Jawa Barat merupakan salah satu wilayah atau daerah di Indonesia yang memiliki sejarah panjang kerajaan nusantara.
Salah satu kerajaan yang paling dikenal berdiri di wilayah ini adalah Kerajaan Pajajaran.
Berikut beberapa fakta sejarah tentang Kerajaan Pajajaran beserta penjelasannya.
Sejarah Kerajaan Pajajaran
Keberadaan Kerajaan Pajajaran bermula dari dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda yang dimpimpin oleh Raja Susuktunggal dan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Raja Dewa Niskala.
Kedua kerajaan tersebut terikat oleh sebuah ikatan pernikahan yang terjalin antara putra raja Dewa Niskala dan putri dari Raja Susuktunggal.
Pada masa yang sama Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Kertabumi (Brawijaya V) sedang mengalami masa keruntuhan.
Tidak hanya pemberontakan, mereka juga menghadapi perebutan kekuasaan yang terjadi di internal kerajaan Majapahit.
Situasi tersebut akhirnya memaksa penduduk Majapahit mengungsi ke Kerajaan Galuh.
Termasuk keluarga salah satu kerabat Raja Brawijaya IV, Raden Baribin.
Setelah mereka sampai di Kerajaan Galuh, rombongan pengungsi termasuk keluarga Raden Baribin disambut dengan hangat oleh Raja Dewa Niskala.
Tidak disangka, Raja Dewa Niskala memutuskan menikah dengan salah seorang keluarga dari rombongan pengungsi.
Bahkan, ia juga menikahkan salah satu putrinya dengan Raden Baribin.
Namun, pernikahan ini mendapat pertentangan dari Raja Susuktunggal.
Ia menganggap bahwa Kerajaan Galuh sudah melanggar aturan yang sudah disepakati sejak Peristiwa Bubat, yaitu larangan bagi orang-orang dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda untuk menikah dengan keturunan Kerajaan Majapahit.
Pada akhirnya, pernikahan ini pun menimbulkan perselisihan antara dua kerajaan tersebut.
Sebelum peperangan antar kedua kerajaan meletus, dewan penasihat dari kedua kerajaan melakukan perundingan.
Perundingan tersebut menghasilkan keputusan bahwa kedua raja yang berselisih harus mundur dari tahtanya dan memilih seorang pengganti untuk memimpin Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda.
Kedua raya yang berselisih tersebut memlih Jayadewata untuk mempersatukan dan memimpin kedua kerajaan.
Setelah Jayadewata terpilih menjadi raja, ia memperoleh gelar Sri Baduga Maharaja, yang kemudian ia lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Kedua kerajaan tersebut pun akhirnya bersatu dan resmi berganti nama menjadi Kerajaan Pakuan Pajajaran pada tahun 1482.
Lokasi, Letak, dan Peta Wilayah
Kata “pakuan” sendiri memiliki arti “kota”.
Sehingga, apabila diterjemahkan, Kerajaan Pakuan Pajajaran dapat diartikan menjadi Kerajaan Kota Pajajaran.
Penamaan ini tidak lepas dari lokasi kerajaan yang terletak di Pajajaran yang kini dikenal sebagai Kota Bogor.
Menurut Tom Peres dalam tulisannya yang berjudul The Suma Oriental, Jawa Barat merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Kerajaan Sunda-Galuh ini juga memiliki beberapa batas geografis.
Di sisi Barat berbatasan dengan Selat Sunda, bagian Utara berbatasan dengan Laut Utara Jawa Barat, sisi Timur berbatasan dengan Sungai Cipamali (Pamali), dan bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
Silsilah Raja
Semenjak bersatu pada sekitar abad ke-15, Kerajaan Pajajaran telah dipimpin oleh beberapa Raja.
Berikut daftar dan penjelasan singkat raja-raja yang sudah pernah memerintah di Kerajaan Pakuan Pajajaran.
1. Sri Baduga Maharaja (1482-1521)
Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi merupakan anak dari Raja Dewa Niskala.
Nama Siliwangi sendiri berasal dari dua suku kata, yaitu “silih” dan “wangi” yang bermakna pengganti Prabu Wangi.
