Kerajaan Sunda berdiri pada tahun 669 Masehi. Kerajaan yang memiliki nama lain Pasundan dan Pakuan Pajajaran ini meliputi wilayah yang saat ini menjadi bagian dari Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah. Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Keruntuhan kerajaan ini dipicu oleh berbagai hal antara lain karena serangan yang dilancarkan oleh Kesultanan Banten, selain itu setelah mangkatnya Prabu Siliwangi tidak ada pemimpin penerus yang memiliki kemampuan seperti dirinya.
Artikel ini mengulas sejarah Kerajaan Sunda dari awal berdiri hingga berbagai prasasti peninggalannya.
Sejarah lahirnya Kerajaan Sunda
1. Akhir dari Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda memiliki hubungan yang dekat. Menurut Naskah Wangsakerta, Kerajaan Tarumanegara menaklukkan daerah Sunda Pajajaran (sekitar Sungai Cipakancilan, Bogor) dan menjadikannya sebagai bawahan. Kerajaan Tarumanegara yang berdiri tahun 358 Masehi lebih dulu membesarkan kerajaannya.
Tarusbawa, sang pemimpin Sunda menikahi putri sulung raja Tarumanegara, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi, yang bernama Dewi Manasih. Tarusbawa menjadi menantu raja dan mendapatkan peran dalam pemerintahan Kerajaan Tarumanegara.
Raja Linggawarman yang baru saja menduduki tahta raja selama tiga tahun jatuh sakit dan meninggal pada 669 Masehi. Posisi kepala pemerintahan diberikan kepada Tarusbawa dan Tarumanegara digantikan oleh Kerajaan Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (18 Mei 669 Masehi).
Pada saat ini, Kerajaan Galuh yang semulanya berada di bawah Tarumanegara melepaskan diri dan membentuk pemerintahannya sendiri. Tarusbawa yang ingin melanjutkan amanah mertuanya menyetujui hal tersebut dan mulai membagi wilayah kekuasaan. Sungai Citarum menjadi pembagi kedua wilayah. Sebelah barat sungai untuk Sunda dan sebelah timur sungai untuk Galuh.
2. Bersatunya Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
Sebelum pemerintahan Tarusbawa berakhir, cucunya yang bernama Nay Sekarkancana dinikahkan dengan Rahyang Sanjaya dari Galuh. Kondisi Kerajaan Galuh pada tahun 716 Masehi mengalami gejolak. Raja ketiga Galuh, Sena, dikudeta oleh Purbasora yang juga merupakan saudara tirinya. Alhasil Tarusbawa bersama Sanjaya melakukan penyerangan untuk merebut kembali kekuasaan Galuh. Setelah sukses meraih kemenangan, Sanjaya menyatukan Kerajaan Sunda dan Galuh di bawah pimpinannya.
Bersatunya Kerajaan Sunda-Galuh tidak bertahan lama. Anak Sanjaya, Rakeyan Panaraban, membagi kedua kerajaan kembali kepada kedua anaknya, Sang Manarah atau yang biasa disebut Ciung Wanara dalam cerita rakyat dan Sang Bang atau dikenal dengan Hariang Banga, untuk menghindari perebutan kekuasaan. Ciung Wanara di Galuh dan Hariang Banga di Sunda.
Ratusan tahun berlalu dan kedua kerajaan tetap bertahan melampaui waktu. Konflik demi konflik muncul namun berhasil diselesaikan. Titik puncak Kerajaan Sunda dan Galuh berada pada era kemunduran Kerajaan Majapahit.
Sekitar tahun 1400-an Masehi, Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, anggota keluarga kerajaan dan segenap rakyatnya mengungsi ke Kawali, ibukota Galuh (sekarang sekitar Kuningan, Jawa Barat). Galuh yang waktu itu dipimpin oleh Dewa Niskala dengan senang hati menerima mereka. Bahkan menjodohkan salah satu putrinya dengan kerabat Prabu Kertabumi. Ia juga mempersunting dari salah satu pengungsi.
Di sisi lain, Sunda yang kala itu dipimpin oleh Susuktunggal tidak terima dengan pernikahan antara orang Sunda-Galuh dengan Majapahit mengingat perjanjian yang dibuat akibat peristiwa Bubat. Dewa Niskala bersedia menghapuskan aturan dan tradisi sedangkan Susuktunggal teguh menetapkannya. Lantas kedua kerajaan damai tersebut malah berperang.
