Kabupaten Wajo merupakan kabupaten dengan luas 2.056,19 km² yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan.
Dengan ibukota di Sengkang dan berpenduduk sekitar 400.000 jiwa.
Arti kata Sengkang adalah daerah kedatangan, persinggahan yang jadi tempat strategis karena tempat ini jadi kota niaga dan kota yang terkenal sebagai penghasil kain sutera.
Dahulu kala Wajo adalah suatu kerajaan yang cukup berjaya dan jadi kerajaan paling elektif di Indonesia.
Mengapa demikian?
Berikut adalah ulasan dari Kerajaan Wajo yang berkuasa dari abad 16 hingga 19.
Sejarah Kerajaan Wajo
Kata Wajo berasal dari bahasa Bugis, yaitu wajo-wajo artinya bayang-bayang di bawah pohon bajo.
Terdapat dua versi tentang terbentuknya Kerajaan Wajo.
Dari sumber hikayat lokal, ada tiga sepupu raja yang konon keturunan dewa dari Cinnottabi dan mengangkat diri jadi penguasa dengan tiga wilayah berbeda.
Tiga bersaudara tersebut yaitu La Tenri Tau, La Matareng dan La Tenri Pekka yang adalah saudara sepupu sekali Arung Cinnotabi terakhir (Arung La Tenri Bali dan Arung La Tenri Tippe).
La Tenri Tau, La Matareng dan La Tenri Pekka berhasil membuat negeri yang mereka namai Boli, dan membaginya jadi tiga daerah bagian.
Yakni Sabbang Paru, Takkalalla dan Majauleng dan menjadi pemimpin dari daerah masing-masing.
Daerah Sabbang Paru, Takkalalla lama-kelamaan menjadi daerah yang berkembang dengan cepat makmur.
Suatu hari mereka bertiga bersepakat untuk mempersatukan daerah kekuasaan masing-masing yang disebut dengan istilah “Lipu Tellukajuru’na”.
Penggabungan tiga daerah kekuasaan juga menjadi pergunjingan karena bingung siapa yang akan menjadi raja.
Akhirnya mereka teringat dengan sepupu sekali yang pernah jadi Arung Cinnotabi’ yang terkenal bijak dalam mengambil keputusan yaitu La Tenri Bali.
Dengan kesepakatan tersebut maka diutuslah para pemuka adat dan Matoa Pa’bicara untuk ke Pinrang tempat La Tenri Bali sebagai Arung Penrang untuk menyampai akan maksud dari ketiga sepupunya untuk menjadikannya sebagai Arung Lipu Tellukajuruna.
-Utusan dari Lipu Tellukajuru’na berkata :
“Assiturusekkeng To lipu-tellu kajuru ri Boli iko maelo’ riala Arung Mataesso, kirengrengngi ale’ biremmu,
tasipauju’ madeceng ri alempure’ ta atongngengetta assitinajanna idi’ maneng, muarupekkeng, musalipuri temmacekkekkeng,
mudongiri temmatippe’keng, mupaninikkeng ri maja’e tasilettukeng rimajengnge, tabicarangngi bicara malempu’ megettengngetaman’e ri Petta La Rajallangi Topatiroi namarajae Cinnottabi”
Artinya :
“Permufakatan kami orang-orang dari Lipu Tellukajuru’e di Boli engkau (lah) yang kami kehendaki diambil menjadi Arung (Raja) Mataesso, kami akan dampingi (dukung) kebesaranmu,
baiklah kita bersatu hati dengan baik atas kejujuran dan kebenaran kita yang sepantasnya untuk kita semua,
peliharalah kami, selimutilah kami supaya kami jangan kedinginan, lindungilah seperti padi terhadap burung pipit dari bahaya,
jauhkanlah kami dari yang buruk dan kita bersama-sama sampai kepada yang baik, bicarakanlah bicara yang lurus dan tetap yang diwarisi dari Petta La Rajallangi To Patiroi yang menjadikan Cinnotabi’ besar”
– La Tenribali menjawab :
“Iya, memengnatu maelo’ uwukkakekko ade’ riolo’e ri Cinnotabi’ wettunna puatta La Patiroi namana’e pole ri puatta
La Rajallangi’ kkuaetopa ade’ assituruseng makaprajangngi nacolli na’daung, natakke nappaleppang napparanga-ranga,
nalorong llaomaniang, llaomanorang, llaoalau, llaourai, macekke raunna riannaungi taebburengngi janci
tappasabbiangngi ri Dewata Seuae”
Artinya :
“Memang itulah yang saya hendak buka padamu adat yang dahulu (berlaku) di Cinnotabi’ tatkala Puatta La Rajallangi,
begitu pun kita mencari adat permufakatan yang dapat menjadikan negeri kita besar, bertaruk, berdaun, beranting ke seluruh penjuru,
menjalar ke utara, ke selatan, ke timur, ke barat, daunnya dingin layak untuk ditempati bernaung, baiklah kita buat perjanjian yang kita persaksikan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Sebelum La Tenri Bali menyetujui pengangkatannya sebagai Arung Lipu Tellukajuru’na, saudaa sepupunya berkumpul.