Ia merupakan pemimpin pertama setelah kerajaan Galuh dan Sunda bersatu.
Seperti yang tertulis dalam parasasti Batutulis, ia dinobatkan sebagai raja sebanyak dua kali.
Pertama, yaitu ketika ia menerima tahta dari ayahnya, Dewa Niskala, dan memperoleh gelar Prabu Guru Dewataprana.
Kedua, yaitu ketika ia menerima tahta dari kerajaan Galuh, yang kemudian menjadikan ia sebagai pendiri Kerajaan Pajajaran, yang merupakan gabungan dari Kerajaan Galuh dan Sunda.
Di bawah pemerintahannya, kerajaan tidak memperbolehkan memungut bea atau pajak pada penduduk Jayagiri dan Sunda Sumbawa.
Secara spesifik, terdapat empat macam pajak yang dibebaskan, yaitu berupa pajak tenaga perorangan (dasa), pajak tenaga kolektif (calagra), pajak kapas 10 pikul (kapas timbang), dan pajak padi satu gotongan (pare dondang).
Selain itu, Prabu Siliwangi juga terkenal dengan mitos tentang bagaimana ia mampu mengalahkan siluman hari putih yang kemudian menjadi pengikutnya.
2. Surawisesa (1521-1535)
Ia merupakan raja kedua Kerajaan Pajajaran setelah Prabu Siliwangi turun tahta.
Ia menduduki tahta kerajaan setelah Raden Walangsungsang sebagai putra mahkota memutuskan untuk keluar dari kerajaan dan mendirikan Kerajaan Cirebon.
Sebagai seorang Raja Pajajaran, ia ingin memajukan dan mensejahterakan seluruh rakyatnya.
Selama memimpin, Surawisesa tercatat telah menghadapi sebanyak 15 pertempuran.
Sehingga, ia dianggap sebagai pemimpin yang perkasa dan pemberani.
Sayangnya, banyaknya perang yang dihadapi oleh Surawisesa tidak lepas dari wataknya yang selalu menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan segala permasalahan.
Bahkan semenjak ia bertahta, Kerajaan Pajajaran sering berperang dengan Kerajaan Cirebon.
Walaupun pada tahun 1531 kedua kerajaan tersebut sudah bersepakat untuk berdamai dan saling mengakui wilayah satu sama lain.
Meskipun demikian, banyak masyarakat Kerajaan Pajajaran yang merasa kecewa dengan kepemimpinan Surawisesa dan memaksanya untuk turun tahta.
Sudah merasa tidak dibutuhkan lagi, ia kemudian memutuskan untuk turun tahta dan pergi dari Kerajaan Pajajaran.
3. Ratu Dewata (1535-1643)
Berbeda dengan ayahnya yang dikenal sebagai panglima perang dan pemberani, Ratu Dewata dikenal sebagai pemimpin yang alim atau taat dalam beragama.
Beberapa ritual keagamaan seperti sunat dan tapa pwah susu, sebuah kegiatan praktik dimana hanya seseorang hanya boleh mengkonsumsi susu dan buah-buahan, sering dipraktekkan di bawah kepemimpinannya.
Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Pajajaran diserang secara tiba-tiba oleh pasukan Hasanuddin dari Banten.
Sayangnya, karena ia kurang peka dengan kondisi politik pemerintahan yang membuat ia tidak siaga dengan potensi bahaya, Kerajaan Pajajaran hampir tidak selamat.
Beruntung, Ratu Dewata masih didampingi oleh perwira yang pernah mendampingi ayahnya berperang serta keberadaan benteng kokoh yang dibangun oleh Prabu Siliwangi.
Sehingga serangan yang dipimpin oleh Hasanuddin gagal, meski harus ada dua senopati Pajajaran yang harus gugur.
4. Ratu Sakti (1543-1551)
Ratu Sakti atau Kaliyuga merupakan raja keempat Kerajaan Pajajaran yang juga sekaligus raja dengan masa kepemimpinan yang paling singkat.
Apabila dibandingkan dengan Ratu Dewata yang sangat alim, Ratu Sakti memiliki sifat yang gemar berfoya-foya bermabuk-mabukan, gemar menghina orang tua bahkan para pemuka agama.
