah satu sekolah dasar di daerah Ciranjang, sebelum kemudian meninggal pada 1970-an.
John Edward
Letnan dengan kebangsaan Inggris ini membelot ke barisan Republik tahun 1946, untuk menggabungkan diri dengan Batalion B yang dipimpin Kapt. Nip Xarim.
Sekian waktu kemudian, ia mengalami kenaikan pangkat menjadi kapten.
John Edward lantas lebih dikenal dengan sebutan Kapt. Abdullah Inggris di kalangan gerilyawan Indonesia wilayah Sumatera.
Yang Chiil-Sung
Menjadi pemuda dari Korea dalam barisan tentara Jepang untuk Indonesia, Chil Sung dan pasukannya terlibat bentrok dengan kelompok bernama Pasukan-Pangeran-Papak (PPP) pada Maret tahun 1946.
Mereka yang kemudian tertangkap, menyatakan menggabungkan diri dengan kekuatan laskar yang berasal dari Garut itu.
Salah satu di antara aksinya yang terkenal, yakni keberhasilannya meruntuhkan Jembatan Cinunuk, jadi serdadu Belanda gagal mengambil alih Wanaraja.
o. Foto-Foto Orang Indonesia saat Perang Kemerdekaan
Perang ini telah merenggut nyawa 300 ribu orang Indonesia (termasuk yang dibunuh tanpa peradilan), sementara Belanda hanya kehilangan 6.000 orang.
Potret perjuangan dan wajah orang Indonesia saat perang kemerdekaan pun diabadikan dalam sejumlah museum sebagai pengingat kepada generasi muda:
1. Wajah anak-anak negeri di tengah masa-masa perang.
2. Kurir pembawa pesan (rahasia) semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI 1945-1949.
3. Dua dari barisan tentara RI tertangkap serdadu Belanda di Pacet, Mojokerto.
4. Gambar kemiskinan masyarakat Tanah Air (Garut) saat perang kemerdekaan.
5. Kemiskinan penduduk bangsa sendiri (Bogor), korban di tengah perang kemerdekaan.
6. Kemiskinan warga dalam negeri (Padang Panjang) pada masa-masa perang kemerdekaan.
p. Penyerahan Kedaulatan RI
Belanda hanya mengakui kemerdekaan Indonesia itu tanggal 27 Desember 1949, bukan saat momentum proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Mereka punya kekhawatiran tersendiri, bahwa pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia 1945, sama artinya dengan menjelaskan secara terang-terangan, bahwa Aksi Polisional 1945-1949 itu ilegal.
Belanda baru benar-benar berani mengakui kemerdekaan 1945 itu pada 16 Agustus 2005, sehari menjelang 60 tahun proklamasi Indonesia oleh Menlu Belanda, Bernard Rudolf Bot di Gedung Deplu.
Belanda Menolak Dakwaan Indonesia
Pengadilan Den Haag memerintahkan parlemen Belanda untuk membayar kompensasi atas penyiksaan dan pembunuhan dalam skala besar saat Perang Kemerdekaan Indonesia.
Tetapi mereka malah melayangkan gugatan melawan keputusan itu.
Yaseman, petani Indonesia yang saat ini telah meninggal dunia, bersaksi bahwa Pasukan Kerajaan Hindia Belanda telah menahan dan menyiksanya habis-habisan selama satu tahun lebih pada 1947.
Pengadilan yang menerima kesaksiannya, juga menemukan bukti yang cukup untuk mendukung klaim Yaseman, serta memerintahkan pihak Belanda untuk membayar US$8.648 sebagai kompensasi.
Dampak
1. Hidup Susah Pahlawan yang Terabaikan
Ada lebih-kurang 100 ribu veteran yang dipunyai Indonesia (menurut data pemerintah), dari total 260 juta penduduknya.
Seiring kemerdekaan Indonesia yang selalu dirayakan tiap tahun, mereka yang dulu telah berjuang demi menjaga harkat dan martabat kemerdekaan, kini malah terlupakan dan sulit memenuhi kebutuhan hidup.
Seluruh veteran memang telah secara rutin memperoleh tunjangan sekitar 2-3 juta perbulan –tergantung layanan dan pangkat, tapi tidak akan cukup terutama bagi yang tinggal di Jakarta.
Mereka hanya menerima tunjangan bulanan dari pemerintah itu, tanpa benar-benar mendapatkan jaminan yang lain.
2. Butuh Lebih Banyak Pengakuan
Beberapa di antara mereka juga mengharapkan adanya pengakuan dari pemerintah yang lebih banyak.
Padahal banyak pengorbanan dalam beragam macam hal telah dilakukan, hingga membahayakan nyawa diri sendiri karena bisa mengakibatkan mereka terbunuh.
Satu di antaranya adalah Ibu Soekasti (90), yang mengharapkan pemerintah bisa menghormati pengorbanannya melalui undangan ke istana, saat perayaan utama berlangsung setiap 17 Agustus.
Beliau sendiri (dulu) ditugaskan sebagai kurir pengantar pesan (termasuk pula mata-mata) bagi seorang pahlawan perang Indonesia yang umum dikenal, yakni Jenderal Gatot Soebroto.
3. Kesulitan Veteran Pascakemerdekaan Indonesia
Mereka yang bertugas di kemiliteran tak berselang lama usai kemerdekaan Indonesia juga menghadapi krisis keuangan.
Bapak Nawawi Sa’Ad (86 tahun) salah seorang di antaranya.
Beliau tinggal di Tangerang (di pinggiran Jakarta tepatnya) bersama sang putri yang berusia 34 tahun.
Para pejabat dari banyak lembaga telah bolak-balik memeriksa rumahnya untuk memastikan kelayakan renovasi.
Tetapi begitu diketahui pembangunan rumah di tanah itu tak berizin, tak ada yang bisa mereka lakukan sebagai bantuan.
Padahal beliau telah memerangi Belanda pada 1960-an di Papua, sampai-sampai ditempatkan selama 10 bulan dalam kapal selam.
4. Tindakan Masyarakat Sipil
Kriswiyanto Muliawan Wiyogo, salah seorang penduduk Jakarta, telah lama memprioritaskan perhatian lebih yang dibutuhkan para veteran Indonesia sebagai keharusan yang semestinya mereka dapatkan.
Ia mendirikan Sahabat Veteran (dikenal pula sebagai SaVe), yayasan untuk menaungi para pejuang kemerdekaan, bersama teman-temannya.
SaVe telah menyelenggarakan beragam kegiatan sebagai perhatian untuk para veteran Indonesia sejak 2010, baik berupa renovasi rumah maupun pemeriksaan kesehatan secara gratis.
Kebanyakan pendonor adalah perusahaan besar dengan tanggung jawab sosial sebagai inisiatif dari internal kantor / lembaga masing-masing.
Ada pula para remaja dan bahkan anak-anak dari sejumlah TK tertentu yang ingin menjumpai para veteran.
Peta Peperangan
Perjuangan bangsa Indonesia pascaproklamasi masih dipenuhi lika-liku sepanjang 1945-1949, meski telah melalui tiga setengah abad penjajahan.
Terdapat banyak sekali peristiwa pada masa itu, penggantian posisi dalam kabinet, Aksi Polisional, gerakan perlawanan dari rakyat, berbagai perang diplomasi, serta peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
Memahami semua itu dari berbagai sudut tentu harus dilakukan, agar mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.