Tujuan perkumpulan mereka untuk mengangkat diri sebagai Padanreng pada ketiga daerah bagian Lipu Tellukajuruna’ Boli.
Bersama rakyat Majauleng, berlangsunglah pelantikan dengan hikmat, La Tenri Bali menjadi Arung Mata Esso.
Namun, sebelum pelantikan berlangsung rakyat Cinnotabi’ dan La Tenri Bali membuat perjanjian yaitu “Perjanjian Majauleng”, yang berbunyi :
Tapada poarajangngi arajatta
Tapoalabbirengngi ale’ binetta
Tapauju madeceng rialemputta napoasengngi ade’ marajana
Arungnge ri lipu tellukajuruna
Temmakullei sirebba ade’
Tessipadde allebireng
Tessiala mana, tessikajojo pau
Tessikaremo kalobeng, tessioti itello
Tessiala bicara, tessiluka taro
Tessiwelong-wellong, tessiakkale-kelekeng
Tessijellokeng roppo-roppo, makeda siateppereng
Tessiesa-esa’, tessiliweng-liweng
Malilu sipakainge’, namadeceng namocappa’ arumpanua riawa riase
Artinya :
Kita menjunjung kebesaran kita masing-masing
Kita menghormati kemuliaan kita masing-masing
Kita bersepakat dengan baik atas dasar kejujuran kita
Itulah yang dinamai adat besarnya raja-raja di lipu tellukajuru’na
Tidak boleh kita saling merobohkan adat kita
Tidak saling memadamkan kehormatan
Tidak saling meraba keranjang ayam masing-masing
Tidak saling menangkap ikan dalam kolam
Tidak saling mengambil telur masing-masing
Tidak saling mengambil bicara masing-masing
Jangan saling menyembunyikan sesuatu di dalam hutan
Tidak saling menunjukkan kepada semak-semak
Berkata dengan dasar saling mempercayai.
Jangan saling menggerakkan dan jangan saling melewati.
Jika didalam keliru baiklah kita saling memperhatikan dan baiklah kita saling mengindahkan peringatan.
Sehingga akhirnya tercapai suatu keadaan yang baik bagi raja dan rakyatnya.
Disaksikan oleh para rakyat Lipu Tellukajuru’na, pelantikan itu berlangsung dibawah sebatang pohon Bajo yang tinggi besar, dari nama pohon itulah asal usul dari nama “ Wajo ” sekarang.
La Tenri Bali dilantik menjadi raja di Boli dengan gelar Batara Wajo I, dan melepaskan jabatannya selaku Arung Penrang di Pinrang.
Saat La Tenri Bali wafat takhta diturunkan pada putranya yaitu La MataEsso bergelar Batara Wajo II.
Dalam pemerintahannya Kerajaan Wajo semakin makmur.
Lalu beliau digantikan putranya bernama La Patteddungi Tosamallangi dan bergelar Batara Wajo III.
Sayangnya, Batara Wajo III tidak sebijak raja sebelumnya.
Hanya lima tahun menjabat La Patteddungi Tosamallangi di kudeta karena sifatnya yang bejat dan sewenang-wenang dalam mengambil keputusan menyebabkan banyak warganya pindah ke daerah lain.
Batara Wajo III lalu di bawa keluar dari Wajo yang saat itu disebut La Marakko dan dibunuh untuk menebus dosa-dasanya.
Karena kekosongan raja di Wajo, rakyat sepakat untuk mengganti sistem pemerintahan yang tadinya monarki absolut menjadi monarki konstitusional.
Sehingga gelar raja yang tadinya Batara Wajo diganti menjadi Arung Matoa.
Hal ini tercetus setelah kesepakatan dalam perjanjian “AllamumpatuE ri Lapaddeppa” yang isinya hak-hak konstitusional orang Wajo.
Dengar gelar baru yaitu Arung Matoa di pilihlah La Palewo To Palipung sebagai raja Kerajaan Wajo.
