Nusa Tenggara Timur (NTT) telah lama dikenal sebagai salah satu sentra penghasil aneka tenunan yang bahkan terkenal hingga mancanegara. Namun tak hanya kaya akan tenunan, provinsi yang beribukotakan Kupang ini juga memiliki ragam pakaian adat yang berasal dari berbagai suku. Setiap suku menawarkan kekhasan dan keunikan pada pakaian adatnya.
Artikel ini mengulas berbagai jenis pakaian adat NTT dari masing-masing suku yang ada di wilayah tersebut beserta aksesorisnya. Ragam busana adat tersebut dilengkapi dengan foto atau gambar dan penjelasannya.
Jenis-jenis Pakaian Adat NTT
1. Pakaian Adat Suku Rote
Suku Rote adalah suku asli yang mendiami pulau Rote di Nusa Tenggara Timur dan juga beberapa pulau disekitarnya.
Jauh sebelum mengenal kapas, masyarakat tradisional Pulau Rote telah menggunakan serat gewang untuk ditenun menjadi bahan pakaian yang akan mereka kenakan.
Ketika pewarna kain modern belum dikenal secara luas, masyarakat Rote menggunakan bahan-bahan alami untuk mewarnai tenun ikatnya.
Pewarna yang mereka gunakan berasal dari kunyit, tarum (Indigofera tinctoria), dan juga akar mengkudu.
Warna-warna yang digunakan pada tenun ikat Rote pada waktu itu juga masih terbatas pada warna-warna dasar.
Kini tenun ikat Rote telah mengalami berbagai perubahan seperti menggunakan kapas sebagai bahan dasarnya, dan juga menggunakan pewarna tekstil dari industri.
Hasilnya adalah corak dan warna tenun ikat Rote yang semakin beragam.
Tak hanya sebagai hiasan dan corak, motif yang ada pada tenunan menunjukkan daerah asal penghasil tenunan.
Bermacam motif pada tenunan Rote umumnya diambil dari tumbuhan dan binatang yang banyak di temui di provinsi ini.
Kain tenun ikat berupa sarung disebut lambi tei sedangkan tenunan selimut dinamakan lafe tei. Kain tenun inilah yang kemudian menjadi pakaian adat suku Rote.
Pakaian tradisional yang umum dikenakan kaum pria suku Rote adalah berupa kemeja legan panjang dengan warna putih polos.
Sebagai pasangannya untuk bagian bawah adalah sarung tenunan berwarna gelap khas pulau Rote.
Sarung tenun ini dikenakan hingga menutupi separuh bagian betis dan sebuah golok diselipkan pada bagian depan pinggang.
Pada bahu disampirkan kain tenun lainnya yang berukuran lebih kecil seperti selendang.
Pakaian ini dilengkapi juga dengan topi untuk kaum pria yang dikenal dengan nama Ti’i langga.
Topi yang memiliki bentuk melingkar lebar di sekelilingnya dengan bagian tengah menjulang tinggi ini terbuat dari daun lontar kering.
Konon topi yang terbuat dari daun lontar ini melambangkan sikap orang Rote yang dikenal keras.
Tak hanya dipakai oleh kaum pria, para wanita Rote juga memakai Ti’i Langga saat membawakan tarian tradisional Foti.
Untuk pakaian adat kaum perempuan, suku Rote menggunakan tenun yang dibentuk seperti kemben atau kebaya pendek.
Sementara bagaian bawah juga mengenakan tenun ikat.
Hiasan kepala berupa lempengan yang terbuat dari perak, emas, atau perunggu yang berbentuk bulan sabit dengan tiga buah bintang pada sisi kiri kanan dan tengahnya.
Hiasan kepala ini disebut bulak molik yang artinya bulan baru.
Tambahan aksesoris lainnya adalah berupa gelang, anting, ikat pinggang yang disebut pending dengan motif hiasan bunga atau hewan unggas, dan juga kalung susun yang sangat khas atau biasa disebut habas oleh masyarakat setempat.
2. Pakaian Adat Suku Sabu
Suku Sabu mendiami pulau Sawu dan pulau Raijua di Nusa Tenggara Timur.
