Kerajaan Siak adalah salah satu kerajaan bercorak islam yang besar di pesisir timur Sumatera.
Kerajaan Siak merupakan salah satu kerajaan yang berperan dalam mengobarkan perlawanan rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah Belanda, Inggris maupun Jepang.
Kerajaan Siak bertransformasi menjadi kekuatan bahari yang handal tempo dulu meski harus tumbuh di bawah imperealisme kekuatan ban(gsa asing.
Sejarah Kerajaan Siak
Kisah berdirinya Kerajaan Siak bermula dari Kerajaan Gasib yang pusat permerintahnnya berada di tepian sungai Gasib, hulu sungai Siak.
Kerajaan Gasib sendiri adalah pecahan dari Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang.
Tahun 1622 Kerajaan Gasib runtuh dan menyebabkan kekosongan pemerintahan di daerah ini.
Kerajaan Johor kemudian mengambil alih dan ditempatkan seorang Syahbandar di Sabak Auh guna memonitor pungutan ‘pajak’ dari kegiatan ekonomi masyarakat yang bertumpu pada hasil hutan, laut dan penambangan timah.
Sultan Mahmud Syah II adalah raja Kerajaan Johor, yang merupakan ayah dari Raja Kecik, pendiri Kerajaan Siak.
Ia dibunuh oleh laksamananya sendiri, Megat Sri Rama.
Selepas pembunuhan itu, istri Sultan Mahmud yang sedang mengandung Raja Kecik melarikan diri karena ancaman dari pasukan kerajaan.
Setelah dewasa dan dianggap mampu, Raja Kecik menyusun taktik untuk merebut takhta di Kerajaan Johor yang sudah dikendalikan Datuk Bendahara Tun Hebab.
Prahara perebutan kekuasaan ini dimenangkan oleh Raja Kecik, sehingga kursi pemerintahan kembali ke nasabnya pada tahun 1717.
Dalam perkembangannya Raja Kecik menerima pengkhianatan di lingkungan bangsawan Kerajaan Johor.
Raja Kecik akhirnya bertolak meninggalkan Johor dan menetap di Riau untuk membangun istana baru di kawasan Buantan, di tepi sungai Siak bernama Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Ia didaulat sebagai raja pertama pada tahun 1723 berdasarkan hasil mufakat rakyat Bengkalis.
Periode pemerintahan Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil memiliki pengaruh signifikan terhadap kemajuan Kerajaan Siak.
Kerajaan yang awalnya adalah daerah kekuasaan Johor, bisa berbalik menjadikan Johor sebagai wilayah kekuasaan.
Wafatnya Raja Kecik dan daerah Buantan yang dianggap kurang strategis untuk mendukung transportasi dagang, membuat raja Siak ke-2, Sultan Abdul Jalil Muzaffar memindahkan ibu kota kerajaan ke Mempura, bergeser dua kilo meter dari Buantan.
Perpindahan pusat pemerintahan ini juga ditujukan untuk mengurangi ancaman dari hegemoni VOC yang berkuasa di kawasan Malaka saat itu.
Ketika Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, raja Siak ke-4, memindahkan kembali pusat kerajaan ke Senapelan (sekarang disebut Pekanbaru).
Perpindahan bangunan istana terakhir dilakukan oleh raja Siak ke-7 bernama Sultan Syarif Ali yang membawa Kerajaan Siak kembali ke Koto Tinggi atau Siak Sri Indrapura.
Lokasi, Letak Geografis dan Peta Wilayah
Kerajaan Siak dahulu berlokasi di Buantan, Siak, Riau.
Tepatnya berada sejauh 16 km ari posisi istana Kerajaan Siak yang ada sekarang.
Kota Siak Sri Indrapura adalah sebuah planed city atau kota yang sengaja dibangun dengan gaya kota klasik Eropa oleh Sultan Syarif Hasyim di tahun 1889.
Kota Siak Sri Indrapura juga dilengkapi dengan dewatering atau sistem pengeringan lahan untuk mengendalikan air guna mencegah banjir menggunakan kanal air bernama Suak.
Letak geografis Kerajaan Siak berada di pesisir Sumatera bagian timur.
Di wilayah kerajaan mengalir sungai Siak, Kuantan dan Kampar yang menjadi jalur transportasi perdagangan di Kerajaan Siak.