Sedangkan dari sumber Pau-Pau ri Kadong yang selalu diceritakan oleh masyarakat sekitar Wajo yaitu tentang putri dari Kerajaan Luwu.
Putri itu bernama We Tadampali yang sialnya menderita penyakit kusta.
Penyakit ini membuat sang putri dikucilkan dari daerah asalnya dan untuk kebaikan masyarakat Luwu putri kemudian dihanyutkan bersama pengikut setianya.
Setelah berhari-hari terbawa hanyut beliau terdampar dan membuat sebuah pemukiman kecil.
Putri lalu tidak sengaja dijilat oleh kerbau belang.
Ajaibnya penyakit kusta beliau sembuh seketika dan disaat yang bersamaan ia bertemu dengan pangeran Kerajaan Bone.
Pangerang yang sedang berburu itu terkejut saat melihat perkampungan kecil dan mendatangi rumah besar We Tadampali.
Di sana ia terpesona dengan kecantikan Putri We Tadampali.
Hingga beliau segera pulang dan meminta kepada Raja Bone ayahnya untuk menikahkan dia dengan We Tadampali.
Sang ayah lalu mengajukan lamaran pada Kerajaan Luwu tempat putri berasal dan diterima dengan senang hati.
Akhirnya Pangeran Bone dan We Tadampali hidup bahagia dengan melahirkan keturunan yang nantinya mendirikan kerajaan Wajo dan menjadi paddanreng.
Lokasi, Letak Geografi dan Peta Wilayah
Kerajaan Wajo terletak di Provinsi Sulawesi Selatan,yang saat ini telah menjadi Kabupaten Wajo.
Secara geografis, Kabupaten Wajo terletak pada 3°39′ – 4°16′ Lintang Selatan dan 119°53′ – 120°27′ Bujur Timur.
Sebagian besar wilayahnya berupa dataran rendah hingga dataran rendah bergelombang dengan ketinggian wilayah 0-520 Mdpl.
Dahulu Kerajaan Wajo berpusat di Tosora yang merupakan daerah perbukitan.
Daerah ini dikelilingi lima danau sekaligus, yaitu Danau Lababa, Danau Latanparu, Danau Latibolong, Danau Seppengnge, dan Danau Jampue.
Silsilah Raja Kerajaan Wajo
Tercatat ada banyak raja dalam sejarah panjang Kerajaan Wajo.
Dan terbagi dalam tiga fase. Berikut nama raja yang pernah berkuasa di kerajaan tersebut :
1. Zaman sebelum Islam
1. La Tenri Bali Batara Wajo I (akhir abad ke XIV)
2. La Mataesso Batara Wajo II (awal abad ke XV)
3. La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III (1436-1456)
4. La Palewo To Palippu Batara Wajo IV (1456-1466)
5. La Obbi’ Settiware’ Batara Wajo V (1466-1469)
6. La Tenri Umpu’ To Langi Arung Matoa Wajo (1474-1482)
7. La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1482-1487)
8. La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1487-1491)
9. La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1491-1521)
10. La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1524-1535)
11. La Temmasonge Arung Matoa Wajo (1535-1538)
12. La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo (1538-1547)
13. La Mallagenni Arung Matoa Wajo (1547/ hanya 2 bulan)
14. La Mappapuli To Appamadeng Arung Matoa Wajo (1547-1564)
15. La Pakoko To Pabbele Arung Matoa Wajo (1564-1567)
16. La Mungkace To Addamang Arung Matoa Wajo (1567-1607)
2. Zaman Islam
1. L a Sangkuru Patau’ Mulajaji Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo Matinroe ri Allepparenna (1607-1610)
2. La Mappepulu To Appamole Arung Matoa Wajo (1612-1616)
3. La Samalewa To Appakiu Arung Matoa Wajo (1616-1621)
4. La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1621-1626)
5. La Mappasaunge’ Arung Matoa Wajo (1627-1628)
6. La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1628-1636)
7. La Tenri Lai To Addumemang Arung Matoa Wajo (1636-1639)
8. La Isigajang To Bunne Arung Matoa Wajo Matinroe ri Batana (1639-1643)
9. La Makkaraka To Patemmui Arung Matoa Wajo Matinroe ri Panggaranna (1643-1648)
10. La Temmasonge Puanna Daeli Petta Pallinge Arung Matoa Wajo (1648-1651)
