Sejarah panjang bangsa Indonesia, salah satunya melewati fase masa kerajaan, baik yang bercorak Hindu-Budha ataupun Islam.
Nah, salah satu yang terkenal ini adalah Kerajaan Kediri, yang diketahui punya kemajuan dalam bidang hukum dan tata negara serta budaya sastra.
Akibat pegelolaan negaranya yang baik, kerajaan ini banyak disebut sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi, tentrem karta raharja.
Nah, seperti apa sih sejarah dan perkembangan Kerajaan Kediri ini?
Berikut adalah ulasan lengkap Kerajaan Kediri yang kami sajikan khusus buat kamu.
Check it out!
Sejarah Kerajaan Kediri
Lahirnya Kerajaan Kediri tak lepas dari sejarah Kerajaan Medang Kamulan.
Kerajaan Kediri merupakan hasil dari perpecahan Kerajaan Medang Kamulan yang dipecah jadi 2 oleh Raja Airlangga.
Airlangga sendiri merupakan Raja Medang Kamulan yang naik tahta tahun 1019 Masehi, dengan kondisi kerajaan yang sedang mengalami penurunan.
Berkat kearifannya, Medang Kamulan pun berhasil dikembalikan situasinya.
Setelah itu, Ibu kota pemerintahan pun dipindah ke daerah Kahuripan dan akhirnya mencapai puncak kejayaan.
Menurut berita yang dimuat dalam Serat Calon Arang, di akhir masa kepemimpinannya, Airlangga memindahkan pusat kerajaan ke Kota Daha.
Sementara setelah itu ia juga ikut mengundurkan diri dari kerajaan untuk menjadi seorang pertapa yang dikenal dengan nama Resi Gentayu.
Penerus tahta kerajaan jatuh ke tangan putrinya yang bernama Sri Sanggramawijaya.
Tapi, karena ia juga ingin jadi seorang pertapa, tahta kerajaan akhirnya diperebutkan oleh kedua putranya, yakni Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
Untuk menghindari perebutan kekuasaan di internal kerajaan, akhirnya Airlangga memecah Medang Kamulan terlebih dahulu menjadi 2 kerajaan, yakni Jenggala dan Panjalu.
Panjalu menjadi wilayah milik Sri Samarawijaya atau Sri Jayawarsa, dengan pusat kota di Daha.
Sementara, Mapanji Garasakan memperoleh wilayah di Kota Kahuripan dengan Kerajaan Jenggala.
Sebenarnya, tidak ditemui secara pasti mengenai pemecahan kerajaan tersebut.
Tapi, berdasarkan Prasasti Babad, disebutkan juga kalau kerajaan dipecah jadi 4 atau 5 bagian.
Dalam waktu-waktu berikutnya, hanya menyisakan 2 kerajaan yang kerap disebutkan, yakni Jenggalan dan Panjalu.
Upaya Airlangga membagi kekuasaan ini pun kelihatannya menemui kegagalan, sebab kedua kerajaan tetap berseteru setelah itu.
Kedua kerajaan terus saling berperang dan saling membunuh satu sama lain.
Lama-kelamaan Kerajaan Panjalu berkembang pesat hingga menjadi kerajaan yang besar, sementara Kerajaan Jenggala kian terpuruk oleh keadaannya.
Akhirnya, pertempuran tersebut dimenangkan oleh Kerajaan Panjalu di bawah komando Prabu Jayabaya.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Panjalu ini kemudian lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri.
Lokasi, Letak Geografis, dan peta Wilayah
Kerajaan Kediri merupakan sebuah kerajaan bercorak Hindu yang berdiri antara tahun 1042 Masehi hingga 1222 Masehi.
Pusat pemerintahannya terletak di Kota Daha, atau yang sekarang menjadi wilayah Kota Kediri.
Sebenarnya, nama Daha berasal dari kata Dahanapura, yang diartikan sebagai Kota Api.