Penduduk pulau Sabu menyebut tanah mereka sebagai rai hawu yang memiliki arti ‘tanah dari Hawu’, dan menyebut diri mereka sebagai Do Hawu atau ‘orang Hawu’.
Suku Sabu memiliki tenun ikat yang diolah menjadi sarung yang mereka sebut hii hawu, dan selimut atau higi huri.
Motif tenunan Sabu adalah flora, fauna, dan geometris.
Sedangkan warna yang sering digunakan untuk tenunan ikatnya adalah warna-warna seperti cokelat kemerahan dan biru.
Pakaian adat sehari-hari untuk kaum pria suku Sabu hampir serupa dengan Suku Rote, yakni terdiri dari kemeja putih lengan panjang, kain tenun sebagai penutup tubuh bagian bawah, dan kain tenun berukuran lebih kecil yang disampirkan pada bahu.
Sedangkan bila hendak dipakaikan pada pengantin pria, pakaian ini ditambah dengan berbagai aksesoris.
Sebagai hiasan kepala, pria mengenakan destar dan mahkota yang terbuat dari emas dengan tiga tiang.
Aksesoris pelengkap lainnya adalah berupa kalung, sabuk dengan dua buah kantong, dan gelang emas.
Sementara pakaian adat kaum wanita sehari-hari adalah berupa kebaya pendek dengan bawahan berupa sarung tenun yang dililit dua kali.
Dalam pakaian adat sehari-hari kaum perempuan Sabu tidak mengenakan aksesoris.
Sedangkan untuk pengantin wanita, pakaian adat yang dikenakan dilengkapi dengan berbagai aksesoris.
Untuk pakaiannya berupa kain tenun yang bersusun dua dililitkan ke pinggul dan dada menyerupai kemben.
Aksesoris yang dikenakan adalah ikat pinggang, gelang emas dan gading, kalung dan liontin, serta anting/giwang.
Selanjutnya hiasan kepala berupa tusuk konde berbentuk uang koin emas disematkan pada rambut yang disanggul berbentuk bulat tinggi di atas kepala.
3. Pakaian Adat Suku Helong
Suku Helong adalah salah satu penduduk asli Pulau Timor Nusa Tenggara Barat.
Suku ini juga memiliki pakaian adatnya sendiri. Pakaian adat suku Helong untuk pria adalah berupa kemeja atau baju bodo.
Sedangkan sebagai bawahan berupa kain yang diikatkan ke pinggang berbentuk selimut.
Untuk ikat kepala adalah berupa destar. Selain itu mereka juga mengenakan kalung atau habas sebagai hiasan leher.
Sementara pakaian adat kaum perempuan berupa kebaya ataupun kemben.
Sebagai penutup bagian bawah adalah berupa kain tenun yang diikat dengan ikat pinggang emas yang biasa disebut pending.
Perhiasan kepala berupa lempengan seperti bulan sabit, kalung dengan hiasan yang juga berbentuk bulan, dan anting-anting atau biasa disebut kerabu.
4. Pakaian Adat Suku Dawan
Suku Dawan dikenal juga dengan nama suku Atoni mendiami pulau Timor di Kabupaten Belu.
Sementara orang-orang dari suku Dawan disebut sebagai atoni pah meto yang maknanya adalah ‘orang-orang dari tanah kering’.
Hal ini merujuk pada orang-orang suku Dawan yang hidup di pedalaman pulau Timor yang tanahnya sangat kering.
Masyarakat suku Dawan sangat menjaga kelestarian adat dan budayanya. Ini tercermin dalam falsafah yang dianutnya yakni feto-mone.
Semboyan ini mengandung makna dan filosofi tentang harmoni dan keselarasan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai satu kesatuan.
Harmoni ini juga tercermin pada pakaian adatnya.
Meskipun terdapat berbagai kesamaan dengan suku lainnya, pakaian adat Dawan memiliki lebih banya aksesoris.
Hampir serupa dengan suku Helong, kaum pria dari suku Dawan memakai baju bodo sebagai pakaian atas. Selanjutnya kain tenun seperti selimut dililitkan pada pinggang beserta ikat pinggang.