11. La Paremma To Rewo Arung Matoa Wajo Matinroe ri Passirinna (1651-1658)
12. La Tenri Lai To Sengngeng Arung Matoa Wajo Matinroe ri Sale’kona (1658-1670)
13. La Pallili To Mallu Arung Matoa Wajo (1670-1679)
14. La Pariusi Daeng Manyampa Arung Matoa Wajo Matinroe ri Buluna (1679-1699)
15. La Tenri Sessu Tomoe/ To Denra Arung Matoa Wajo (1699-1702)
16. La Mattaone La Sakke Daeng Paguling Puanna Larumpang Arung Matoa Wajo (1702-1703)
17. La Galigo To Sunnia Arung Matoa Wajo (1703-1712)
18. La Tenri Werung Arung Peneki Arung Matoa Wajo (1712-1715)
19. La Salewangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo (1715-1736)
20. La Maddukellang Puangna La Tombong Arung Peneki Arung Singkang Sultan Pasir Arung Matoa Wajo (1736-1754)
21. La Maddanaca Arung Matoa Wajo (1754-1755)
22. La Passaung Puangna La Omo Arung Matoa Wajo (1758-1761)
23. La Mappajung Puangna Salewong Arung Matoa Wajo (1764-1767)
24. La Malliungeng To Alleong Arung Alitta Arung Matoa Wajo (1767-1770)
25. La Mallalengeng (La Cella’ Puangna To Appamadeng Arung Matoa Wajo (1795-1817)
26. La Mamang To Appamadeng Radeng Gallong Arung Matoa Wajo (1821-1825)
27. La Paddengngeng Puangna Palaguna Arung Matoa Wajo (1839-1845)
28. La Pawellangi Pajungperot Arung Matoa Wajo (1854-1859)
29. La Ciccing (Akil Ali) Karaeng Mangeppe Datu Pammana Pilla Wajo Arung Matoa Wajo (1859-1885)
30. La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo (1885-1891)
31. La Passamula Datu Lompulle Arung Matoa Wajo (1892-1897)
3. Zaman Pengaruh Belanda
1. Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe Arung Matoa Wajo (1900-1916)
2. La Tenri Oddang Arung Larompong Arung Peneki Arung Lowa Arung Matoa Wajo (1926-1933)
3. Andi Mangkona Arung Mariori Wawo (1933-1949) / Arung Matoa terakhir.
Kehidupan di Kerajaan Wajo
Kehidupan Kerajaan Wajo berpusat di ibukota kerajaan itu sendiri yaitu, Torosa.
Masyarakat Wajo berdaulat selama 605 tahun lalu dan berdaulat sebagai salah satu kerajaan terkuat di Indonesia saat itu.
1. Kehidupan Politik Kerajaan Wajo
Perjanjian sosial “AllamumpatuE ri Lapaddeppa” membawa pengaruh besar dalam kehidupan politik rakyat Wajo.
Pada perjanjian tersebut diangkatlah La Tiringeng to Taba Arung Simentempola sebagai “Inanna To WajoE” yang berperan untuk membantu Arung Matoa dalam kepemimpinannya sebagai raja Wajo yang bersifat monarki konstitusional.
Berikut struktur pemerintahan yang pernah ada di Kerajaan Wajo.
Pada masa Batara Wajo
Batara Wajo adalah raja atau penguasa tertinggi di Kerajaan Wajo yang bersifat monarki absolut, berjumlah satu orang.
Paddanreng adalah penguasa wilayah di sekitar Wajo, berjumlah tiga orang.
Tuwu bertugas sebagai Paddanreng di wilayah Takkalalla.
Talotenreng untuk Sabbamparu dan Bettempola untuk Majauleng.
Arung Mabbicara adalah aparat pemerintah yang berjumlah 12 orang
Pada masa Arung Matoa
Masa Arung Matoa terdapat lima jabatan penting yang disebut Arung PatappuloE.
Arung Matoa adalah raja atau penguasa tunggal di Kerajaan Wajo yang bersifat monarki konstitusional, berjumlah satu orang.
Paddanreng adalah penguasa wilayah di sekitar Wajo, berjumlah tiga orang.
Tuwu bertugas sebagai Paddanreng di wilayah Takkalalla.
Talotenreng untuk Sabbamparu dan Bettempola untuk Majauleng.
Pabbate Lompo adalah panglima perang, terdiri dari tiga orang yaitu Pilla, Patola dan Cakkuridi.
Arung Mabbicara adalah aparat pemerintah yang bertambah jadi 30 orang
Suro adalah aparat pemerintah yang bertugas untuk menjadi utusan yang berjumlah tiga orang.
2. Kehidupan Sosial dan Budaya Kerajaan Wajo
Dalam kehidupan sosial warga Wajo hampir seluruh masyarakatnya bersuku Bugis.