Penaman ini dapat ditemukan dalam Prasasti Pamwatan yang dibuat Raja Airlangga tahun 1042 Masehi.
Sebelum di Daha, pusat kerajaan awalnya berada di Kota Kahuripan.
Hal ini sesuai dengan apa yang terpahat dalam prasasti buatan tahun 1042 Masehi dan Serat Calon Arang.
Silsilah Raja
Kediri, tidak pernah diperintah oleh delapan orang raja dari awal hingga akhir sejarahnya.
Puncak kejayaannya terjadi pada saat Raja Jayabaya memimpin kerajaan.
Nah, dengan sistem pemerintahan monarki, tonggak kekuasaan di Kediri mengalami beberapa kali perpindahan.
Berikut ini adalah raja-raja yang pernah berkuasa di Kediri.
1. Raja Sri Jayawarsa
Raja Jayawarsa mulia memimpin Kediri pada tahun 1104 Masehi.
Semasa berkuasa, ia dianugrahi gelar Sri Maharaja Jayawarsa Digja Sastraprabhu.
Tidak ditemukan bukti pasti kapan Raja Sri Jayawarsa ini naik singgasana, begitu juga kapan turun tahtanya.
Sebab, Prasasti Panumbangan yang dibuat tahun 1120 Masehi hanya menyebutkan upacara pemakamannya saja yang berlokasi di Gajapada.
2. Raja Bameswara
Nama Raja Bameswara banyak disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Tulungagung.
Selain di daerah tersebut, prasasti-prasasti ini ternyata juga banyak terdapat di Kertosono.
Sebagian besar prasasti ini bertema tentang keagamaan, sehingga memudahkan para peneliti dalam menyimpulkan corak pemerintahan Bameswara.
Era kepemimpinannnya terjadi pada tahun 1117-1135 Masehi.
3. Raja Jayabaya
Titik puncak kejayaan Kediri, terjadi pada masa pemerintahan Jayabaya.
Selama memerintah pada tahun 1135-1157 Masehi, banyak golongan cendikiawan yang mendampingi kepemimpinannya.
Misalnya saja ada Mpu Panuluh, Triguna, Sedah, Darmaja, dan Manoguna.
Era kecemerlangan ini bisa dijumpai dalam kitab hukum Kakawih Baratayudha, Hariwangsa, dan Gathotkacasarya.
Strateginya yang terbilang cukup jitu, membuktikan bahwa Jayabaya berhasil membawa rakyatnya ke dalam kesejahteraan dengan tanah yang subur dan hasil panen yang melimpah.
4. Raja Sri Sarweswara
Pada rahun 1159-1161 Masehi, Kerajaan Kediri diperintah oleh Raja Sri Sarweswara.
Beliau dikenal sebagai sosok yang teguh memegang prinsip agama serta budaya, seperti ajaran tat wam asi, yang artinya “Engkaulah itu, engkaulah (seuanya itu), semua makhluk adalah engkau.
5. Raja Sri Aryeswara
Sri Aryeswara disinyalir berkuasa di Kediri pada tahun 1171 Masehi, sesuai informasi sejarah yang terdapat pada Prasasti Angin.
Belum ditemukan bukti pasti, kapan ia naik singgasana, begitu juga kapan berakhirnya.
Pada era kekuasaan Sri Aryewara inilah, simbol kerajaan secara resmi menggunakan lambang Ganesha.
6. Raja Sri Ganda
Berdasarkan penemuan Prasasti Jaring yang dibuat tahun 1181 Masehi, disebutkan kalau Raja Sri Ganda memimpin Kediri di sekitar tahun tersebut.
Lewat informasi prasasti itu juga, diketahui bahwa istilah-istilah penyebutan pejabat tinggi kerajaan memakai nama-nama hewan.
7. Raja Sri Kameswara
Selanjutnya, pada tahun 1182-1185 Masehi, giliran Sri Kameswara yang berkuasa.