Selain itu para laki-laki suku Dawan biasa membawa alu mama yang berupa tas kain tenunan dengan motif suku Dawan berukuran kecil menyerupai kantong.
Tas ini dipakai dengan cara diselempangkan di bahu dengan tali yang juga terbuat dari tenunan. Untuk bagian tali tidak selalu memiliki motif yang berasal dari tenunan karena dapat pula berasal dari susunan manik-manik.
Biasanya alu mama ini diisi dengan sirih dan pinang. Tas ini menjadi salah satu aksesoris penting bagi kaum laki-laki suku Dawan tanpa memandang usia dan status sosialnya.
Kemudian untuk aksesoris yang dikenakan adalah kalung emas dengan bandul seperti gong dan muti salak.
Dalam bahasa setempat muti salak disebut anahida.
Perhiasan ini berupa manik-manik dari batu alam dengan warna khas oranye hingga merah gelap.
Konon di masa lampau, Muti salak dapat menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat dan dijadikan sebagai pusaka turun temurun.
Aksesoris yang dikenakan pria suku Dawan selanjutnya adalah ikat kepala atau destar yang dipadukan dengan hiasan tiara.
Selanjutnya adalah dua buah gelang Timor menjadi pelengkapnya.
Sementara untuk pakaian adat wanita berupa sarung tenun yang dikenakan sebagai bawahan, selendang untuk menutup bagian dada, dan kebaya.
Sebagai aksesoris untuk hiasan leher, mereka juga mengenakan muti salak, serta habas dengan liontin gong.
Kemudian untuk hiasan tangan, kaum prempuan suku Dawan mengenakan sepasang gelang kepala ular.
Sebagai anting-anting adalah giwang Kerabu.
Tak lupa hiasan kepala khas bulan sabit serta tusuk konde dengan hiasan tiga buah koin.
5. Pakaian Adat Suku Sumba
Suku Sumba mendiami pulau Sumba pada empat kabupaten di Nusa Tenggara Timur.
Masyarakat Sumba hingga kini masih memegang tradisi dan budayanya.
Demikian pula halnya dengan pakaian yang dikenakan, menjadi salah satu bagian penting dalam kehidupan dan budaya masyarakat suku Sumba.
Tak hanya sekedar penutup tubuh, pada masa lampau busana yang dikenakan seseorang menunjukkan status sosial dan posisinya di dalam masyarakat Sumba.
Namun saat ini pemilihan busana tidak lagi untuk menunjukkan status sosial seseorang, tetapi lebih kepada tingkatan kepentingan acara yang hendak dihadiri.
Tenunan Sumba
Salah satu bagian yang paling penting dalam pakaian adat suku Sumba adalah tenunan.
Tenunan Sumba menjadi bagian yang terpisahkan dalam berbagai prosesi adat suku Sumba dimana fungsinya tak hanya sebagai pakaian, tetapi juga semacam mata uang yang dipertukarkan.
Selain itu, di dalam perkawinan tenunan berfungsi sebagai simbol mas kawin dari keluarga perempuan.
Sementara dalam acara pemakaman, tenunan menjadi tanda berkabung.
Bahkan tenunan menjadi semacam pengikat atau ucapan terimakasih terkait dengan suatu hutang piutang.
Simak pembagian jenis tenunan ikat Sumba dan keterangannya di bawah ini.
1. Hinggi
Hinggi adalah berupa lembaran kain yang lebar dan panjang seperti selimut yang diperuntukkan bagi kaum laki-laki.
Hinggi biasanya dibuat berpasangan, satu bagian dililitkan ke pinggul, sementara bagian lainnya disampirkan ke bahu.
Motif yang digunakan untuk Hinggi berasal dari hewan lokal seperti ayam jantan, kuda, rusa.
Selain itu juga motif lokal Sumba seperti pohon tengkorak dan mamoli (penjelasan mengenai mamoli dapat dibaca pada bagian pakaian wanita Sumba).
Pengaruh dari luar seperti Tionghoa dan Belanda juga nampak pada motif naga dan singa.
Hinggi terdiri dari beberapa jenis yaitu Hinggi Kaliuda, Hinggi Kombu, dan Hinggi Kawuru.
2. Lau
Lau adalah tenunan berbentuk sarung yang diperuntukkan bagi kaum perempuan.