Dengan prinsip teguh dan menjunjung tinggi falsafah masyarakat Wajo yang demokratik, maradeka to wajo’e taro pasoro gauna, naisseng alena, adenna napo puang, dan prinsip 3S (Sipakatau, Sipakalebbi, dan Sipakainge) yang berlandaskan pada nilai keagamaan yang dianut.
Untuk kehidupan budaya dan sosial sangat dipengaruhi dengan perkembangan agama Islam yang cukup berpengaruh.
Hasil kebudayaan dan adat istiadat Kerajaan Wajo sebagai berikut:
Pau-Pau Rikadong
Pau-Pau Rikadong adalah suatu adat kebudayaan dalam suku Bugis yang berfungsi untuk menceritakan sejarah nenek moyang. Termasuk sejarah terbentuknya Kerajaan Wajo.
Tradisi Ritual Mattimpa Bujung
Tradisi Ritual Mattimpa Bujung adalah ritual yang dilaksanakan di Kampung Sarasa untuk menimbah air di sumur tua yang dikeramatkan penduduk setempat.
Hal ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur dengan hasil panen yang diterima.
3. Kehidupan Agama Kerajaan Wajo
Tahukah kamu? Ada banyak Kerajaan Islam di Sulawesi Selatan dan sejarahnya begitu terkenal di antara masyarakat Indonesia lho!
Kerajaan-Kerajaan Bugis yang beraliansi dalam Tellumpoccoe yakni, Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng, dan Kerajaan Wajo tak dapat lagi bersatu dalam waktu singkat, dengan memberikan pintu yang sangat terbuka dalam melakukan penyebaran agama Islam di Tana Bugis.
Dan kembali lagi Raja Wajo mengirim utusannya untuk menemui raja Gowa Sultan Alauddin yang saat itu berada di Cenrana, Bone.
Kurir itu menyampaikan pesan bahwa Kerajaan Wajo sudah bersedia menerima agama Islam, dengan permintaan supaya tidak ditaklukkan negerinya, tidak dirampas barangnya dan tidak diberhentikan dari jabatannya sebagai raja.
Permintaan Arung Matoa Wajo diterima oleh raja Gowa, lalu pergi ke Wajo memenuhi undangan Arung Wajo La Sangkuru Patau bersama dengan rakyatnya di Topacceddo.
Di sinilah Arung Matoa Wajo La Sungkuru Patau bersama rakyatnya menerima agama Islam yang bertepatan pada hari Selasa tanggal 15 Syawal 1020 Hijriah atau tanggal 6 Mei 1610 dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Setelah Arung Matoa Wajo La Sangkuru Patau (1607-1610) menerima agama Islam, maka raja Gowa mengirim ulama Khatib Sulung Dato Sulaiman untuk mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Wajo.
Dato Sulaiman dalam kegiatan dakwahnya di Tana Wajo, mengajarkan kepada masyarakat Wajo tentang larangan-larangan dan kewajiban yang ada dalam agama Islam seperti, menekankan larangan terhadap kebiasaan masyarakat Bugis yakni, memakan yang haram (babi), meminum tuak, berjudi terutama sabung ayam, berzina, memakan makanan yang riba, dan membakar mayat.
Dan dalam pendakwaan di Tana Wajo mereka membebaskan budak-budaknya yang bersama-sama memeluk agama Islam.
4. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Wajo
Kehidupan ekonomi orang Wajo dipengaruhi berdasarkan letak geografisnya yang berada di dekat beberapa danau dan dengan daratannya yang relatif rendah.
Maka sebagai masyarakatnya berpenghasilan dari bertani dan menjadi nelayan di danau sekitar kerajaan.
Jika tidak melakukan keduanya maka ada masyarakat yang menjadi pedagang.
Lalu pada pemerintahan Arung Matoa ke-30 yaitu La Salewangeng To Tenrirua membuat sebuah koperasi.
Yang berfungsi sebagai tempat pembelian senjata untuk keperluan perang dan pelatihan pasukan Kerajaan Wajo untuk perang saat itu.
Masa Kejayaan Kerajaan Wajo
Pemerintahan Arung Matoa ke IV, yaitu La Tadampare menjadi puncak kejayaan Wajo.
Awalnya La Tadampare enggan diangkat untuk menjadi seorang Arung Matoa.
Dari semua Arung Matoa yang pernah menjabat La Tadampare paling menonjol karena berhasil memperluas wilayah Kerajaan Wajo dengan menggabungkan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayahnya dan menaklukkan negeri-negeri disekitarnya.