Pada era kepemimpinan ini, budaya senin sastra terbilang cukup pesat berkembang.
Sastrawan yang terkenal pada masa ini contohnya adalah Mpu Dharmaja dengan karyanya, Samaradha.
8. Raja Sri Kertajaya
Sri Kertajaya adalah raja terakhir yang memimpin Kerajaan Kediri.
Ia berkuasa selama 32 tahun, yakni pada 1190-1222 Masehi.
Di era kekuasaannya, stabilitas kerajaan mulai menurun karena ia mulai mengurangi hak-hak yang harusnya diberikan pada para brahmana.
Nah, karena merasa kedudukannya sudah tidak aman lagi, para brahmana ini lari ke daerah Tumapel dengan meminta perlindungan Ken Arok.
Berawal dari sinilah tumbangnya kekuasaan Sri Kertajaya dan menjadi akhir bab riwayat Kerajaan Kediri.
Lencana Kerajaan
Pada zaman dahulu, menjadi sebuah kelaziman apabila setiap kerajaan atau raja mempunyai lencana sebagai lambang kekuasaannya.
Setiap lencana memiliki bentuk yang berbeda-beda sebagai representasi sang empunya.
Dalam kisah ini, setidaknya ada 7 macam lencana yang pernah digunakan oleh pemimpin Kerajaan Kediri.
Saat ini, lencana-lencana tersebut disimpan di dalam Museum Airlangga dan tempat-tempat lainnya.
Berikut ketujuh lencana tersebut.
1. Garudha Mukha Lancana
Lencana ini digunakan oleh Sri Maharaja Airlangga.
Di permukaannya terdapat gambar garuda, yang juga ditemui dalam prasasti-prasasti yang dibuat pada era kekuasaannya.
2. Bamecwara Lancana
Lencana ini dipakai oleh Raja Bameswara.
Pada lencana ini, terdapat gambar tengkorak yang menggigit bulan sabit.
3. Jayabhaya Lancana
Selanjutnya, lencana ini digunakan oleh Jayabaya.
Wujudnya berupa manusia berkepala singa, yang menggigit perut Hiranyakasipu, yang merupakan simbol raja raksasa.
Lencana ini bisa dijumpai di Prasasti Hantang, tahun 1135 Masehi.
4. Sarwwecwara Lancana
Lencana ini digunakan pada masa kekuasaan Raja Sarweswara.
Sayangnya, bentuk lencana ini cukup sulit dikenali karena fisiknya yang sudah rusak.
Jika diperhatikan, gambar pada lencana mirip sembilan sayap yang dikelilingi 3 bulatan bergaris.
Di bagian ujung sayap-sayap tersebut juga tergambar jambul lingkaran.
5. Aryyecwara Lancana
Lencana ini bergambar Ganesha yang dipakai pada zaman kekuasaan Raja Aryeswara.
Sementara pada pahatannya, terdapat Prasati Mleri (1169 Masehi) dan Prasasti Angin (1171 Masehi).
6. Kamecwara Lancana
Lencana ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Kameswara.
Pada Prasasti Semanding (1182 Masehi), diketahui terdapat pahatan lencana ini juga.
7. Crngga Lancana
Yang ini digunakan pada era kekuasaan Kertajaya.
Di awal masa pemerintahannya, gambar lencana diisi oleh dua tanduk yang mengapit dua cangka, lalu disambung dengan tulisan “Kertajaya” di atasnya.
Pola ini kemudian berubah jadi tanduk yang menghimpit kotak miring berlipat dan dikelilingi sayap.
Sistem Pemerintahan
1. Kitab Undang-undang
Untuk membuat kitab undang-undang kerajaan, para ahli hukum negara ditunjuk oleh pemerintah untuk bergabung ke dalam Dewan Kapujanggan Istana.
Pada proses penyusunannya, para anggota dewan ini sering mengadakan studi banding ke negeri lain.
