Perang Bubat terjadi pada tahun 1357. Perang yang dilatarbelakangi pengkhianatan ini terjadi antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda. Perang ini melibatkan nama-nama besar seperti Hayam Wuruk, Gadjah Mada, Linggabuana, dan Dyah Pitaloka Citraresmi. Perang Bubat tidak hanya berakibat batalnya rencana perkawinan antara Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka dan rencana membangun kembali silaturahmi antara kedua kerajaan, tetapi tetapi juga mengakibatkan terbunuhnya Maharaja Linggabuana dan putrinya Dyah Pitaloka.
Untuk mengetahui detail sejarah Perang Bubat, simak ulasan dari kami berikut ini.
Latar Belakang Perang Bubat
1. Kisah Asmara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka
Ini semua berawal dari kisah cinta Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk. Sang raja Majapahit jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat lukisan seorang putri. Ternyata putri dalam lukisan itu tak lain adalah Dyah Pitaloka Citraresmi, seorang putri dari Negeri Sunda. Pernikahan keduanya pun segera direncanakan.
Selain atas nama cinta, Hayam Wuruk memiliki niat baik untuk mempersatukan kembali tali silaturahmi antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit yang telah lama putus akibat pemberontakan dan perebutan wilayah kekuasaan. Nyatanya, Raden Wijaya yang mendirikan Kerajaan Majapahit merupakan keturunan Sunda karena ayahnya adalah Rakeyan Jayadarma, seorang raja Sunda. Ini tercatat dalam Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara dan Babad Tanah Jawi.
Dengan dorongan politik ini, keluarga Kerajaan Majapahit merestui hubungan dan pernikahan mereka. Surat kehormatan kemudian diantarkan kepada Raja Linggabuana di Kerajaan Sunda yang berisi lamaran untuk mempersunting putrinya, Dyah Pitaloka. Niatnya, upacara akan dilaksanakan di Majapahit.
2. Perjalanan Rombongan Sunda Menuju Majapahit
Dari sisi Kerajaan Sunda, mereka merasa terhormat atas rencana pernikahan ini. Sang Raja dengan senang hati menyetujui Hayam Wuruk untuk melamar putrinya. Namun, ketika mengetahui bahwa upacara pernikahan akan diselenggarakan di Majapahit, pihak Sunda cukup keberatan. Pasalnya menurut adat yang berlaku waktu itu, aneh dan tidak lazim rasanya jika pihak perempuan mendatangi pihak laki-laki, seharusnya kebalikannya.
Selain itu, penasihat-penasihat kerajaan menduga bahwa ini adalah jebakan diplomatik. Majapahit yang sedang menggencarkan untuk meluaskan wilayahnya dianggap oleh para penasihat ingin menguasai wilayah Kerajaan Sunda.
Nampaknya, pemikiran tersebut kurang mampu memengaruhi Linggabuana. Ia pun memutuskan untuk beranjak ke Majapahit bersama Dyah Pitaloka, permaisuri, dan rombongan keluarga kerajaan sekaligus beberapa prajurit. Linggabuana merasa garis leluhur dua kerajaan tersebut lebih kuat dan harus dibangun kembali dibandingkan dugaan negatif akan Majapahit.
Perjalanan dilakukan oleh rombongan Sunda dan setibanya mereka di Majapahit, mereka ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Ironinya, tempat ini nantinya menjadi akhir dari perjalanan mereka.
3. Salah Paham dan Pengkhianatan
Menurut sumber Kidung Sundayana, Gadjah Mada, Mahapatih Kerajaan Majapahit, memiliki niat untuk menguasai Kerajaan Sunda. Sumpah Palapa yang bertujuan untuk menyatukan wilayah nusantara di bawah naungan Majapahit, menjadi ambisi dan motivasi besar bagi Gadjah Mada untuk menaklukkan Sunda. Dari berbagai kerajaan yang sudah berada di tangan Majapahit, Kerajaan Sundalah yang belum dimiliki. Padahal jarak kedua kerajaan tidak begitu jauh dan masih dalam satu pulau yang sama, Pulau Jawa.
