Kerajaan Pajang merupakan salah satu kerajaan bercorak islam, yang disebut sebagai terusan Kerajaan Demak.
Pusat kekuasaannya berada di Jawa Tengah, tepatnya di daerah Pajang, kota Surakarta.
Kerajaan Pajang eksis pada tahun 1568 – 1587 M.
Serangan dari Kesultanan Mataram dan kekacauan perebutan kekuasaan secara internal menjadi penyebab runtuhnya kerajaan.
Sejarah Kerajaan Pajang
Babad Banten menyebutkan rentetan kisah dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak akan diakhiri dengan didirikannya Kerajaan Pajang.
Eksistensi Kerajaan Pajang dimulai dari Jaka Tingkir atau Joko Tingkir.
Jaka Tingkir awalnya membaktikan diri pada Kerajaan Demak, lalu diangkat menjadi kepala prajurit dengan penyematan pangkat lurah wiratamtama.
Kecermelangannya membuat terkesan Sultan Trenggana, raja keempat di Kerajaan Demak.
Ia kemudian diambil menjadi menantu dan dinikahkan dengan putri Sultan Trenggana beranama Ratu Mas Cempaka.
Sebagai hadiah, Ia diberikan kekuasaan dan diangkat sebagai bupati Pajang dengan gelar Hadiwijaya.
Setelah Sultan Trenggana wafat tahun 1546 M, kekacauan politik terjadi di Kerajaan Demak.
Saat itu, Sunan Prawoto berhasil naik takhta sebagai sultan di Kerajaan Demak.
Tetapi pada tahun 1549 M ia dibunuh oleh sepupunya yang beranama Arya Penangsang.
Arya Penangsang pun berniat membunuh Hadiwijaya.
Namun, aksi ini berhasil digagalkan oleh pengikut setia Hadiwijaya dan dukungan penuh dari Ratu Kalinyamat, putri Sultan Trenggana yang menguasai daerah Jepara.
Hadiwijaya kemudian berbalik menyerang Arya Penangsang dengan bantuan Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi.
Arya Penangsang gugur dalam pertempuran.
Hadiwijaya menyerahkan kekuasaan wilayah Pati ke Ki Penjawi dan kawasan hutan Mentoak (lokasi berdirinya Kerjaan Mataram islam) ke Ki Ageng Pemanahan sebagai imbalan jasa.
Untuk meredam gejolak politik, pusat kekuasaan Demak dipindahkan ke Pajang.
Pemindahan ibukota kekuasaan ini dilakukan pada tahun 1568 M dan ditandai sebagai tahun berdirinya Kerajaan Pajang.
Dengan demikian, maka Pajang diakui sebagai Kerajaan Islam berikutnya yang didirikan oleh Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya.
Penobatan Sultan Hadiwijaya sebagai raja pertama Kerajaan Pajang dilakukan oleh Sunan Giri.
Lokasi, Letak Geografis dan Peta Wilayah
Kerajaan Pajang berada di daerah Pajang, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah.
Peninggalan fisik pada bangunan keratonnya berupa fondasi yang terletak di perbatasan antara Kelurahan Pajang di Kota Surakarta dengan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Saat berkuasa, wilayah kekuasaan Kerajaan Pajang Wilayah mencakup Pengging (Boyolali & Klaten); Tingkir (Salatiga); Butuh; Madiun & daerah aliran Sungai Bengawan Solo; Kedu; Blora; Bagelan; Banyumas; Kediri; Surabaya dan Madura.
Kerajaan Pajang berada di area pedalaman pulau Jawa.
Secara geografis, Kerajaan Pajang berada di kawasan dataran rendah yang subur dan strategis karena diapit aliran sungai Pepe dan Sungai Dangke.
Silisilah Raja
A. Jaka Tingkir (1568 – 1583 M)
Jaka Tingkir merupakan Raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan Pajang.
Ketika kecil Jaka Tingkir memiliki nama timur Mas Krebet.
Jaka Tingkir adalah cucu seorang Walisongo bernama Sunan Kalijaga.
Jaka Tingkir dibesarkan di daerah asalnya di Pengging, kawasan Lereng Gunung Merapi.