Lalu dihasilkanlah kitab undang-undang yang dinamakan Kitab Dharmaparaja, yang isinya berupa tata tertib penyelengaraan pemerintah dan negara.
Di dalamnya juga ada tata kelola hukum pidana dan perdata, walau pada zaman itu belum terperinci secara jelas perbedaan kedua hukum ini.
2. Sistem Peradilan
Hukum peradilan yang berlaku di Kerajaan Kediri punya tujuan untuk mencapai kepastian hukum, sehingga hak dan kewajiban rakyatnya bisa dijamin oleh pemerintah.
Semua pejabat dan rakyat, dituntut untuk tunduk dan menghormati undang-undang yang berlaku.
Semua keputusan pengadilan dikembalikan atas nama raja, yang diistilahkan dengan nama Sang Amawabhumi.
Dua orang Adidarma Dyaksa ditugaskan untuk membatu raja dalam hal peradilan.
Yang pertama, Adidarma Dyaksa Kasiwan bertugas sebagai kepala agama Siwa.
Yang kedua, Adidarma Dyaksa Kabudan ditugaskan bekerja sebagai kepala agama Budha.
Pengelompokan ini terjadi karena memang kedua agama inilah yang dianut oleh masyarakat Kerajaan Kediri dan undang-undang negara didasarkan pada agama.
Kedua Adidarma Dyaksa ini kedudukannya setara dengan Hakim Tinggi dan dibantu oleh 5 orang Upapati atau Pamegat atau Hakim di dalam pengadilan.
Adidarma Dyaksa dan Pamegat ini sama-sama diberi gelar Sang Maharsi.
Lima orang Pamegat ini terdiri dari Tirwan, Maghuri, Kandamuhi, Pamotan, dan Jambi.
Kelima pamegat ini adalah golongan kasiwan, karena agama siwa adalah agama resmi kerajaan.
Pada era kekuasaan Jayabaya, ada penambahan 2 orang Upapati yang berasal dari golongan Kabudan, sehingga formasi nya terdiri dari 5 Upapati Kasiwan dan 2 Upapati Kabudan.
Kedua Upapati Kabudan ini adalah Kandangan Rare dan Kandangan Tuha.
Di bidang peradilan, kerajaan langsung bertanggung jawab kepada raja.
Tapi untuk sengketa di internal keluarga raja, dipakai lembaga peradilan khusus untuk menghindari intervensi terhadap keputusan sidang.
Untuk hal ini, raja mempunyai staff khusus yang sudah dipercaya kapasitas, integritas, dan kredibilitasnya.
3. Hukum Positif Dan Budaya Simbolik
Pada masa kepemimpinan Jayabaya, tata pelaksanaan negara memiliki dua prinsip, yakni dengan menerapkan hukum positif dan budaya simbolik.
Hukum positif berlaku dengan dasar kesepakatan bersama, tertulis, serta bersifat mikro.
Di bidang politik, ekonomi, organisasi, birokrasi, karier, perdagangan dan perkawinan juga diatur hukum positif dalam kerangka tertulis.
Pelanggaran terhadap hukum ini akan diberi sangsi yang tegas berdasarkan hukum yang berlaku.
Tapi, Raja Jayabaya merasa ini saja tidak cukup.
Atas dasar analisa bahwa tidak semua lapisan masyarakat mengerti hukum positif ini dengan baik, khususnya kalangan awam, raja pun meminta diterapkan pendekatan simbolik.
Bagi pelanggarnya, akan diberi sangsi yang tegas berupa hukuman yang dijatuhkan secara ghaib.
Hasilnya pun cukup memuaskan, sebab masyarakat percaya terhadap nasihat-nasihat tersebut dan mau menjauhi larangannya.
Di antara pujangga tersebut adalah Mpu Panuluh dan Mpu Sedah.