Sementara untuk motifnya beragam seperti tengkorak, rusa, singa, burung, hingga corak yang dipengaruhi budaya Belanda dan Tionghoa seperti motif berupa bendera tiga warna dan naga.
Terdapat beberapa macam Lau yang dibedakan berdasarkan teknik pembuatannya.
Jenis-jenis Lau tersebut adalah Lau Kawuru, Lau Pahudu, Lau Mutikau, dan Lau Pahudu Kiku.
Pakaian Adat Laki-laki
Pakaian tradisional untuk kaum pria suku Sumba adalah dua lembar Hinggi yang terdiri dari Hinggi Kombu dan Hinggi Kawuru.
Kombu sendiri adalah nama untuk tenunan Sumba yang berwarna merah.
Tenunan ikat Sumba dikenal dengan pewarnaan alaminya. Warna merah ini didapat dari akar mengkudu.
Sedangkan Kawuru adalah tenunan berwarna biru yang pewarnanya berasal dari dari daun tarum atau kerap juga disebut daun nila.
Selanjutnya Hinggi Kombu dililitkan pada pinggul dan diperkuat dengan ikat pinggang kulit, sementara Hinggi Kawuru menjadi pelengkapnya.
Hiasan kepala adalah sebuah ikat kepala yang dikenal dengan sebutan tiara patang yang dililitkan dengan teknik tertentu sehingga menghasilkan jambul.
Letak jambul ini sendiri sesungguhnya sebagai lambang dengan makna yang berbeda-beda, karenanya posisi jambul dapat disesuaikan dengan makna apa yang ingin dikemukakan oleh penggunanya.
Tangan sebelah kiri dihiasi oleh gelang kanata dan muti salak. Sebilah parang atau kabiala yang merupakan senjata tradisional diselipkan di sisi kiri melengkapi busana pria Sumba.
Pakaian Adat Perempuan
Sementara untuk pakaian adat wanita, kain tenun yang dikenakan berupa Lau Kawuru, Lau Mutikau, Lau Pahudu, dan Lau Pahudu Kiku.
Kain tenun dalam bentuk sarung ini kemudian diikatkan melingkari dada yang disebut ye’e.
Kaum wanita Sumba juga biasa membawa tas anyaman dari pandan atau kulit kayu yang dinamakan kaleku pamama.
Sebagai aksesoris adalah anting-anting yang dikenal dengan nama mamoli atau mamuli.
Perhiasan telinga berbentuk belah ketupat ini dapat terbuat dari emas, perak, ataupun kuningan.
Mamoli dapat berupa anting polos (lobu) atau ukiran (karagaf) dengan ukuran yang cukup besar dan berat.
Selain sebagai perhiasan telinga mamoli juga dijadikan liontin.
Mamoli merupakan salah satu perhiasan yang penting dan berharga bagi masyarakat suku Sumba.
Konon mamoli melambangkan alat reproduksi perempuan sebagai pemberi kehidupan.
Selain itu terdapat juga giwang yang terbuat dari emas dan perak yang disebut puli.
Perhiasan kepala perempuan Sumba sama dengan perempuan dari suku lainnya di NTT, yakni berupa lempengan berbentuk bulan sabit atau tanduk kerbau yang oleh masyarakat Sumba diberi nama tabelo.
Hiasan kepala ini dapat terbuat dari emas ataupun perak.
6. Pakaian Adat Suku Manggarai
Suku Manggarai mendiami bagian barat pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, dan hidup tersebar di Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai Timur.
Flores sendiri terdiri dari 8 kabupaten dengan ibukota-ibukota diantaranya Labuan Bajo, Ruteng, dan Bajawa.
Masyarakat Manggarai memiliki beberapa jenis pakaian adat yang digunakan pada waktu berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Macam-macam pakaian adat tersebut antara lain pakaian yang dikenakan untuk upacara-upacara adat, berperang, dan pakaian untuk pemain Caci.
Permainan Caci adalah berupa permainan rakyat yang juga dikenal sebagai tari perang.
Bagi masyarakat suku Manggarai pakaian tak hanya sekedar berfungsi sebagai penutup tubuh.