Pemberontakan Arya Panangsang di Kerajaan Demak membuat Jaka Tingkir memiliki kekuasaan untuk mendirikan kekuasaan islam baru di pedalaman jawa, tepatnya di Kawasan Surakarta, Jawa Tengah bernama Kerajaan Pajang.
Jaka Tingkir mendapat gelar Sultan Hadiwijaya atau di beberapa referensi disebut sebagai Sultan Adiwijaya.
Di bawah kekuasaanya, Kerajaan Pajang mengalami kemajuan yang pesat dan mencapai masa kejayaan yang ditandai dengan keberhasilannya melebarkan daerah kekuasaan bahkan sampai ke Jawa Timur.
Sultan Hadiwijaya juga berhasil mendapat pengakuan oleh para adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur melalui pertemuan di Giri Kedaton yang dimediatori Sunan Prepen tahun 1581 M.
Bahkan, Sultan Hadiwijaya melakukan pernikahan politik antara putrinya dengan Panembahan Lemah Duwur yang berasal dari Arosbaya atau Madura Barat.
Penyebarluasan islam pada masa kekuasaan Sultan Hadiwijaya ini dibantu oleh Syekh Siti Jenar untuk daerah pedalaman jawa dan Sultan Tembayat yang bersyiar di daerah Jawa bagian selatan.
Media penyebaran agama islam di wilayah kekuasaannya menggunakan kesenian dan kesusastraan.
Salah satunya adalah sajak monolistik Jawa berjudul serat Nitti Sruti.
Sultan Hadiwijaya meninggal dunia dalam perjalanan pulang setelah berperang melawan Sutawijaya dari Kerajaan Mataram pada tahun 1982 M.
B. Arya Pangiri (1583 M – 1586 M)
Arya Pangiri adalah raja kedua Kerajaan Pajang bergelar sultan Ngawantipura.
Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya.
Arya Pangiri juga merupakan putra dari Sunan Prawoto, raja keempat dari kerajaan Demak.
Awalnya, Arya Pangiri menjabat bupati Demak.
Kemudian ia mengambil tampuk kepemimpinan Kerajaan Pajang sepeninggalan Sultan Hadiwijaya, dan mendapatkan gelar Sultan Ngawantipura.
Raja Pajang kedua harusnya diduduki oleh Pangeran Benawa sebagai putra mahkota.
Namun ia disingkirkan oleh Arya Pangiri yang didukung oleh Panembahan Kudus.
Perebutan kekuasaan ini dikarenakan Pangeran Benawa dianggap terlalu muda untuk berdaulat menjadi raja.
Pangeran Benawa kemudian bertolak menjadi bupati di wilayah Jipang Panolan yang kosong kepemimpinannya akibat gugurnya Arya Penangsang.
Namun, selama masa kepemimpinannya Arya Pangiri tidak menjalankan perannya dengan baik sebagai Sultan di Kerajaan Pajang.
Arya Pangiri hanya berfokus untuk menjatuhkan Kerajaan Mataram yang dipimpin Sutawijaya.
Ia membangun kekuatan dengan mendatangkan orang-orang dari Demak dan mencari pasukan bayaran dari Bugis, Makasar dan Bali.
Kondisi ini membuat Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya dari Kerajaan Mataram untuk menurunkan kekuasaan Arya Pangiri.
Perang pecah pada tahun 1586 M dan Arya Pangiri berhasil dipukul mundur kembali ke Demak.
C. Pangeran Benawa (1586 – 1587 M)
Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja ketiga Kerajaan Pajang menggantikan Arya Pangiri dan diberikan gelar Sultan Prabuwijaya.
Sebenarnya Pangeran Benawa berinisiatif menyerahkan Pajang ke Sutawijaya sebagai bentuk balas budi.
Namun hal itu ditolak oleh Sutawijaya yang hanya meminta perhiasan emas sebagai bayaran.
Pada beberapa naskah babad, Pangeran Benawa diberitakan meninggal dunia pada tahun 1587 M.
Namun di versi lain disebutkan Pangeran Benawa meletakkan kepemimpinannya karena mengabdikan diri sebagai ulama di kawasan Gunung Kulakan.
Dan di sumber berbeda dipaparkan bahwa Pangeran Benawa meninggalkan Pajang karena membangun daerah kekuasaan di Pemalang.