Perjalanan rombongan Sunda ke Majapahit ia anggap sebagai bentuk tunduk Kerajaan Sunda menjadi bawahan Kerajaan Majapahit. Ditambah lagi, Gadjah Mada beranggapan bahwa Dyah Pitaloka bukan lagi dilihat sebagai calon pengantin Hayam Wuruk, melainkan objek penyerahan diri. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk berpikir demikian dan mengambil kesempatan untuk menunjukkan superioritas Majapahit atas Sunda.
Karena Gadjah Mada adalah mahapatih yang diandalkan saat itu, Hayam Wuruk mulai bimbang. Desas desus kabar ini berhasil ditangkap oleh utusan Linggabuana. Mereka tidak terima bahwa kedatangan mereka justru dianggap sebagai tanda tunduk akan Majapahit, bukan karena niat baik pernikahan politik.
Hayam Wuruk masih bingung dan membutuhkan waktu untuk mengambil keputusan. Gadjah Mada yang teguh pendirian mengerahkan pasukan ke Lapangan Bubat tanpa sepengetahuan Hayam Wuruk. Esok harinya Lapangan Bubat dikepung oleh prajurit Majapahit dan peristiwa tragis akan dihadapi oleh rombongan Kerajaan Sunda.
Terjadinya Peristiwa Tragis di Lapangan Bubat
Tidak menyangka bahwa Majapahit melakukan pengkhianatan dengan mengepung Lapangan Bubat dalam jumlah besar, Kerajaan Sunda jelas akan kalah. Jumlah prajurit rombongan yang seadanya dan dengan perlengkapan perang yang minim.
Demi kehormatan Kerajaan Sunda, sang raja dan beberapa prajuritnya melawan pasukan Majapahit yang masif. Alhasil, Linggabuana dan pasukannya gugur dalam perang yang tidak seimbang itu.
Sang putri yang menyaksikan ayahandanya terbunuh dalam medan perang segera melepas patrem atau tusuk kondenya dan menikam ke jantungnya. Ia lebih memilih bela pati atau bunuh diri demi kehormatan bangsanya daripada harus tunduk ke Majapahit.
Aksi berani Dyah Pitaloka pun diikuti oleh para perempuan kerajaan lainnya. Dan rombongan Sunda yang datang ke Majapahit tidak tersisa satu orang pun.
Peta Lokasi
Berikut adalah peta Desa Trowulan, Mojokerto, yang direka ulang. Di dalamnya terdapat Lapangan Bubat yang pada awalnya juga berlokasi di Desa Trowulan.
Tokoh-Tokoh yang Terlibat
Tokoh-tokoh yang memiliki peranan penting dalam tragedi Bubat antara lain:
- Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit;
- Gadjah Mada, Mahapatih Kerajaan Majapahit;
- Dyah Pitaloka Citraresmi, Putri Mahkota Kerajaan Sunda;
- Maharaja Linggabuana, Raja Kerajaan Sunda dan ayah Dyah Pitaloka Citraresmi;
- Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati, Dewan Kerajaan Sunda;
- Permaisuri serta dayang-dayang;
- Segenap prajurit Sunda; dan
- Prajurit Kerajaan Majapahit.
Dampak Peristiwa Bubat
1. Hancurnya Tali Silaturahmi Sunda dan Majapahit
Dampak yang paling terasa dari Perang Bubat adalah runtuhnya ikatan persaudaraan antara Kerajaan Sunda dengan Majapahit. Padahal, niat awalnya adalah untuk menyatukan kedua negeri. Hayam Wuruk menyesali tindakan Gadjah Mada yang dianggap gegabah olehnya. Sang raja mengirimkan utusannya dari Bali untuk menyampaikan maaf sebesar-besarnya kepada pihak Sunda dan nantinya peristiwa ini akan dicatat dalam Kidung Sunda. Hubungan diplomatik kedua negara tidak pernah pulih sejak itu hingga ratusan tahun kemudian.