Lebih dari itu, pakaian adat memiliki memiliki fungsi etik, estetika atau keindahan, dan juga mengandung nilai-nilai religius.
Hal ini tercermin pada tenunan Manggarai yang dikenal dengan nama songke.
Setiap motif yang ada pada kain songke mengandung makna tersendiri.
Kain songke adalah salah satu unsur penting yang wajib dikenakan dalam busana masyarakat adat Manggarai baik pada pria maupun wanita.
Pada kaum perempuan Manggarai umumnya pakaian ini terdiri atas kain songke yang dililitkan seperti mengenakan sarung.
Selanjutnya adalah balibelo yang berupa perhiasan di kepala yang terbuat dari logam keemasan.
Sementara selendang dipakai pada acara pernikahan dan tari.
Selain itu kebaya juga menjadi bagian dari busana yang dikenakan oleh kaum perempuan pada upacara adat suku Manggarai.
Sementara pakaian adat pria Manggarai terdiri dari kemeja putih lengan panjang dan kain songke.
Kemudian dilengkapi dengan ikat kepala yang disebut sapu dengan motif seperti batik atau kopiah bermotif songke sebagai pengganti sapu.
Pakaian adat ini dilengkapi dengan selendang bermotif songke yang diselempangkan menyilang.
Selanjutnya adalah tubi rapa, berupa manik-manik yang dipasang pada wajah seperti tali helm.
Tujuan pemakaian tubi rapa dalam permainan Caci adalah untuk melindungi wajah.
7. Pakaian Adat Suku Lio
Suku Lio merupakan suku tertua di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Sebagai suku tertua, masyarakat suku Lio menjaga tradisi yang diwariskan turun temurun.
Sebagaimana suku-suku lainnya di NTT, suku Lio juga memiliki kain tenun sendiri yang menjadi bagian dari pakaian adatnya yakni tenun ikat Patola.
Sekilas tenun ikat ini menyerupai kain tenun asal India. Tak heran karena tenunan ini memang mendapat pengaruh dari budaya India dan Portugis pada abad ke -16.
Pada masa lampu, kain tenun ini sangat istimewa sehingga hanya dikhususkan untuk golongan tertentu saja seperti kepala suku dan keluarga kerajaan.
Kain tenun ini bahkan dijadikan penutup jenazah bangsawan dan turut pula dikuburkan bersamanya.
Tenun ikat Patola adalah ekspresi budaya suku Lio.
Konon setiap motif merupakan representasi kehidupan sosial suku ini dari masa ke masa.
Selain itu ragam karakteristik lokal juga ditampilkan dalam motif tenunan.
Ciri khas dari kain tenun ini adalah dasarnya yang berwarna gelap dengan motif berupa daun, ranting, hewan, dan manusia yang diberi warna merah atau biru.
Nama-nama motif tenun ikat ini antara lain nggaja, rajo, dan motif sinde.
8. Pakaian Adat Suku Sikka
Sikka adalah nama sebuah kabupaten dengan ibukota Maumere yang juga nama suku yang ada di pulau Flores.
Salah satu kerajinan asal Sikka yang terkenal adalah tenun ikat dengan beragam motif.
Secara tradisional tenun ikat Sikka menggunakan pewarna alami yang berasal dari tumbuhan.
Oleh masyarakat Sikka, tenunan ini dijadikan pakaian adat yang dikenakan dalam upacara adat dan keagamaan.
Salah satu unsur pakaian adat yang berasal dari tenunan ini adalah kain sarung.
Tenunan sarung untuk kaum pria adalah Lipa atau Ragi. Perbedaan kedua tenunan ini terletak pada motif dan warna.
Lipa bermotif flora dengan warna-warna yang cerah sedangkan Ragi memiliki motif garis biru dengan warna dasar cenderung gelap.
Sementara tenunan sarung yang diperuntukkan bagi kaum perempuan Sikka bernama Utang.
Sarung ini dikenakan sebagai penutup tubuh bagian bawah dengan cara dililitkan ke pinggang.
Sebagai penutup tubuh bagian atas, pria Sikka mengenakan pakaian seperti kemeja berwarna putih yang biasa disebut labu.