Walaupun bergerak di perniagaan bahari, pusat istana Kerajaan Siak tidak berada di dekat pelabuhan.
Pelabuhan Kerajaan Siak dibangun di hilir dan hulu sungai yang terkoneksi dengan jalur pelayaran internasional.
Silsilah Raja
A. Keturunan Melayu Johor
1.Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah I (1723-1746 M)
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah I lebih dikenal dengan Raja Kecik.
Ia adalah pendiri Kerajaan Siak Sri Indrapura di Buantan setelah berhasil memenangkan politik perebutan kekuasaan dengan Kerajaan Johor.
Pada masa kepemimpinannya Kerajaan Siak memancangkan pondasi kekuasaan dengan mulai mengambil alih Rokan dan beberapa daerah di kawasan Kedah sebagai daerah kekuasaan.
Raja Kecik juga mencetak armada laut yang tangguh dengan pusat markasnya dibangun di Bintan.
Ketika Raja Kecik wafat ia diberi nama penyebutan Marhum (mendiang) Buantan.
2. Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765 M)
Tengku Buang Asmara yang bergelar Sultan Abdul Jalil Muzaffar adalah raja Siak ke-2.
memindahkan ibu kota kerajaan ke Mempura,
Setelah wafat, ia dianugerahi nama Marhum Mempura.
Tengku Buang Asmara memimpin perlawanan rakyat Siak untuk mengusir Belanda di pulau Guntung dan menghancurkan loji (benteng pertahanan).
Perlawanan ini disiasati dengan melakukan perundingan.
Dan Tengku Buang Asmara memilih membawa banyak hadiah untuk membuat Belanda berfikiran Kerajaan Siak sudah menyerah.
Di Saat yang sama, rakyat Siak yang dipimpin oleh Laksamana Muhammad dan Raja Indra Pahlawan merangsek ke dalam loji dan menumpas kekuatan Belanda yang ada.
3. Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766 M dan 1779-1781 M)
Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah atau Tengku Ismail adalah raja ketiga Kerajaan Siak menggantikan ayahnya.
Tengku Ismail adalah raja yang pemberani dan kontroversial.
Belanda bahkan menjulukinya sebagai “bajak laut terbesar di Semenanjung Malaya”.
Masa kekuasaannya sangat singkat di Kerajaan Siak karena terjadi perebutan kekuasaan dengan sepupunya, Sultan Muhammad Ali atas permintaan ayahnya, Tengku Alam yang telah berhasil diprovokatori Belanda.
Berkat nasihat ayahnya untuk tidak menyerahkan kekuasaan ke tangan Belanda, Tengku Ismail memutuskan menyerahkan tampuk kekuasaan ke pamannya Tengku Alam.
Tengku Ismail lantar keluar dari Kerajaan dan membangun kekuatan dengan dukungan Orang Laut dari pulau
Tujuh hingga mampu mengontrol laju perdagangan timah yang berpusat di Bangka.
Kekuatan yang sudah memadai ini kemudian digunakan oleh Tengku Ismail untuk kembali mengambil singgasana di Kerajaan Siak dari Muhammad Ali pada tahun 1779.
Ia berhasil kembali ke istana dan berkuasa di periode kedua hingga tahun 1781.
Setelah wafat, Tengku Ismail disematkan gelar Marhum Mangkat Di Balai.
4. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780 M)
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah atau Tengku Alam adalah putra bungsu Raja Kecik.
Tengku alam naik takhta menjadi raja ke-4 Kerajaan Siak atas bantuan Belanda yang tidak menyukai Tengku Ismail.
Walaupun begitu, Tengku Alam mulai tidak setuju dengan keputusan semena-mena Belanda menguasai Mempura dan mengendalikan jalur perdagangan di Sungai Siak.
Akhirnya Tengku Alam membawa perubahan besar dengan memindahkan pusat pemerintahan ke daerah hulu, tepatnya di Senapelan.
Karena posisi Senapelan berada di simpang lalu lintas perdagangan, maka para pedagang kemudian banyak yang singgah di bandar Senapelan.
Hal ini menyebabkan Mempura menjadi sepi dan pihak Belanda harus menanggung rugi.
Tengku Alam wafat pada 1766 dan mendapat gelar Marhum Bukit.
5. Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1766-1779 M)
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah dinobatkan sebagai raja Siak ke-5 menggantikan ayahnya.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Muhammad Ali mengeluarkan izin pendirian Negeri Sembilan (saat ini merupakan negara bagian Malaysia) pada tahun 1773.
Ketika wafat, Sultan Muhammad Ali dikenai gelar Marhum Pekan.
6. Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (1781-1791 M)
Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah sebenarnya adalah raja Siak ke-7, namun karena Sultan Ismail menjabat dua kali periode kepemimpinan di Kerajaan Siak, maka Sultan Yahya dianggap menjadi raja ke-6 Siak.
Sultan Yahya melakukan perjanjian dengan VOC untuk mengalahkan Inggris pada tanggal 1 Agustus 1782.
Kekuasaannya direbut oleh Tengku Sayid Ali yang menginginkan posisi raja Siak ke-7.
Sultan Yahya kemudian meninggalkan Siak dan berpindah Kampar, kemudian melanjutkan ke Trengganu dan wafat disana.
Sultan Yahya mendapat gelar Marhum Mangkat Di Dungun.
B.Keturunan Arab
7. Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin (1791-1811 M)
Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin atau Tengku Sayid Ali adalah keturunan Arab pertama yang berkuasa di Kerajaan Siak.
Tengku Sayid Ali adalah putra dari Tengku Embung Badariyah (putri raja ke-4 Siak, Tengku Alam yang menikah dengan Sayid Usman yang merupakan keturunan Arab).
Pada awal masa kekuasaannya, Ia memutuskan untuk kembali memindah ibukota kerajaan ke Koto Tinggi atau sekarang dikenal sebagai daerah Siak Sri Indrapura.
Ia juga terus meningkatkan kekuatan kemiliteran kerajaan dan membangun berbagai sarana kemasyarakatan untuk menaikkan kemakmuran rakyat.
Di bawah kepemimpinan Sultan Syarif Ali Kerajaan Siak berhasil menguasai wilayah jajahan 12.
Mencakup daerah Pagarawan, Kota Pinang, Kualuh, Batubara, Bilah, Asahan, Panai, Bedagai, Langkat, Temiang, Deli dan Serdang.
Superioritas Kerajaan Siak dibawah pimpinan Sultan Syarif Ali juga berhasil kembali menundukkan Bangko, Kubu, Tanah Putih dan Tapung yang sempat melepaskan diri dari wilayah kedaulatan kerajaan.
Di akhir masa kepemimpinannya, ia menyerahkan estafet kekuasaan ke putranya Tengku Ibrahim.
Sultan Syarif Ali mendapat gelar Marhum Kota Tinggi ketika wafat.
8. Sultan Assaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1811-1827 M)
Sultan Assaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin dikenal dengan nama Tengku Sayid Ibrahim.
Pada masa pemerintahannya banyak daerah taklukan yang melepaskan diri dari Kerajaan Siak.
Tanggal 31 Agustus 1818 Sultan Sayid Ibrahim melakukan tanda tangan kontrak untuk melakukan kerja sama dagang dengan Inggris.
Kemudian Belanda yang merasa memiliki hegenomi di Kerajaan Siak mengajukan perbaruan perjanjian dagang tahun 1822.
Isi perjanjian tersebut adalah Kerajaan Siak dilarang melakukan ikatan dagang dengan negara lain selain Belanda.
Berpijak pada kelemahan Sultan Syarif Ibrahim menghadapi bangsa asing dan kondisi kesehatan, ia kemudian diturunkan tahta oleh pembesar kerajaan tahun 1827.
9. Sultan Assaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1827-1864 M)
Sultan Syarif Ismail naik takhta menggantikan Sultan Syarif Ibrahim.
Ia melakukan perjanjian dengan Inggris tahun 1840.
Akibatnya ia mengalami tentangan keras dari pihak Belanda yang akhirnya menurunkannya paksa pada tahun 1864.
10. Sultan Assaidis Syarif Kasim I Abdul Jalil Saifuddin (1864-1889 M)
Akibat pengaruh Belanda di Kerajaan Siak semakin besar, maka pengangkatan raja Siak harus melalui persetujuan Belanda.
Pada masa kedudukannya, terjadi Perjanjian Sumatera yang dilakukan pada 2 November 1871 dari pihak Belanda dan Inggris yang masih terus berseteru memperebutkan Kerajaan Siak.