Muncul juga sebuah aturan larangan estri ti luaran atau secara harfiah berarti larangan istri dari luar. Maksud aturan ini adalah larangan untuk menikahi istri dari luar kerabat Kerajaan Sunda, terutama bagi keluarga kerajaan. Sayangnya, ada yang menginterpretasi aturan ini sebagai larangan untuk menikahi orang Jawa khususnya dari Majapahit.
Atas tindakan heroik raja, putri, dan rombongan Sunda lainnya yang gugur di medan tempur, mereka dianggap teladan oleh masyarakat Sunda. Linggabuana juga dijuluki Prabu Wangi yang berarti raja yang harum namanya atau raja yang mengharumkan negara.
Persengketaan Sunda dan Jawa bahkan masih bisa terasa hingga kini. Pasalnya beberapa wilayah di Sunda maupun Jawa seperti contoh di Bandung, tidak memiliki jalan dengan nama Jalan Gadjah Mada atau Jalan Hayam Wuruk. Beberapa orang tua juga masih tidak membiarkan anaknya menikah dengan orang Sunda dan sebaliknya.
2. Hancurnya Karir Gadjah Mada Sebagai Patih
Selain kecewa dengan Gadjah Mada, Hayam Wuruk dikatakan juga membatasi hubungannya dengan Gadjah Mada. Ia sudah kehilangan kepercayaan akannya. Lambat laun hubungan keduanya merenggang. Pihak pejabat kerajaan lainnya turut bersikap curiga dan bertentangan dengan Gadjah Mada.
Karirnya semakin lama semakin tidak membaik. Sampai-sampai Raja Hayam Wuruk menganugerahkan tanah perdikan di Madakaripura yang sekarang menjadi wilayah Probolinggo. Gestur penganugerahan ini menjadi sindiran halus bahwa patih yang bersumpah Palapa ini harus mulai mempertimbangka untuk pensiun. Faktanya, tanah perdikan yang diberikan lokasinya cukup jauh dari ibu kota kerajaan. Dan dengan demikian, Gadjah Mada mundur sebagai patih dan segala kepolitikannya.
Sumber Sejarah
Narasi cerita Peristiwa Bubat didokumentasikan dalam tiga naskah, yaitu Naskah Pararaton, Carita Parahyangan, dan Kidung Sunda atau Kidung Sundayana. Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa Kidung Sundayana merupakan versi paling netral dan lengkap di antara yang lainnya karena dibuat di Bali. Meski Bali kala itu merupakan daerah kekuasaan Majapahit, ia cenderung membela Sunda karena aksi kehormatannya. Mereka juga tidak tanggung-tanggung menyatakan bahwa penyulut perang ini adalah Gadjah Mada.
Dalam Naskah Pararaton, tidak begitu detail menceritakan Perang Bubat. Ia bahkan tidak menjelaskan siapa biang keladi dari tragedi naas ini. Justru banyak menceritakan soal pasca Perang Bubat dan berbagai tindakan Majapahit untuk berkompromi dengan Sunda.
Sedang Carita Parahyangan berfokus pada kekecewaan akan Majapahit dan membanggakan aksi kepahlawanan dan pengorbanan rombongan Sunda demi kerajaan.
Nah Selasares, meski luka masih terdapat bekasnya dari kedua sisi, pemerintah sudah berupaya untuk menghapuskan pamali dan ketidaklaziman yang ada. Contohnya di Jawa Barat sudah ada jalan yang bernama Jalan Majapahit, Jalan Hayam Wuruk, dan Jalan Gadjah Mada. Sedangkan di Yogyakarta, sang sultan memberi nama Jalan Padjajaran, Jalan Siliwangi, Jalan Majapahit, Jalan Hayam Wuruk, dan lain-lain. Kalau di Surabaya, sudah ada juga Jalan Sunda an Jalan Prabu Siliwangi.
Pernikahan antara mempelai Sunda dengan Jawa juga sudah banyak dilakukan. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk kita baik sebagai orang Jawa maupun orang Sunda ataupun orang dari etnis lain untuk saling membenci dan bersaing.
Akhir kata, jika Selasares ingin mengetahui perang-perang lainnya, silakan mengunjungi Selasar karena semua tersedia lengkap di sini.