Setelah berakhirnya kepemimpinan Pangeran Benawa, tidak ada lagi pemimpin yang cakap untuk menggantikannya.
Akhirnya Kerajaan Pajang diambil alih oleh Kerajaan Mataram dan dipimpin oleh Gagak Bening sebagai adik Sutawijaya, penguasa Mataram saat itu.
Kehidupan di Kerajaan Pajang
A. Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Pajang memiliki sumber perekonomian di bidang pertanian, sehingga dikenal sebagai kerajaan agraris.
Hal ini didukung dengan wilayahnya yang subur akibat berada di daerah pertemuan aliran sungai Pepe dan Dengkeng.
Pada abad 16 M sampai 17 M, Kerajaan Pajang menjadi lumbung beras dan mengekspor hasil pertaniannya ke luar daerah.
Proses distribusi beras dari Kerajaan Pajang ke daerah lain memanfaatkan aliran Sungai Bengawan Solo.
Selain beras, komiditi pertanian di Kerajaan Pajang adalah tanaman kapas yang banyak tumbuh di kawasan Pedan, Juwiring, Gawok dan juga kawasan yang saat ini disebut Laweyan.
Nama Laweyan sendiri berasal dari kata Lawe yang merupakan sebutan untuk kain hasil tenunan kapas dari daerah ini.
Industri benang, kain tenun, batik dan kain mori kemudian berkembang menajdi salah satu roda penggerak perekonomian Kerajaan Pajang.
Dalam beberapa sumber, sistem jual beli di Kerajaan Pajang sudah menggunakan uang sebagai alat tukar.
B. Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial & budaya Kerajaan Pajang terlihat dari akulturasi budaya jawa setempat dengan islam.
Kejawen, Grebeg Syawal, Pesta Angka Wiyu, serta Grebeg Maulud merupakan bentuk budaya baru yang muncul selama kekuasaan Kerajaan Pajang.
Perubahan budaya juga terlihat dari proses perhitungan pertanggalan yang awalnya mengacu pada peredaran matahari berubah menjadi rotasi bulan.
Di lingkungan keraton Pajang, kalangan bangsawan diajarkan adat walon melalui pendidikan karakter yang disebut kasutapan.
Yakni aturan bertata krama yang mulai diajarkan sejak dini.
Meliputi aturan kegiatan sehari-hari seperti cara berinteraksi dengan keluarga, orang yang lebih tua, dan tetangga.
Adat walon juga mengatur cara makan dan berpakaian anggota istana.
C. Kehidupan Agama
Pemindahan kekuasaan Kerajaan Demak ke Pajang awalnya mendapat kritik tajam dari Dewan Wali Sangan terutama Sunan Kudus.
Ketidaksetujuan ini berdasarkan aliran kepercayaan yang berkembang di daerah pedalaman tidak sesuai dengan ajaran di Kerajaan Demak.
Namun Sultan Hadiwijaya tetap memindahkan pusat kekuasaan ke Pajang.
Akibatnya, syiar agama islam yang dilakukan di Jawa mengalami perubahan besar ketika Kerajaan Pajang mulai eksis.
Ulama yang berperan besar di Kerajaan Pajang adalah Syeikh Siti Jenar.
Oleh karenanya ajaran makrifat dan kejawen kembali berkembang pesat di daerah kekuasaan Kerajaan Pajang.
Hal ini membuat ajaran syariat yang awalnya sangat diutamakan di Kerajaan Demak menjadi dikesampingkan.
Syeikh Siti Jenar menuliskan ajaran islamnya dalam bentuk primbon dan suluk.
Masyarakat Kerajaan Pajang menerima ajaran ini dengan tangan terbuka karena ajarannya tidak terlalu melenceng dari tradisi Hindu yang sudah dianut sebelumnya.
D. Kehidupan Politik
Kehidupan politik di Kerajaan Pajang menggunakan sistem pemerintahan yang berlaku pada zaman itu.
Raja atau Sultan yang memegang kepemimpinan mempunyai kekuasaan yang absolut.
Takhta kerajaan diturunkan ke putra mahkota kerajaan dari permaisuri, atau jika tidak ada diambil putra tertua dengan selir.
Namun, karena terjadi perebutan kekuasaan, maka raja kedua yang memerintah Kerajaan Pajang jatuh ke menantu raja pertama, Sultan Hadiwijaya.