Isi perjanjian Sumatera antara lain Belanda dan Inggris sepakat untuk saling membiarkan untuk melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Siak, maupun kerajaan lain yang ada di Sumatera.
Di samping itu Sultan Syarif Kasim I terus memperkuat posisi Kerajaan Siak dengan melakukan pembangunan infrastruktur kerajaan yang lebih baik.
Diantaranya menginisiasi pembangunan istana yang megah, masjid agung, balai kerapatan tinggi dan lain sebagainya.
11. Yang Dipertuan Besar Assaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin (1889-1908 M)
Sultan Syarif Kasim I mangkat ketika semua bangunan yang diinisiasinya belum selesai dibangun.
Akhirnya istna Asserayah Hasyimiah selesai dibangun dan diresmikan oleh Sultan Syarif Hasyim.
Sultan Syarif Hasim juga meluncurkan hukum kerajaan yang tertuang di undang-undang resmi bernama Bab Al-Qawa’id.
12. Yang Dipertuan Besar Assaidis Syarif Kasyim II Abdul Jalil Saifuddin (1915-1945)
Sultan Syarif Kasim II adalah raja terakhir dalam kedaulatan Kerajaan Siak.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Sultan Syarif Kasim II memproklamirkan bahwa Kerajaan Siak bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai bentuk pengabdiannya kepada negara, Sultan Syarif Kasim II menghibahkan uang sejumlah 13 juta gulden atau setara dengan 69 juta euro jika di-kurs-kan pada tahun 2011.
Kehidupan di Kerajaan Siak
A. Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Siak berada di kawasan geogstrategis sehingga memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa kaya.
Roda perekonomian rakyat digerakkan di bidang pertanian dan usaha dagang memanfaatkan jalur perdagangan dunia yang melalui wilayahnya.
Komoditi dagang yang diupayakan oleh rakyat Siak antara lain kelapa, karet, ikan terubuk dan yang paling utama adalah kayu bahan kapal dan bangunan.
Saat itu, Kerajaan Siak menjadi eksportir kayu terbesar di Semenanjung Malaya.
Kerajaan Siak bertransformasi menjadi kerajaan yang kuat, terutama di bidang bahari.
Adanya sungai besar yang mengalir di wilayah kerajaan juga sangat membantu untuk memudahkan bongkar muat barang-barang dagang dari dan ke dalam wilayah Kerajaan Siak.
Perkembangan ekonomi masyarakat yang bagus di ini kemudian menjadikan pemasukan uang ke Kerajaan Siak menjadi lancar.
Van Anrooij dalam Nota Omtrent Het Rijk van Siak memaparkan bahwa ada beberapa sumber pemasukan bagi Kerajaan Siak.
Beberapa diantaranya adalah mengambil tarif cukai terhadap kegiatan ekspor dan impor yang melalui sungai Siak di kawasan kerajaan.
Orang orang asing yang masuk ke Kerajaan Siak juga dibebankan bayar cukai kepada kerajaan.
Di samping itu, Kerajaan Siak juga menetapkan barang larangan yang berarti semua baranga-barang tersebut adalah milik kerajaan.
Masyarakat bertugas untuk mengumpulkan dan diserahkan ke kerajaan sebagai bentuk upeti.
Komoditi yang termasuk dalam barang larang kerajaan antara lain gaharu, gading gajah, cuka tupai, cula badak, dan musang cabu.
Kemampuan Kerajaan Siak dalam mengendalikan perompak di kawasan kerajaan juga memberikan daya dukung untuk menarik semakin banyaknya kapal dagang yang singgah di Siak.
B. Kehidupan Sosial & Budaya
Kerajaan Siak sebagai daerah persinggahan di lalu lintas perdagangan dunia menyebabkan kawasan ini menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di daerah Melayu.
Hal ini kemudian memunculkan banyak akulturasi budaya dan merasuknya adat istiadat islami di kehidupan rakyat Kerajaan Siak.
Bahkan nama “Siak” digunakan sebagai penyebutan untuk orang orang yang taat dalam beragama islam.
Kehidupan sosial budaya di Kerajaan Siak juga melahirkan tari Olang-olang dan tari Zapin Melayu yang menjadi warisan budaya saat ini.
C. Kehidupan Politik
Kehidupan politik di Kerajaan Siak menganut sistem pemerintahan yang mewarisi struktur Kerajaan Pagaruyung.