Jika Arung Matoa I,II dan III mempunyai prinsip “mungkin lebih penting terlihat terhormat daripada yang paling kuat”.
Berbeda dengan Arung Matoa IV “pahlawan hebat dan pengemudi yang bijak”, hal tersebut tercatat dalam lontara dan jadi petuah serta tindakannya dapat dijadikan panduan untuk Arung Matoa selanjutnya, hingga saat ini masih sering diajarkan dalam kehidupan suku Bugis.
Sebelum menjadi Arung Matoa warga Kerajaan Wajo masih sangat sedikit, hanya terdapat kurang lebih seribu rumah.
Saat masa mudanya, La Tadampare tampil sebagai orang yang ahli siasat perang dan pemberani, begitu saat hari tuanya ia dikenal karena kebijaksanaannya, jujur dan negarawan yang cakap.
Penyebab Keruntuhan
Pada zaman Ishak Manggabarani Karaeng Mangeppe yang menjadi Arung Matoa Wajo (1900-1916), beliau bersekutu dengan Kerajaan Bone.
Dan secara tidak langsung terlibat dalam Rumpa’na Bone (peristiwa perlawanan Kerajaan Bone pada Belanda yang mulai terjadi pada tahun 1905).
Istilah ini tercetus sendiri oleh raja Bone ke 31 Lapawawoi Karaeng Sigeri, setelah melihat putranya mati dalam perang melawan Belanda.
Saat yang bersamaan Belanda memaksa semua kerajaan di Sulawesi Selatan tunduk dengan menjalankan politik pasifikasi.
Kerajaan Bone melancarkan gencatan senjata untuk melawan kompeni, tapi berbuah kekalahan dan kekalahan ini juga di tanggung oleh Kerajaan Wajo yang jadi sekutunya.
Sehingga Wajo harus membayarkan denda perang pada kompeni, kemudian mendatangi Korte Verklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
Pada tahun 1945-1949 pemerintahan Wajo berbentuk swapraja dan berada dibawah kekuasaan Negara Indonesia Timur atau tepatnya Republik Indonesia Serikat.
Dan pada tahun 1957, Wajo berubah menjadi kabupaten setelah Konferensi Meja Bundar dilaksanakan.
Pemerintahan Wajo tidak terlaksana dengan baik dan maksimal karena terjadi pemberontakan DI/TII.
Dahulu Wajo adalah sebuah kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
Dan secara resmi pada 1957, penguasa di Wajo menjadi seorang bupati.
Sumber Sejarah
Sumber sejarah dari Kerajaan Wajo masih bisa disaksikan hingga saat ini.Berikut sumber sejarahnya.
1. Istana Saoraja Mallangga
Arsitektur dari Istana Saoraja Mallangga atau sekarang lebih dikenal dengan Museum Simettengpola Saoraja Mallangga di kenal unik.
Namun, pada awalnya museum ini dikenal dengan nama Museum Sengkang yang diresmikan pada tahun 1990.
Pembangunan istana ini dilakukan pada sekitar tahun 1933.
Pada awal pembangunannya istana ini berfungsi untuk tempat tinggal raja Arung Bettempola dan tidak dikelilingi pagar dan bangunannya tidak terlalu tinggi.
Agar setiap warga Wajo yang datang tidak segan dalam menyampaikan pendapatnya pada Arung Matoa saat itu.
Seiring perkembangan zaman, karena istana ini banyak menyimpan benda-benda peninggalan Kerajaan Wajo makanya istana itu diperbaharui dengan memasang pagar di sekelilingnya.
Dan kini ada seorang pemangku adat Wajo atau Sangkuru yang mendiami Istana Saoraja Mallangga, bernama H Datu Sangkuru beserta dua dari lima anaknya serta beberapa keponakan
Di dalam istana ini terdapat beberapa lemari-lemari besar berisikan naskah lontara, tombak, keris, buku-buku, bossara atau nampan kue berkaki yang saat ini berfungsi sebagai tempat songkok di atasnya.
Ada juga mesin jahit dan ada beberapa tanduk rusa yang dipajang di ruang tamu.
Berbagai benda peninggalan sejarah tetap dipelihara dan dijadikan museum keluarga hingga saat ini.
2. Messid Tello,e dan Makam Assyiekh Al-Habib Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein
Masjid ini di bangun pada tahun 1621 oleh seseorang yang dipercayai sebagai orang yang mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad S.A.W.