Selanjutnya, tampuk kekuasaan baru kembali ke putra mahkota, Pangeran Benawa, setelah Arya Pangiri sebagai raja kedua berhasil diturunkan dari takhtanya.
Berbeda dengan saat Kerajaan Demak berkuasa, pada masa kekuasaan Kerajaan Pajang peran Wali Sanga tentang politik kerajaan meredup.
Hal ini disebabkan pengajuan Sultan Hadiwijaya untuk tidak melanjutkan lembaga Dewan Wali.
Sultan Hadwijaya lebih menyukai politik akomodatif yang merangkul semua golongan dan berniat menyatukan Jawa di bawah kepemimpinan Pajang.
Masa Kejayaan
Masa kejayaan Kerajaan Pajang dicapai pada masa pemerintahan raja pertamanya, Sultan Hadiwjaya.
Keemasan kerajaan salah satunya dibuktikan dengan keberhasilan politik ekspansi.
Tahun 1554 M, Kerajaan Pajang mampu mengambil alih Blora sebagai daerah kekuasaan.
Disusul pada tahun 1577 M, Kediri berhasil dikuasai oleh Kerajaan Pajang.
Bukti kejayaan Kerajaan Pajang lainnya juga dilihat dari aspek kegiatan ekonomi masyarakatnya.
Produksi beras dari Kerajaan Pajang mampu mensuplai daerah di luar kerajaan yang diedarkan melalui Sungai Bengawan Solo.
Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakatnya menjadi makmur dan kuat.
Di samping itu, kesustraan dan kesenian juga berkembang pesat sebagai media penyebaran agama islam.
Oleh karenanya, Kerajaan Pajang mempunyai peran besar dalam mengembangkan ajaran islam di pedalaman jawa bahkan sampai ke jawa bagian selatan.
Runtuhnya Kerajaan
Runtuhnya Kerajaan Pajang dimulai dari adanya perebutan kekuasaan antara Pangeran Benawa dan Arya Pangiri, setelah meninggalnya Sultan Hadiwijaya.
Keadaan kerajaan kemudian mulai goyah karena selama kepemimpinan Arya Pangiri tidak berlaku bijaksana.
Ia hanya mementingkan tujuannya membalas dendam ke Sutawijaya atas penghianatan Kerajaan Mataram ke Kerajaan Pajang pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya.
Kekacauan ini kemudian membuat Pangeran Benawa berkoalisi dengan Sutawijaya, yang akhirnya Kerajaan Mataram kembali menyerang Kerajaan Pajang.
Setelah kepergian Pangeran Benawa pada tahun 1587 M, Kerajaan Pajang diambil alih dan menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram.
Sumber Sejarah
1. Kitab Nagarakretagama
Nama Pajang sudah pernah diangkat di dalam Kitab Nagarakretagama (1365).
Pajang dikisahkan sebagai daerah kekuasaan Majapahit dengan penguasanya adalah adik perempuan Raja Hayam Wuruk bernama Dyah Nertaja.
Sebagai penguasa Pajang, Dyah Nertaja memiliki gelar Bhre Pajang sebagai singkatan dari Bhatara i Pajang.
2. Naskah Babad Banten
Di dalam Babad Banten disebutkan mulanya Retno Ayu Pembayun, putri Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit diculik oleh Raja Blambangan bernama Menak Daliputih.
Penculikan ini berhasil diselamatkan oleh Jaka Sengara.
Sebagai imbalan, sang raja menobatkan Jaka Sengara sebagai bupati Pengging dan menikahkan ia dengan putrinya.
Jaka Sengara diberikan gelar Andayaningrat.
Namun saat perang Majapahit dan Demak meletus, Andayaningrat terbunuh oleh Sunan Ngudung.
Pemerintahan kemudian dipegang oleh putranya, Raden Kebo Kenanga, dengan gelar Ki Ageng Pengging.
Karena kehancuran Majapahit, daerah Pengging kemudian berubah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Demak.
Akan tetapi Ki Ageng Pengging dijatuhi hukuman mati sebab dituduh menjadi pemberontak di Kerajaan Demak.