Sultan ditempatkan pada posisi tertinggi dan memegang segala keputusan fital kerajaan.
Posisi di bawahnya diduduki Dewan Menteri yang memiliki hak untuk mengangkat dan memberhentikan sultan.
Dewan Menteri tersusun dari empat bidang, yaitu Datuk Limapuluh, Datuk Tanah Datar, Datuk Kampar dan Datuk Pesisir.
Perkembangan besar di Kerajaan Siak di bidang politik kerajaan adalah disahkannya undang-undang Bab al-Qawa’id.
Mengingat Kerajaan Siak berbentuk kesultanan, maka segala keputusan yang diambil di dalam internal kerajaan menyesuaikan dengan syariat islam yang berlaku.
Masa Kejayaan
Masa Kejayaan Kerajaan Siak dimulai pada 16 hingga abad 20.
Di puncak kejayaannya Kerajaan Siak memiliki kapal dagang yang berjumlah kurang lebih 171 kapal yang beroperasi dari dan menuju bandar besar di Melaka.
Siak menguasai perdagangan di kawasan segitiga perdagangan yang diperankan oleh kemaharajaan VOC Belanda di Malaka dan Britania Raya (Inggris) di Pulau Pinang.
Tengku Syarif Ali juga berjaya melakukan ekspansi ke seluruh kawasan di jalur jajahan 12 untuk dijadikan bagian dari Kerajaan Siak.
Imperium Kerajaan Siak yang semakin membesar di hampir seluruh Sumatera ini membuat Belanda menyusun siasat untuk menaklukkan Siak melalui perjanjian-perjanjian dagang yang mengikat.
Keruntuhan Kerajaan
Setelah turunnya Sultan Syarif Ali dari takhta kerajaan, Belanda semakin menggencarkan kolonialisasi di Kawasan timur Sumatera.
Daerah kekuasaan mulai banyak yang melepaskan diri dari Kerajaan Siak, diantaranya Deli, Langkat, Asahan, Inderagiri dan kemudian disusul Johor yang berhasil dikuasai kembali oleh keturunan Tumenggung Johor.
Belanda juga mengetatkan ruang gerak Kerajaan Siak dengan membangun Residentie Riouw di Tanjung Pinang.
Sempitnya wilayah kekuasaan Kerajaan Siak juga diperparah dengan penerimaan perjanjian dengan Inggris tahun 1840.
Permainan kepentingan Belanda dan Inggris semakin terlihat di Perjanjian Sumatera yang membuat Kerajaan Siak ditempatkan pada posisi tawar yang rendah.
Meski berada di bawa tekanan, para sultan Kerajaan Siak tetap mempertahankan posisi pemerintahan sampai merdekanya Indonesi.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, Kerajaan Siak di bawah kepemimpinan Sultan Syarif Kasim II menyatakan bergabung dengan NKRI.
Sumber Sejarah
A. Hikayat Siak
Hikayat Siak ditulis sebagai bentuk perwujudan permintaan ahli waris kerajaan untuk meriwayatkan tentang kehidupan di Kerajaan Siak.
Bagian pertama dari Hikayat Siak memaparkan kisah raja Melayu dan Sulalatus Salatin, serta keterkaitan Malaka dengan Kerajaan Siak.
Sedangkan bagian kedua lebih banyak menceritakan tentang terbentuknya Kerajaan Siak, dan hubungannya dengan surutnya kekuatan Kerajaan Johor yang menguasai Siak di masa sebelumnya.
Manuskrip dari Hikayat Siak disimpan oleh Perpusnas (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia).
Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur tahun 1992 melakukan penerbitan Salinan Hikayat Siak.
B. Nota Omtrent Het Rijk van Siak (1885)
Nota Omtrent Het Rijk van Siak adalah buku yang ditulis H.A. Hijmans van Anrooij dan diterbitkan Tijdschrift voor Indiche pada tahun 1885.
Nota Omtrent Het Rijk van Siak diambil dari bahasa belanda yang memiliki arti sebuah catatan mengenai Kerajaan Siak.
Nota van Anrooij memaparkan berbagai aspek di Kerajaan Siak dalam tiga bagian.
Bagian pertama menceritakan tentang sejarah dan asal mula berdirinya kerajaan.
Bagian kedua berisi mengenai pembagian wilayah administratif yang dilakukan di Kerajaan Siak.