Di masa kepemimpinannya Kerajaan Pajajaran mengalami masa-masa yang suram karena kepemimpinan yang buruk dari Kaliyuga yang sangat kurang memperhatikan rakyatnya.
Dengan kondisi ekonomi yang buruk, masyarakat di wilayah pedalaman Kerajaan Pajajaran banya yang terpaksa melakukan tindakan maksiat dan membuat situasi kerajaan tidak terkendali.
Selain itu, Ratu Sakti juga mengedepankan kekerasan dan represi untuk menyelesaikan permasalahan, termasuk dalam menghukum masyarakatnya yang melakukan kesalahan.
Harta benda masyarakat pun banyak yang disita oleh kerajaan dan sistem perpajakan yang berlaku pun sangat tidak menguntungkan rakyat kecil.
5. Ratu Nilakendra (1551-1567)
Ratu Nilakendra atau Tohan Di Majaya memerintah selama 16 tahun.
Namun, meski sudah berganti pemimpin, kondisi Kerajaan Pajajaran justru jauh lebih buruk.
Setelah dilanda kelaparan yang cukup parah saat masa kepemimpinan Kaliyuga, masyarakat Kerajaan Pajajaran juga kembali tidak diperhatikan karena Ratu Nilakendra fokus memperdalam ajaran aliran Tantra.
Daripada memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, ia justru semakin jauh dalam mempercayai aliran Tantra, seperti banyak membangun bangunan kramat dan menarih jimat di sekitar istananya.
Bahkan, Ratu Nilakendra lebih memilih untuk membuat bendera keramat daripada melakukan peremajaan terhadap sistem persenjataan untuk meningkatkan pertahanan kerajaan.
Alhasil, saat Kerajaan Pajajaran berperang dengan Kerajaan Banten, mereka selalu mengalami kekalahan dan ibu kota kerajaan berhasil direbut.
Setelah secara “de jure” Kerajaan Pajajaran runtuh, Ratu Kendra pun memutuskan melarikan diri dan ia wafat pada tahun 1567 dalam pelariannya.
6. Raga Mulya (1567-1579)
Raga Mulya atau Prabu Suryakencana adalah raja terakhir Pajajaran yang memerintah selama 12 tahun.
Ia naik tahta ketika Kerajaan Pajajaran sudah tidak berada di Pakuan.
Hal ini terjadi karena kerajaan telah berpindah dari daerah pakuan Bogor dipindah ke daerah Pandai Gelang (Suryakencana).
Lebih tepatnya yaitu di wilayah Kaduhejo, Kecamatan Menes, lereng Gunung Pulasari, Pandeglang.
Di bawah kekuasaanya, Raga Mulya membuka pemukiman penduduk baru di daerah Cisolok dan Bayah.
Ia pun juga menyerahkan beberapa pusaka milik Kerajaan Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulum yang memerintah Kerajaan Sumedanglarang melalui empat panglimanya.
Namun, keempat panglima itu berkhianat dan justru bergabung dengan Prabu Geusan Ulum.
Pada akhirnya, Kerajaan Pajajaran pun benar-benar runtuh di masa kepemimpinan Raga Mulya setelah Panembahan Yusuf dari Kesultanan Banten melakukan aksi penyerangan.
Kehidupan Kerajaan Pajajaran
Terdapat empat aspek kehidupan yang dapat dilihat dari masyarakat Kerajaan Pajajaran, yaitu:
1. Kehidupan politik
Masih sedikit sumber sejarah yang bisa menjelaskan secara detail atau lengkap mengenai gambaran kehidupan politik Kerajaan Pajajaran.
Sejauh ini, kehidupan politik yang bisa digambarkan adanya perpindahan pusat pemerintahan dan pergantian tahta raja.
Secara urut, pusta kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, serta Pakwan Pajajaran.
2. Kehidupan ekonomi
Secara umum, masyarakat Kerajaan Pajajaran sangat menggantungkan hasil pertanian dan kebun.
Beberapa hasil bumi yang biasa mereka hasilkan yaitu beras, sayuran, buah-buahan, serta lada.
Selain menjadi petani, masyarakat setempat juga memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan menjadi pedagang.