Assyiekh Al-Habib Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein adalah orang yang ada di balik pembangunan masjid tersebut yang jadi salah satu sumber sejarah Kerajaan Wajo yang jadi masjid kuno berada di desa Tosora Kecamatan Majauleng.
Masjid ini memiliki denah dasar bujur sangkar tanpa serambi dan berarsitektur asli Indonesia.
Sama seperti masjid-masjid di Indonesia yang jadi bekas kerajaan Islam yang berada di daerah Jawa, Sumatera, Ternate, Palopo, Gowa, Buton, dan Banten.
Hingga kni dinding masjid ini tidak diketahui tingginya.
Yang diketahui hanya bahan dasar pembangunan dinding yang menggunakan susunan batu-batu sedimen tidak beraturan, dan menggunakan perekat seperti kapur dengan campuran putih telur.
Di masjid kuono ini juga di bangun kolam air wudhu dengan kedalaman 94-99 cm oleh Salewatang Haji Andi Mallanti.
Selama pembangunannya, sekitar dua tahun warga sekitar tidak bisa berternak dengan baik karena telur ayamnya di sumbangkan untuk pembangunan masjd.
Di sekitar masjid terdapat beberapa makam kuno yang di antaranya ada makam cucu keturunan Nabi Muhammad yang ke 19.
Yakni makam Assyiekh Al-Habib Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein, berbentuk setengah bulat dengan nisan yang juga setengah bulat.
Ada juga Makam Arung Benteng Lagau yang dahulu adalah seorang mantan ketua majelis Kerajaan Wajo.
3. Lontara Sukunna Wajo
Biasanya naskah suatu kerajaan zaman dulu ditulis pada sebuah prasasti.
Berbeda dengan masyarakat Wajo yang menulis naskahnya pada selembar daun lontar yang menjelaskan asal-usul Kerajaan Wajo.
Lontara Sukunna Wajo dengan tulisan bersejarah yang memuat kronik Orang Wajo.
Peninggalan Kerajaan Wajo
Seperti kebanyakan kerajaan masa lampau, Kerajaan Wajo juga mempunyai beberapa peninggalan yang wajib di lestarikan dan di jaga.
Agar situs purbakala ini masih bisa dinikmati dan didapati nilai-nilai sejarahnya.
1. Sumur Jodoh
Ada yang mengatakan bahwa nama sebenarnya Sumur Jodoh adalah “Bungung Baranie”.
Sumur yang dulu digunakan para prajurit Wajo untuk membasuh diri sebelum peperangan.
Namun, kini sumur ini dipercaya oleh sebagian orang jika ada yang minum, membasuh wajah bahkan mandi akan mendatangkan jodoh bagi yang mendambakannya.
2. Geddong’e
(Gedung Mesiu) adalah bangunan yang berfungsi untuk menyimpan alat-alat dan hasil bumi Kerajaan Wajo.
Ada juga yang mengatakan bangunan ini dulunya adalah tempat penyimpanan uang (bank zaman dulu).
Geddongng’e (Gedung Mesiu) di bangun oleh Lasalewangeng To Tenriruwa sekitar tahun 1718 M yang bahan dasar bangunannya berasal dari batu gunung, pasir dan telur sebagai perekat bangunannya.
3. Benteng Tosora
Awal pembangunannya diadakan musyawarah oleh masyarakat Wajo dan Arung Matoalatentilai’ untuk membahas penyerangan Belanda pada Tosora maka dibuatlah benteng pertahanan.
Karena pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan militer di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Di antaranya Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dan Kerajaan Bugis (Soppeng, Wajo dan Bone) beraliansi membentuk “Tellumpocco”.
Pada akhirnya aliansi yang telah terbentuk pecah karena Kerajaan Bone dan Soppeng berpihak pada Belanda.
Lalu Wajo dan Gowa membentuk aliansi tersendiri.
Gowa kemudian dikalahlah oleh gabungan pasukan Bone, Buton Soppeng dan VOC.
Hal ini berimbas pada Kerajaan Wajo, membuat Arung Matoa La Tenri Lai To Sengngeng dipaksa untuk menandatangi “Perjanjian Bungayya”.
Karena itu serangan lanjutan dilakukan sekutu gabungan Bone di bawa pimpinan Arung Palakka, menyerbu Benteng Tosora untuk mengepung Wajo selama tiga bulan.
4. Mushola Tua Menge
Mushola Tua Menge di bangun sekitar tahun 1621 M setelah merampungkan pembangunan Masjid Kuno Tosora.