Demi kebaikan kedua pihak, penasihat-penasihat kedua kerajaan menyarankan untuk menunjuk penguasa baru dan kedua raja tahta. Mereka bersedia dengan jalan damai dan menunjuk Jayadewata atau lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Prabu Siliwangi adalah putra Dewa Niskala yang menikahi Ambet Kasih, putri Susuktunggal. Setelah naik menjadi raja, Prabu Siliwangi bergelar Sri Baduga Maharaja. Pada tahun 1482, ia memutuskan untuk menyatukan kembali kedua kerajaan menjadi Kerajaan Sunda-Galuh Pajajaran.
Letak geografis dan wilayah kekuasaan
Wilayah Sunda sewaktu masih menjadi bawahan Tarumanegara berada di hulu sungai Cipakancilan, sekitar Bogor sekarang. Kemudian setelah mendirikan Kerajaan Sunda, kerajaannya berlokasi di sebelah barat Sungai Citarum yang menjadi batas geografis dengan Kerajaan Galuh. Pusat kerajaannya pada masa awal berada di Parahyangan Sunda atau Priangan (sekitar utara dari Bandung). Sedangkan Galuh beribukota di Kawali (sekitar Kuningan).
Kerajaan Sunda meluaskan wilayahnya ke arah barat dan selatan Jawa Barat mencakup Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Bandung. Sedangkan Kerajaan Galuh ke arah timur dan utara yang meliputi Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Sumedang.
Ketika mencapai masa emasnya, Kerajaan Sunda berhasil mengepakkan sayapnya hingga ke Banten dan Lampung. Di situlah ia menamakan lautan yang memisahkan kedua pulau dengan nama Selat Sunda. Sejauh ini ia berhasil menaungi hampir setengah dari Pulau Jawa.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), setelah menyatukan kembali kedua kerajaan, ibukota dipindahkan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran (sekarang Bogor). Pakuan sendiri memiliki arti kota dalam Bahasa Sunda kuno.
Letak geografis Kerajaan Sunda yang berpusat di daerah lereng gunung membuatnya maju di bidang perkebunan dan pertanian. Dialiri banyak sungai sehingga akses transportasi juga menggunakan kapal. Di sisi militer, menguntungkan kerajaan karena bisa menggunakan gunung sebagai kekuatan alami untuk menahan musuh yang datang dari bawah atau dataran rendah.
Mengenal Kerajaan Sunda lebih dalam
Setelah berkilas balik tentang berdirinya kerajaan di tanah Sunda, mari kita mengintip bagaimana kehidupan dalam berbagai aspek di Kerajaan Sunda.
1. Kehidupan politik dan militer
Pemerintahan era lampau tidak lepas dari kata kerajaan. Sebuah kerajaan umumnya dipimpin oleh seorang raja dan menerapkan sistem patriarki yang kuat, sistem di mana laki-laki adalah pemegang kekuasaan dan memiliki peran politik utama.
Kerajaan Sunda dipimpin oleh raja-rajanya. Apabila raja memiliki keturunan laki-laki maka otomatis dinaikkan menjadi penerus selanjutnya. Jika tidak memiliki anak laki-laki, biasanya akan diberikan kepada kerabat atau suami dari anak perempuannya.
Raja-raja tidak hanya berdiri sendiri. Ia membutuhkan bantuan dari dewan penasihat, panglima perang, dan prajuritnya untuk bersama-sama menjalankan pemerintahan. Mereka tidak setara, raja masih di atas mereka semua, namun saran dan perkataannya berpengaruh bagi raja.
Berdasarkan sumber-sumber sejarah, Kerajaan Sunda memiliki undang-undang tentang pemungutan upeti untuk menghindari penyelewengan dalam proses berjalannya dari para petugas. Di bidang militer, Kerajaan Pakuan Pajajaran ini terkenal dengan reputasinya untuk menahan serangan dengan baik. Dibuktikan dengan kegagalan Kerajaan Majapahit untuk menguasai bumi Sunda. Hal ini dikarenakan setelah terjadinya peristiwa Bubat, para pemimpin setelahnya menggencarkan kekuatan militer dengan menambah pasukan dari golongan pemuda dan cakap membuat strategi perang.