Hal ini diperkuat dengan keberadaan enam pelabuhan penting yang mengelilingi kerajaan, yaitu Pontang, Cigede, Tamgara, Banten, Sunda Kelapa, dan Cimanuk.
3. Kehidupan sosial
Masyarakat Pajajaran dapat terbagi menjadi beberapa golongan.
Diantaranya adalah golongan seniman (penari, pemusik, badut), golongan pedagang, golongan petani, serta golongan jahat (perampok, pencuri, pembunuh).
4. Kehidupan budaya
Budaya masyarakat Kerajaan Pajajaran, baik yang sehari-hari maupun ritual, sangat dipengaruhi oleh agama Hindu.
Sehingga Kerajaan Pajajaran bisa disebut dengan kerajaan bercorak Hindu.
Beberapa peninggalannya adalah kerajinan batik, beberapa prasasti, Kitab Cerita Parahyangan, dan Kitab Sangyang Siksakanda.
Masa Kejayaan
Meskipun sudah berganti pemimpin sebanyak enam kali, Kerajaan Pajajaran justru memperoleh puncak kejayaannya ketika dipimpin oleh raja pertama mereka, Prabu Siliwangi.
Berikut penjelasan lengkapnya:
1. Infrastruktur
Di bidang infrastruktur, Prabu Siliwangi telah berhasil membangun Telaga Maharena Wijaya.
Telaga ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Pajajaran, khususnya mereka yang bermata pencaharian sebagai petani.
Selain itu, ia juga membangun jalan menuju Pakuan dan Wanagiri.
2. Militer
Di bidang militer, Prabu Siliwangi berhasil membentuk angkatan perang yang kuat.
Ia juga membangun asrama dengan fasilitas yang sangat lengkap, pagelaran, kaputren, serta memperkuat benteng pertahanan.
3. Keagamaan
Dalam keagamaan, Prabu Siliwangi mewujudkan kepeduliannya dengan mendirikan desa khusus untuk para pemuka agama.
Tujuannya yaitu agar kehidupan beragama di Kerajaan Pajajaran dapat terus berjalan dan lebih terjamin.
4. Pemerintahan
Di bidang pemerintahan, Kerajaan Pajajaran sudah mampu membuat peraturan atau undang-undang untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Di samping itu, Prabu Siliwangi juga mengatur sistem pajak atau mengatur upeti yang akan diserahkan ke kerajaan.
Penyebab Keruntuhan
Penyebab runtuhnya Kerajaan Pajajaran diakibatkan oleh serangan dari Maulana Yusuf yang berasal dari Kesultanan Banten pada tahun 1570.
Keruntuhan Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgasana raja) dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan oleh Maulana Yusuf.
Tindakan ini ditujukan sebagai tradisi politk agar tidak ada lagi yang diangkat menjadi raja di Pakuan Pajajaran.
Sumber Sejarah
Terdapat peninggalan Kerajaan Pajajaran yang ditemukan dalam bentuk prasasti.
Selain sebagai sumber sejarah, prasasti ini juga menunjukkan kemajuan kerajaan Pajajaran.
Berikut beberapa contoh prasastinya:
1. Prasasti Cikapundung
Prasasti ini ditemukan pada tanggal tahun 1884 di kawasan perkebunan kina di Cikapundung-Ujungberung.
Di permukaan prasasti ini ditemukan gambar telapak tangan, telapak kaki, serta wajah.
Ditemukan pula sebuah tulisan yang apabila diartikan berbunyi: semua manusia di dunia dapat mengalami kejadian apapun.
2. Prasasti Huludayeuh
Prasasti Huludayeuh ditemukan di kawasan persawahan Desa Cikahalang, Kecamatan Dukupuntang, Cirebon.
Saat ditemukan oleh peneliti dan arkeolog pada tahun 1991, kondisi prasasti ini sudah tidak utuh lagi dan terdapat bagian yang sudah rusak.
Sehingga, ada beberapa tulisan di permukaannya yang hilang dan menjadikannya tidak terbaca.
Namun secara garis besar, isi prasasti ini bercerita tentang usaha Sri Maharaja Ratu Haji untuk membuat rakyat kerajaan sejahtera.