Pelengkap pakaian selanjutnya berupa selendang tenun atau lensu sembar yang diselempangkan di dada.
Sementara sebagai penutup kepala atau disebut Lesu Widin Tilun adalah berupa destar dikenakan dengan teknik ikatan yang menghasilkan kedua ujung menjuntai di kedua sisi wajah.
Kaum perempuan juga mengenakan pakaian atas berupa labu yang biasanya terbuat dari sutera dan dikenal dengan nama Labuliman Berun.
Namun labu untuk perempuan tidak seperti kemeja pada umumnya karena terdapat modifikasi yakni bagian atas pakaian ini sedikit terbuka.
Selendang kaum perempuan atau dong diselempangkan di dada dan kemudian dililitkan ke pinggang.
Rambut disanggul dengan bentuk melingkar yang disebut legen dan diperkuat dengan tusuk konde bernama hegin untuk selanjutnya diberi hiasan yang disebut soking.
Pada kedua pergelangan tangan dikenakan hiasan terbuat dari gading dan perak/emas yang dikenal dengan nama kalar.
9. Pakaian Adat Suku Kabola
Suku Kabola adalah salah satu sub suku yang ada di pulau Alor.
Mereka mendiami kampung tradisional Monbang yang merupakan perkampungan asli suku ini.
Berbeda dengan suku-suku lainnya di NTT, suku Kabola memiliki keunikan pada pakaian tradisionalnya yang terbuat dari kulit kayu.
Selain itu kulit kayu yang digunakan juga memiliki ciri khas yakni berwarna putih dan tidak melalui melalui proses pewarnaan.
Pakaian kulit kayu ini berasal dari pohon kayu Ka.
Dibutuhkan setidaknya satu batang pohon kayu Ka untuk membuat satu pakaian orang dewasa.
Bagi kaum perempuan, pakaian kulit kayu ini berupa baju terusan tanpa lengan, sementara untuk pria pakaian kulit kayu hanya sebagai bawahan sedangkan bagian atas bertelanjang dada.
Sebagai aksesoris pelengkap adalah berupa tas, gelang dan ikat kepala yang kesemuanya juga terbuat dari kulit kayu.
Meskipun pakaian adat suku Kabola terbuat dari kulit kayu, tetapi suku ini tetap memiliki kerajinan tenun sendiri.
Motif pada tenunan suku Kabola hampir serupa dengan suku-suku lainnya di pulau Alor.
10. Pakaian Adat Suku Abui
Suku Abui mendiami wilayah Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur.
Salah satu kampung tradisional suku Abui bernama desa Takpala.
Sama halnya seperti suku Kabola, Abui adalah sub suku di pulau Alor yang juga dikenal dengan nama-nama lain yakni Barawahing, Barue, atau Namatalaki.
Masyarakat Abui sendiri menyebut diri mereka sebagai Abui laku yang artinya adalah ‘orang pegunungan’.
Hal ini merujuk pada wilayah kediaman suku Abui yang berada di kawasan pegunungan.
Selain kehidupannya yang dikenal dekat dengan alam, suku ini memiliki keunikan berupa kain tenun yang dibuat dengan alat tradisional.
Pakaian tradisional suku alor adalah berupa kain sarung dan kain tenun yang mereka buat sendiri.
Sementara untuk para penari, pakaian tradisional ini juga dilengkapi dengan atribut berupa gelang kaki.
Sedangkan untuk penari pria, mereka mengenakan penutup kepala yang juga terbuat dari tenunan Alor.
Demikianlah pakaian adat dari suku-suku yang ada di Nusa Tenggara Timur.
Busana adat, termasuk di dalamnya kerajinan tenun ikat dari kepulauan Nusa Tenggara seperti yang berasal dari NTT dan NTB (Nusa Tenggara Barat), telah dikenal sejak lama dan menjadi salah satu warisan bernilai tinggi.
Beragam pakaian tradisional dan tenunan tersebut adalah ekspresi budaya yang diwariskan turun temurun.
Tak hanya sekedar penutup tubuh, pakaian adat mengandung makna dan juga sebagai representasi dari tiap-tiap suku yang ada.
Semoga pakaian adat dapat terjaga terus kelestariannya.