Mushola menjadi saksi bisu penyebaran agama Islam di Kerajaan Wajo pada 1610 M, yang bahan bangunannya sama dengan Masjid Kuno Tosora.
Yakni batu,pasir dan telur sebagai perekat.
Dan ukuran bangunanna jauh lebih kecil di bandingkan Masjid Kuno.
4. Makam Lasalewangeng Tenriruwa
Lasalewangeng Tenriruwa adalah Arung Matoa ke 30 yang pernah berkuasa di Kerajaan Wajo.
Tidak hanya menjadi Arung Matoa di Wajo,beliau juga pernah menjadi raja di Negeri Kampiri atau Limpo dan bergelar Arung Kampiri.
Lasalewangeng Tenriruwa berjasa memperkuat pertahan Kerajaan Wajo pada tahun 1715 sampai 1736 karena terjadi peperangan terhadap Bone dan Belanda.
Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung
Lataddampare’ Puangrimaggalatung beliau terkenal dan diabadikan namanya dalam naskah Lontara karena ia adalah seorang Negarawan dan ahli pikir di zamannya.
Arung Matoa Ke IV ini berhasil membuat jadi kerajaan besar dan disegani pada tahun 1498 hingga 1528.
5. Makam La Tenrilai’ Tosengngeng
Hingga saat ini kematian La Tenrilai’ Tosengngeng, Arung Matoa ke-23 ini masih simpang siur.
Ada yang menyebutkan beliau wafat karena sebagai Arung Palaiyyengi Musu’na (Raja yang meninggalkan peperangannya).
Dan ada juga yang mengatakan Djammenga ri alo-laona (yang mati di tempat mesiunya).
Maksudnya yaitu ketika ia sedang berperang melawan Bone dan Belanda yang bersekutu, beliau ingin membakar sumbu meriamnya untuk di arahakan atau di tembakan pada musuh.
Namun, beliau lupa untuk menutup tempat bubuk mesiunya sehingga Meriam tersebut meledak dan mengenai beliau. La Tenrilai’ Tosengngeng pun mati seketika.
6. Makam Besse Idalatikka
Besse Idalatikka adalah satu-satunya gadis yang tersohor dari Kerajaan Wajo karena dengan berani melakukan perlawanan pada Bone dan Belanda.
Ia di kenal dengan istilah “To Palettei” karena kecantikan, kerahaman dan kesopannnya di Kerajaan Wajo pada zamannya.
Konon makam Besse Idalatikka dibuat istimewa dengan memakai kayu dari Malaysia dan diukir langsung di Kalimantan.
Makam Besse Idalatikka gadis cantik ini juga di pesan 2 bulan sebelum kematiannya.
7. Makam La Maddukkelleng
La Maddukkelleng wafat pada tahun 1756 dan dimakamkan di Komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukelleng bersamaan dengan pusara Raja Kutai Kartanegara Ing Martadipura Ke-14, Sultan Adji Muhammad Idris.
Kompleks pemakaman ini terletak tak jauh dari pusat Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
La Maddukkelleng sering disebut Arung Peneki dan Arung Singkang karena kedua orang tuanya berasal dari dua kerajaan yang berdebar dan ia juga sedari kecil sudah hidup di lingkungan kerajaan.
Selama menjadi Arung Matoa Wajo, ia membangun armada laut untuk membebaskan Wajo dan Sulawesi Selatan dari belenggu kekuasaan Belanda.
Dengan cara melumpuhkan daerah-daerah kecil yang mempunyai hubungan dagang dengan kolonial Belanda, sehingga hubungan dagang pun terputus.
Dengan segala usahanya La Maddukkelleng mendapat gelar “Petta Pammadekaenggi” yang artinya Tuan Yang Memerdekakan Wajo.
Beliau juga mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1998 setelah SK Presiden RI No. 109/TK/Thn 1998.
8. Goa Nippon
Goa Nippon adalah bekas peninggalan tentara Jepang saat terjadinya perang Dunia II di Kabupaten Wajo.
Goa Nippon ini berbentuk “L, I, U”, dan ada petugas yang bersedia menjadi pemandu agar wisatawan bisa mendapat pengetahuan baru tentang sejarah tentara Jepang di masa lampau.
Kerajaan Wajo pernah jadi kerajaan yang tersohor di Sulawesi Selatan.
Dengan sistem pemerintahan yang terorganisir dengan baik, membuat kerajaan ini kuat dan ditakuti oleh kerajaan sekitar.
Demikian pembahasan Kerajaan Wajo yang kini telah menjadi Kabupaten Wajo dengan penghargaan Adipura untuk kategori kota kecil.