3. Prasasti Pasir Datar
Prasasti yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta ini ditemukan di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi tahun 1872.
Sayangnya prasasti ini masih belum berhasil ditranskripsikan, sehingga belum diketahui pesannya.
4. Prasasti Perjanjian Sunda Portugis
Prasasti berbentuk tugu ini menjadi bagian dari simbol atau lambang perjanjian antara Kerajaan Portugis dengan Kerajaan Sunda.
Sumber sejarah yang ditemukan di Jakarta pada tahun 1918 ini dibuat oleh utusan dagang Kerajaan Portugis di Malaka yang membawa logistik atau barang untuk diserahkan kepada Surawisesa.
5. Prasasti Ulubelu
Prasasti ini ditemukan pada tahun 1936 di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Lampung, Sumatera Selatan.
Prasasti yang diyakini ditulis menggunakan aksara Sunda kuno ini berisi mantra untuk meminta pertolongan kepada Dewa Wisnu, Siwa, Brahma, serta dewa penguasa tanah, air, dan pohon agar terus diberikan keselamatan.
6. Prasasti Kebon Kopi II
Prasasti ini merupakan peninggalan Kerajaan Sunda Galuh dan ditemukan pada abad ke-19 di Kampung Pasir Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Bogor, Jawa Barat.
Prasasti yang diyakini dibuat pada 932 Masehi ini bercerita tentang prestasi yang telah diperoleh seorang raja yang memerintah Kerajaan Pajajaran.
7. Prasasti Batu Tulis
Pembacaan isi prasasti ini dilakukan pertama kali oleh Friederich pada tahun 1853.
Namun prasasti ini baru bisa dibaca beberapa tahun kemudian oleh seorang peneliti bernama Cornelis Marinus Pleyte.
Prasasti tersebut berisikan penjelasan mengenai kampung Batu Tulis yang di masa Kerajaan Pajajaran berkuasa dijadikan sebagai tempat Puri.
Di samping itu, sumber sejarah ini juga berisikan tentang pembagian wilayah Pajajaran dan pemindahan pusat pemerintahan dari Pakuan ke Pandeglang.
8. Prasasti Astana Gede
Prasasti ini merupakan peninggalan dari masa Kerajaan Galuh pada abad ke-14 Masehi dan merujuk kepada beberapa prasasti yang ditemukan di wilayah Kabuyutan Kawali, Ciamis, Jawa Barat.
Diyakini bahwa keberadaan prasasti ini adalah sebagai simbol kejayaan Prabu Niskala Watu Kancana.
Peninggalan
Berikut penjelasan singkat beberapa peninggalan Kerajaan Pajajaran selain prasasti yang masih bisa ditemui:
1. Komplek Makan Keramat
Makam ini adalah tempat dimana istri kedua Prabu Siliwangi, Ratu Galuh Mangkualam dikebumikan.
Lokasi komplek makan ini tepatnya di Kebun Raya Bogor, Desa Peledang, Bogor, Jawa Barat.
Di komplek yang sama juga dapat ditemukan tempat pemakaman panglima perang sekaligus pendiri Desa Peledang, Mbah Jepra, serta gubernur Prabu Siliwangi, Mbah Baul.
2. Sumur Jalatunda
Sumur ini terletak di Gang Jambekuina dan merupakan mata air dangkal yang konon tidak pernah kering meskipun di musim kemarau sekalipun.
Pada saat banyak masyarakat yang memegang kepercayaan Sunda Wiwitan, situs ini sering digunakan sebagai tempat semedi banyak orang.
Selain itu, air dari sumur ini sering digunakan untuk ritual kasepuhan karena masih dipercaya sebagai salah satu dari tujuh mata air suci yang ada di Kampung Budaya Sindang Barang.
3. Situs Karangkamulyan
Peninggalan Kerajaan Pajajaran yang bercorak Hindu-Buddha ini terletak di daerah Cijeungjing, Ciamis, Jawa Barat.
Di samping dongeng kesaktian dan kehebatan, situs ini pun menceritakan tentang hubungan Ciung Wanara dengan Kerajaan Galuh sebagai seorang pemimpin yang adil dan bijaksana.