Bagian ketiga lebih berisi tentang masyarakat yang bermukim di Kerajaan Siak, termasuk unsur penggolongan penduduk.
Dan bagian terakhir mencoba memasukkan Analisa tentang daerah Tapung, Bangko dan Tanah Putih yang merupakan daerah taklukan Kerajaan Siak.
C. Tuhfat al-Nafis
Tuhfat Al-Nafis merupakan inventarisasi sejarah dari berbagai kerajaan di semenanjung melayu seperti Melayu, Johor, Siak dan Bugis.
Tuhfat Al-Nafis menuliskan bahwa masing-masing kerajaan saling terkait.
Berdiri dan runtuhnya kerajaan satu dengan yang lain disebabkan adanya politik perebutan kekuasaan dari para keturunan yang menghendaki kekuasaan.
Riwayat tentang Kerajaan Siak terdapat di Tuhfat al-Nafis bagian kedua.
Di dalam teks ini diceritakan bahwa berdirinya Kerajaan Siak berawal dari keterkaitannya dengan Raja Mahmud penguasa Johor yang memiliki putra bernama Raja Kecik, pendiri kerajaan.
Peninggalan
A. Istana Kerajaan Siak
Istana Kerajaan Siak memiliki nama Istana Asserayah Hasyimiah atau biasa juga dijuluki Istana Matahari Timur.
Istana kerajaan ini adalah salah satu bukti eksistensi Kerajaan Siak yang berada di tepian Sungai Siak.
Pembangunan pertama istana ini dilakukan tahun 1846 ketika masa pemerintahan Sultan Sayid Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin yang merupakan Raja Siak ke-9.
Rekonstruksi kemudian dilakukan ketika Raja Siak ke-11, Sultan Sayid Syarif Hasyim Abdul Jalil Syarifuddin, naik takhta.
Komplek istana Kerajaan Siak mempunyai empat bangunan utama, yaitu Istana Siak, Istana Pajang, Istana Peraduan dan Istana Limas.
Istana Siak memiliki bangunan dua lantai bergaya arsitektur melayu Islam.
Lantai pertama dahulunya difungsikan sebagai ruang makan dan tempat penyambutan terhadap tamu kerajaan.
Sedangkan lantai dua lebih banyak digunakan sebagai tempat tidur, baik untuk para raja maupun tamu yang menginap di kerajaan.
Beberapa benda di dalam istana dipercaya memili misteri oleh masyarakat diantaranya adalah cermin permaisuri Kerajaan Siak.
Cermin ini konon mampu mengabulkan keinginan sungguh-sungguh seseorang yang memanjatkan harapan sebari bercermin disini.
B. Masjid Agung Syahabuddin
Masjid Agung Syahabuddin didirikan pada masa kekuasaan Syarif Kasim I Abdul Jalil Saifuddin, raja Siak ke-10.
Sultan Syarif Kasim I menikah dengan keturunan Syahabuddin sehingga masjid yang dibangun pada masanya diberi nama Masjid Syahabuddin.
Masjid Agung Syahabuddin memiliki kubah unik yang diberi nama kasimiah.
Masjid agung ini masih berada di satu jalur dengan lokasi istana kerajaan Siak.
Hingga sekarang masjid ini masih aktif digunakan oleh masyarakat Siak sebagai pusat kegiatan beragama.
C. Makam Raja
1. Makam Raja Kecik
Makam Raja Kecik, raja pertama Kerajaan Siak berada di Kampung Buantan Besar, Siak, Riau.
Diperkirakan posisi makam tidak jauh dengan pusat istana Kerajaan Siak pada saat pertama kali dibangun.
2. Komplek Makam Mempura
Komplek makam raja Kerajaan Siak di Mempura terdiri dari makam raja ke-2, Sultan Abdul Jalil Muzafar atau Tengku Buang Asmara, serta raja ke-3 Kerajaan SIak Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah atau Tengku Ismail.
3. Komplek Makam Pekan
Komplek makam pakan merupakan sebutan untuk komplek pemakaman raja raja Kerajaan Siak yang berada di Bandar, Senapelan, Pekanbaru, Riau.
Di area komplek ini dimakamkan beberapa raja yang pernah memimpin di Kerajaan Siak, antara lain:
a. Makam Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, raja ke-4 Kerajaan Siak.
b. Makam Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, raja ke-5 Kerajaan Siak.
c. Makam Sultanah Khodijah atau Daeng Tijah, Istri raja ke-4 Kerajaan Siak.