Putranya yang bernama Jaka Tingkir kemudian justru mengabdikan diri ke Demak dan kelak menjadi pendiri Kerajaan Pajang bercorak islam.
Peninggalan
1. Masjid Laweyan
Masjid Laweyan merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Pajang yang berada di kawasan Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah.
Masjid Laweyan didirikan tahun 1546 M oleh Ki Ageng Henis, patih di Kerajaan Pajang pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya.
Tujuan awal pembangunan masjid ini adalah untuk tempat beribadah masyarakat yang beragama Hindu dan juga Budha.
Sehingga arsitektur bangunan didesain menyesuaikan bentuk persembahyangan Hindu-Budha.
Namun karena Ki Ageng Henis menjadi mualaf, maka bangunan dialih fungsikan menjadi masjid pertama dan tertua di Surakarta.
2. Bandar Kabanaran
Bandar (pelabuhan) Kabanaran dibangun instalasinya di tepi Sungai Jenes, di sebelah timur Masjid Laweyan.
Pembangunan bandar ini untuk memudahkan arus lalu lintas dagang sekaligus mendukung roda perekonomian di Kerajaan Pajang.
Bandar Kabanaran ramai dikunjungi oleh pedagang yang mendistribusikan dagangannya menggunakan perahu.
Dari Bandar Kabanaran, perahu – perahu itu akan menuju Bandari Nusupan yang berada di tepi Bengawan Solo, kemudian diangkut ke Bandar Gresik yang lebih besar.
Saat ini situs Bandar Kabanaran berada di Kampung Kidul Pasar, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah.
Komoditas dagang yang biasa diangkut melalui Bandar Kabanaran adalah kain tenun dan kain mori.
3. Makam Para Bangsawan Pajang
Makam para bangsawan Pajang terletak di kawasan Masjid Laweyan.
Bangunannya merupakan kompleks yang terdiri dari sekitar 20 makam.
Bangsawan Kerajaan Pajang yang dimakamkan disini adalah Kyai Ageng Henis.
Berkembangnya waktu kemudian di tempat ini pula dimakamkan Susuhunan Pakubuwono dan Permaisuri; Pangeran WIdjil I Kadilangu; Nyai Ageng Pati; dan Kyai Ageng Proboyekso, dll.
Di area kompleks makam terdapat Pohon Ngasari yang merupakan pohon langka yang sudah berusia ratusan tahun.
Konon, pohon ini merupakan jelmaan naga yang menjaga makam.
4. Makam Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya)
Makam Sultan Hadiwjaya, raja pertama Kerajaan Pajang, berada di daerah Butuh, Gedongan, Sragen, Jawa Tengah.
Komplek pemakamannya dikenal dengan nama makam Butuh.
Lokasinya tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum, sehingga sedikit peziarah yang berkunjung.
5. Pasar Laweyan
Pasar Laweyan merupakan salah satu sentra penjualan batik di Indonesia.
Laweyan disebut sebagai daerah transmigrasi masyarakat dari Desa Nusupan karena adanya banjir bandang akibat meluapnya Bengawan Solo.
Bandar besar Nusupan yang berperan penting sebagai pelabuhan transit pada masa kerajaan Pajang, tetap dijalankan fungsinya meskipun warga berpindah ke Laweyan.
Untuk mempermudah transportasi, kemudian dibangun bandar baru di Laweyan bernama Bandar Kabanaran.
Oleh karena itu, sebagai pusat perdagangan pasar Laweyan dibangun tidak jauh dari lokasi Bandar Kabanaran untuk memudahkan trasnportasi.
Kemampuan membatik warga Laweyan diajarkan oleh Ki Ageng Henis dari Kerajaan Pajang yang mulai bermukim di daerah ini sejak 1546 M untuk melakukan syiar agama islam.
“Rum kuncaraning bangsa dumunung haneng luhuring budaya” (tingginya derajat suatu bangsa terletak pada budayanya)
Dengan demikian, semoga ulasan tentang Kerajaan Pajang di atas semoga semakin memperkaya wawasan keilmuan kita.
Lebih penting daripada itu, sejarah dan lika liku kehidupan di masa lalu ini semoga bisa ditarik sebagai pelajaran untuk hidup yang lebih baik.
Termasuk awal mula batik di Laweyan yang saat ini pamornya sudah mendunia.