2. Kehidupan ekonomi
Rakyat Sunda mayoritas hidup sebagai petani, peternak, pekebun, dan pedagang. Mengingat kondisi geografis wilayah Sunda yang banyak bermukim di lereng gunung, hasil pertaniannya meliputi teh, lada, beras, asam Jawa, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Untuk bidang ternak, banyak yang memelihara sapi, babi, kambing, dan biri-biri.
Selain di sektor agribisnis, beberapa rakyat juga memiliki pekerjaan sebagai pelukis, pande mas (pengrajin emas), pande dang (pembuat alat-alat rumah tangga), dan nelayan. Perdagangan biasanya dilakukan di pasar dan pelabuhan di sungai-sungai.
Selama masa hidupnya Sunda, terdapat enam pelabuhan utama yaitu Banten, Cigede, Tomgara, Pontang, Sunda Kalapa, dan Cimanuk (sekarang Pamanukan). Masing-masing pelabuhan dikepalai oleh Syahbandar yang diutus oleh raja untuk mengatur jalannya perdagangan dan akses transportasi.
3. Kehidupan sosial dan budaya
Kehidupan bersosial dalam Kerajaan Sunda tidak lepas dari penggolongan sosial. Mereka terbagi menjadi empat kelompok, yakni kelompok rohani atau agama, cendikiawan, aparat kerajaan, dan ekonomi.
Kelompok rohani meliputi brahmana, pratanda, dan janggan yang mengetahui tentang ritual pemujaan, berbagai macam mantra, dan kehidupan keagamaan. Kelompok cendikiwan adalah mereka yang memiliki kemampuan intelektual seperti memen yang tahu banyak cerita, paraguna yang tahu banyak lagu dan nyanyian, serta prepatun yang tahu banyak pantun. Aparat kerajaan adalah mereka yang bertugas di pemerintahan, misalnya prajurit, hulu jurit (semacam panglima perang), dan bhayangkara (semacam polisi). Terakhir, mereka yang hidup di sektor ekonomi seperti petani, peternak, pedagang, nelayan, dan lain-lain.
Dari segi kebudayaan, kerajaan satu ini melahirkan budaya Sunda yang sampai sekarang ada mulai dari bahasa, aksara, tari-tarian, dan musiknya. Kebudayaan ini awalnya merupakan percampuran dari budaya Hindu dengan budaya leluhur. Agama Hindu menjadi agama yang dianuti dan dipraktikkan dalam berkehidupan di kerajaan. Sunda juga gemar untuk meninggalkan prasasti sebagai bukti atas suatu peristiwa atau cerita.
Silsilah raja
Menurut Naskah Pangeran Wangsakerta, inilah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda dari tahun ke tahun.
- Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669-723)
- Sanjaya atau Harisdarma (menantu Tarusbawa, 723-732)
- Tamperan Barmawijaya (732-739)
- Rakeyan Banga atau Hariang Banga (739-766)
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783)
- Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783- -795)
- Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795-819)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819-891)
- Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891-895)
- Windusakti Prabu Déwageng (895-913)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916)
- Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916-942)
- Atmayadarma Hariwangsa (942-954)
- Limbur Kancana (putra Rakeyan Kamuning Gading, 954-964)
- Munding Ganawirya (964-973)
- Rakeyan Wulung Gadung (973-989)
- Brajawisésa (989-1012)
- Déwa Sanghyang (1012-1019)
- Sanghyang Ageng (1019-1030)
- Sri Jayabupati atau Detya Maharaja (1030-1042)
- Darmaraja atau Sang Mokténg Winduraja (1042-1065)
- Langlangbumi atau Sang Mokténg Kerta (1065-1155)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155-1157)
- Darmakusuma atau Sang Mokténg Winduraja (1157-1175)
- Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297)
- Ragasuci atau Sang Mokténg Taman (1297-1303)
- Citraganda atau Sang Mokténg Tanjung (1303-1311)
- Prabu Linggadéwata (1311-1333)
- Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
- Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
- Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357)
- Prabu Bunisora (1357-1371)
- Prabu Niskala Wastukancana (1371-1475)
- Prabu Susuktunggal (1475-1482)
- Jayadéwata atau Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja (menantu Prabu Susuktunggal, 1482-1521)
- Prabu Surawisésa (1521-1535)
- Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
- Prabu Sakti (1543-1551)
- Prabu Nilakéndra (1551-1567)
- Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Masa kejayaan
Dari seluruh raja yang telah disebutkan sebelumya, masa emas Kerajaan Sunda terjadi pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Ceritanya yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi masih dibangga-banggakan sampai sekarang. Pertama, ia membuktikan dalam bentuk fisik. Karena baru saja menyatukan Sunda dan Galuh dengan ibukota Pakuan Pajajaran, tata kota dan wilayah kerajaan harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan kehidupan kerajaan dan rakyatnya.