4. Komplek Makam Sultan Syarif Kasyim II
Sultan Syarif Kasyim II Abdul Jalil Saifuddin adalah raja ke-12 di Kerajaan Siak.
Kompek pemakamannya berada di di area Masjid Agung Syahabuddin bagian barat, atau tepat berada di timur bangunan komplek istana.
Disini dimakamkan Sultan Syarif Kasim beserta permaisurinya.
Makam raja Siak ini menggunakan nisan berbahan kayu dan marmer dengan ukiran yang sangat rumit, tetapi terlihat indah.
D. Balai Kerapatan Tinggi
Balai Kerapatan Tinggi atau Balai Rung Sari adalah ‘kantor’ pusat pemerintahan Kerajaan Siak.
Bangunan ini biasa digunakan oleh para Sultan, Dewan Kesultanan Siak serta Kerapatan Tinggi untuk menyelesaikan masalah persidangan dalam rangka menjalankan roda pemerintahan.
Balai Kerapatan Tinggi berada di sebelah barat Masjid Agung Syahabuddin sekitar 50 meter.
E. Mahkota Kerajaan Siak
Mahkota Kerajaan Siak adalah karya pemerintahan raja ke-10 Kerajaan Siak, Sultan Syarif Kasim I Abdul Jalil Saifuddin.
Lapisan emas digunakan sebagai bahan pembuatan mahkota kerajaan ini.
Kemudian dipilih berlian dan mirah terbaik ditaburkan untuk menambah kemewahan mahkota kerajaan yang dihiasi dengan motif filigri.
Saat ini, mahkota Kerajaan Siak yang otentik disimpan di Museum Nasional Gajah, Jakarta.
F. Komet
Komet adalah alat musik menyerupai gramafon berukuran raksasa yang dibuat dari bahan tembaga.
Alat musik ini diproduksi oleh Jerman pada tahun 1886 hingga 1889.
Piringan putar di dalamnya memiliki jari-jari 1 meter.
Musik yang dihasilkan dari komet Kerajaan Siak ini adalah jenis klasik yang merupakan karya Beethoven dan Mozart.
Beritanya, alat musik komet hanya ada dua yaitu di Kerajaan Siak dan satu lagi ada di negara Jerman.
G. Senjata Perang
Senjata perang merupakan salah satu properti wajib bagi setiap pemegang kekusaan untuk menghadapi serangan musuh.
Beberapa senjata perang peninggalan Kerajaan Siak yang masih tersimpan antara lain parang, tombak, dan meriam yang diberi nama meriam buntung.
Adanya meriam di peninggalan kerajaan ini membuktikan bahwa pada masa lalu Kerajaan Siak sudah berinteraksi dengan kolonialisme penjajah dari benua Eropa.
H. Alat Makan
Berbagai alat makan yang digunakan di Kerajaan Siak hingga saat ini masih tersimpan rapi di dalam istana.
Barang-barang tersebut meliputi piring, gelas, sendok dan cangkir yang memiliki label dengan lambang Kerajaan Siak berupa naga mengapit perisai berwarna kuning keemasan.
Jejak peninggalan Kerajaan Siak juga menemukan barang-barang berbahan keramik yang menurut bentuk dan motifnya berasal dari Cina dan juga Eropa.
Di dalam istana Kerajaan Siak juga masih disimpan dengan baik tempayan yang digunakan untuk merebus air dan menanak nasi.
I. Mata Uang
Mata uang yang digunakan di lingkungan Kerajaan Siak berbentuk koin dengan bahan pembuatannya adalah emas.
Di salah satu sisi mata uang terdapat tulisan “Negeri Siak” sementara sisi yang lain “satu kupang”.
Hal ini menunjukkan bahwa satuan mata uang yang berlaku adalah kupang.
Selain itu, huruf yang digunakan dalam mata uang Kerajaan Siak adalah aksara Arab Melayu.
Bagaimana?
Luar biasa kan sejarah dari ketangguhan kerajaan Indonesia di tempo dulu?
Kerajaan Siak tetap kokoh menjadi kerajaan bahari terkuat di pesisir Sumatera bersama Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat meski harus bertahan dari tekanan penjajah yang terus merongrong jalannya pemerintahan.