Jayadewata membangun jalan dari Pakuan Pajajaran sampai ke Wanagiri (sekarang Wonogiri), membuat telaga besar yang dinamakan Maharena Wijaya untuk sumber air baru, membuat pamingtonan (semacam tempat hiburan dan pagelaran), serta membuat kabinihajian atau kaputren (semacam tempat tinggal) untuk para putri dan prajurit. Tak lupa juga ia membangun sarana dan prasarana keagamaan dan spiritual untuk mendorong masyarakat melakukan kegiatan keagamaan bersama-sama. Benteng-benteng yang sudah ada juga diperkokoh lagi olehnya.
Dari segi hukum ia menetapkan undang-undang untuk mengatur kehidupan kerajaan dan masyarakat, terutama untuk urusan pemungutan upeti. Sektor ekonomi juga maju karena memaksimalkan kekuatan perdagangan jalur air dengan pelabuhannya. Wilayah juga berhasil diperluas hingga ke Lampung di Pulau Sumatera. Kedaulatan kerajaan masih dipertahankan meskipun adanya ancaman dari Kerajaan Majapahit.
Tragedi Bubat
Peristiwa Bubat, peristiwa besar yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit. Ini terjadi pada masa pemerintahan Prabu Maharaja Linggabuana.
Kala itu, Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit jatuh hati pada lukisan putri Linggabuana, Dyah Pitaloka Citraresmi. Ia ingin mempersunting Dyah Pitaloka sekaligus mempererat hubungan kedua kerajaan dengan ikatan pernikahannya. Nyatanya, Raden Wijaya sang pendiri Majapahit adalah keturunan Sunda karena ayahnya adalah Rakeyan Jayadarma, raja Sunda. Dengan niat kebaikan tersebut Hayam Wuruk mengirimkan undangan ke Sunda.
Sesampainya surat lamaran tersebut, dewan penasihat keberatan dengan permintaannya karena pada masa itu, tidak lazim bagi perempuan untuk mendatangi pihak laki-laki. Mereka juga menduga bahwa ini adalah jebakan untuk bisa menaklukkan Sunda. Tetapi, Linggabuana memutuskan untuk berangkat ke Majapahit atas dasar ikatan persaudaraan leluhur.
Rombongan Sunda berangkat membawa sang raja, permaisuri, putri Dyah Pitaloka, beberapa kerabat kerajaan, dan prajurit secukupnya. Setibanya di Majapahit, rombongan Sunda ditempatkan di Pesanggrahan Bubat (Jawa Timur).
Di sinilah tragedi tragis akan terjadi. Mahapatih Majapahit, Gajah Mada yang menjunjung tinggi Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara di bawah kuasa Majapahit, melihat ini sebagai bentuk tunduknya Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada bahkan menekan Hayam Wuruk untuk mengubah niatnya dari mengeratkan ikatan diplomatis menjadi pengakuan superioritas Majapahit.
Berita ini sampai ke telinga Linggabuana dan tidak terima atas perlakuan Gajah Mada. Namun, tanpa seizin Hayam Wuruk, Gajah Mada melakukan penyerangan dengan pasukan yang berjumlah besar.
Tak mundur dari perang, Linggabuana maju ke medan tempur walaupun pasukannya sangat kalah jumlah. Alhasil, hampir semua rombongan Sunda tewas di Lapangan Bubat termasuk sang raja. Mereka yang masih hidup hanya terdiri dari perempuan. Dyah Pitaloka tak sanggup menerima kenyataan dan memutuskan untuk mencabut nyawanya sendiri. Perempuan lain juga mengikuti aksi Dyah Pitaloka.
Setelah perang Bubat, hubungan Majapahit dan Sunda rusak. Pemerintahan dilanjutkan oleh Prabu Niskala Wastu Kancana, putra Linggabuana dan adik Dyah Pitaloka. Kemudian diberlakukan hukum larangan estri ti luaran, yang berarti larangan untuk menikah dengan orang di luar Sunda. Dan sampai sekarang masih ada yang menerapkan peraturan tersebut di keluarganya (orang Sunda dilarang untuk menikah dengan orang Jawa).
Runtuhnya Sang Pakuan Pajajaran
Kita sudah sampai di penghujung cerita Kerajaan Sunda. Layaknya hidup pasti akan sirna dan mati. Kerajaan Sunda Pajajaran setelah pemerintahan Prabu Siliwangi tidak mendapatkan pemimpin yang secakap dirinya.
Ditambah lagi serangan Kesultanan Banten yang menggempur Pakuan Pajajaran. Pasukan Islam Banten mengambil singgasana raja yang disebut Palangka Sriman Sriwicana dan membawanya ke hadapan Maulana Yusuf. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa tidak ada raja lagi yang bisa dinobatkan untuk Kerajaan Pajajaran. Ialah yang akan menjadi penguasa untuk wilayah-wilayah Sunda karena dirinya juga adalah canggah (keturunan keempat) dari Sri Baduga Maharaja.
Dan di sinilah akhir dari sejarah Kerajaan Sunda sekitar tahun 1579. Sisa-sisa anggota kerabat kerajaan menetap di Lebak dan hidup dengan mandala yang ketat. Kelanjutan dari anggota istana ini adalah terlahirnya Suku Baduy.
Peninggalan dan sumber sejarah
Bukti-bukti sejarah yang sudah ditemukan sekarang tentang Kerajaan Sunda tidak begitu banyak. Peninggalannya meliputi prasasti, situs sejarah, dan catatan atau naskah sejarah. Di antaranya sebagai berikut.
1. Prasasti Batu Tulis
Prasasti yang ditemukan di Batu Tulis, Bogor, adalah salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Sunda yang ditulis pada batu terasit, batu yang umum ditemukan di Sungai Cisadane. Ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Pembuatnya tak lain adalah Prabu Surawisesa, putra Prabu Siliwangi. Ia menuliskan jasa-jasa ayahnya serta penyesalannya karena tidak bisa mempertahankan Sunda dari serangan Kesultanan Banten dan Cirebon.
2. Prasasti Huludayeuh
Prasasti ini ditemukan di Huludayeuh, Cirebon dan ditulis dalam Bahasa Sunda kuno. Sayangnya, prasasti ini ditemukan dalam keadaan tidak utuh. Setelah lama dicari dan terkumpul, tulisan-tulisannya juga sudah tidak dapat diterjemahkan. Garis besar isi prasasti ini adalah usaha Sri Maharaja Ratu Haji memakmurkan kerajaan di Pakuan Pajajaran.
3. Prasasti Ulubelu
Bukti bahwa wilayah kekuasaan Sunda telah mencapai Lampung ada pada prasasti ini karena ditemukan di Ulubelu, Tanggamus, Lampung. Dikatakan peninggalan Sunda karena ditulis dengan aksara Sunda kuno. Isi prasastinya adalah doa permintaan tolong kepada dewa-dewa Hindu, seperti Siwa, Brahma, dan Wisnu. Mereka berdoa kepada dewa untuk menjaga keselamatan dan keamanan kerajaan dari musuh.
4. Prasasti Cikapundung
Ditemukan di Cikapundung, Ujungberung, prasasti ini tidak hanya dituliskan dengan aksara Sunda Kuno, tetapi juga memuat gambar wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Isi dari Prasasti Cikapundung adalah pernyataan bahwa setiap manusia di muka bumi dapat mengalami kejadian apapun baik itu suka maupun duka, terbukti dalam kalimat unggal jagat jalmah hendap (semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu) yang terdapat di prasasti.
5. Prasasti Pasir Datar
Lucunya, prasasti ini ditemukan di kebun kopi di Pasir Datar, Sukabumi. Terbuat dari batu alam dan merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Sunda yang misterius karena sampai sekarang belum ada terjemahan dari prasasti ini.
6. Prasasti Kebon Kopi II
Ketika menebang hutan untuk lahan kebun kopi, prasasti ini dengan tidak sengaja ditemukan. Terletak di Pasir Muara, Bogor, dan berdekatan dengan Prasasti Kebon Kopi I. Ini menjadi peninggalan Sunda karena berisi tentang Rakeyan Jayagiri yang menduduki tahta sebagai raja Sunda. Prasasti ini diukir sekitar tahun 932 Masehi. Sedangkan Prasasti Kebon Kopi I menjadi peninggalan Tarumanegara karena terdapat telapak kaki gajah tunggangan Purnawarman yang merupakan raja Tarumanegara.
7. Padrao Sunda Kelapa
Kerajaan Sunda juga menjadi saksi kedatangan Bangsa Eropa ke nusantara, khususnya Pulau Jawa. Sebuah perjanjian dibuat antara Portugis dengan Sunda yang ditandai dengan padrao (tugu batu). Enrique Leme dari Portugis dan Prabu Surawisesa dari Sunda yang menjadi saksi perjanjian tersebut. Isi dari padrao adalah izin untuk membangun benteng dan gudang perdagangan bagi Portugis. Tempat membangunnya adalah tempat padrao ini dibuat, yakni di Kali Besar Timur I, Jakarta Barat.
8. Karangmulyan
Kawasan ini dijadikan cagar budaya oleh pemerintah sekarang. Terletak di Cijeungjing, Ciamis, situs sejarah ini merupakan peninggalan Kerajaan Galuh sewaktu dipimpin oleh Ciung Wanara yang juga keturunan Sunda. Kehidupan pernah berlangsung di sini sejak abad sembilan dibuktikan dengan penemuan keramik Dinasti Ming.
9. Catatan sejarah
Cerita sejarah Kerajaan Sunda-Galuh Pajajaran dapat dilacak dari catatan sejarah yang dibuat oleh orang-orang pada masa kerajaan dan sumber-sumber asing. Di antaranya adalah Naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, Sajarah Banten, Wangsakerta, Kitab Kidung Sundayana, serta berita asing dari Tome Pires tahun 1513 dan Pigafetta tahun 1522. Sayangnya pengarang naskah-naskah yang dibuat oleh rakyat Sunda tidak diketahui sampai sekarang.
Misteri Kerajaan Sunda
1. Langkanya peninggalan candi yang ditemukan
Meski banyak bukti yang ditemukan tentang kehidupan dan keberadaan Kerajaan Sunda, masih ada hal yang mengganjal tentang kerajaan satu ini. Sejauh ini, sangat jarang ditemukan candi-candi peninggalan Kerajaan Sunda. Padahal, kehidupan keagamaannya dapat dikatakan taat dan kental dengan ajaran Hindu. Kemungkinan besar hal ini diakibatkan oleh kebiasaan masyarakat yang sering berpindah tempat atau nomaden. Ketika ladang sudah tidak maksimal lagi untuk bertani, maka mereka akan pindah mencari tempat baru sehingga bangunan permanen kadang tidak banyak berdiri (seperti keraton).
2. Macan dan Prabu Siliwangi
Raja yang membawa Sunda mencapai kejayaannya ini juga turut memberikan misteri. Macan atau dalam Bahasa Sunda maung sering dikaitkan dengan sang prabu karena cerita legenda menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar musuh dari Banten dan Cirebon. Ia meninggalkan wangsit untuk Kerajaan Pakuan Pajajaran tersebut. Ia berkata, “lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung” (jika aku sudah tidak menemanimu, lihatlah tingkah laku macan atau harimau).
Perkataan tersebut semakin dipercaya bahwa Jayadewata memiliki kekuatan untuk menghilang dan menjelma menjadi macan oleh masyarakat. Untungnya, setelah dilakukan penelitian, kata-kata tersebut mengartikan bahwa jika sang prabu sudah tiada maka lihatlah sifat dan karakteristik macan untuk memimpin Sunda. Macan dideskripsikan sebagai binatang yang tegas, berani, tetapi juga sayang dengan keluarganya. Yang menjadi ganjal adalah, kita tidak pernah tahu apakah Prabu Siliwangi benar-benar menghilang dan menjadi macan lalu kembali setelah berhari-hari menghilang.
Sekian cerita tentang kerajaan yang bertahan beratus tahun di tanah Sunda ini. Jangan lupa untuk sebarkan tuliskan ini jika bermanfaat. Terima kasih banyak.