Mpu Sedah, selain menulis buku pendekatan simbolik tersebut, juga menghasilkan karya lain yang berjudul Kakawin Bartayudha di tahun 1079 saka, bertepatan dengan 1157 Masehi.
Tapi, sayangnya, sebelum buku ini rampung, ia sudah meninggal lebih dulu.
Akhirya, Kakawin Baratayudha inipun dipersembahkan bagi Prabu Jayabaya, Mapanji Jayabaya, dan Jayabaya Laksana sebagai kenang-kenangan.
Sebenarnya, pendekatan simbolik ini dibuat sebagai strategi untuk memecahkan ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat Kediri, karena tingkat kecerdasan nya pun berbeda.
4. Karya di Bidang Hukum Tata Negara
Pada era kekuasaan Prabu Jayawarsa, perkembangan ilmu hukum dan tata praja mendapat dukungan penuh.
Cendekiawan mendapat biaya dan fasilitas yang cukup memadai untuk menggali idealismenya dalam memikirkan kerbelangsungan kerajaan.
Salah satunya adalah Mpu Triguna dan Mpu Manoguna yang dirangkul Raja Jayawarsa menjadi penasihat kerajaan.
Sesuai ulasan di atas, Mpu Triguna melahirkan Kakawin Kresnayana yang membahas bidang hukum dan tata praja.
Sementara, Mpu Manoguna juga memiliki Kakawin Sumanasantaka.
Isinya membahas tema yang disari dari Kitab Raguwangsa karya pujangga terkenal di India, Sang Kalisada.
Pada era puncaknya, di era kepemimpinan Prabu Jayabaya, Kerajaan Kediri meraih kejayaan khususnya di bidang kehidupan sosial dan tata negara.
Hariwangsa, Gatotkacasraya, dan Kakawih Baratayudha merupakan kitab-kitab yang berisi tentang tata kelola negara.
Selain itu, ada juga Kitab Darmapraja, yang isinya membahas tata kelola penyelenggaraan negara dan pemerintah.
Untuk membahas hukum tata praja, ada judul Kakawih Bomakawya dan Kakawih Smaradahana yang disusun oleh Mpu Dharmaja.
Nah, aturan dan undang-undang yang cukup populer di Kediri antara lain berkaitan dengan 8 kejahatan, 8 penyimpangan administratif, pegadaian, perdagangan, serta hak dan kewajiban rakyat biasa.
Kehidupan di Kerajaan Kediri
1. Kehidupan Politik
Sejarah Kerajaan Kediri tak jauh dari pergolakan perang dan perebutan kekuasaan.
Pada masa kekuasaan Sri Maharaja Samarotsaha, dimulai pertempuran antara Panjalu dan Jenggala.
Perang terus berlanjut sampai era kepemimpinan Raja Bameswara.
Nama Kerajaan Kediri, mulai banyak disebut setelah terjadi perpidahan ibukota dari Daha ke Kediri.
Setelah Bameswara turun tahta, lahirlah sosok Prabu Jayabaya yang kemudian berhasil menaklukkan Kerajaan Jenggala.
Setelah memenangkan perang yang berlangsung puuhan tahun, kondisi kerajaan mulai membaik di bawah kekuasaannya.
2. Kehidupan Ekonomi
Perekonomian Kerajaan Kediri ditopang oleh beberapa sektor, seperti: peternakan, pertanian, dan perdagangan.
Pusat kerajaan yang terletak di Kota Daha, tepatnya di bawah kaki Gunung Kelud, membuat hasil perkebunan dan pertanian melimpah ruah.
Ini tak lepas dari fakta bahwa kawasan tersebut memiliki tanah yang subur akibat erupsi Gunung Kelud.
Hasil utama dari sektor pertanian adalah berupa beras, yang banyak yang diekspor ke Jenggala, dekat Surabaya, dengan transportasi perahu sungai.
Kerajaan Kediri juga merupakan pusat penghasil kapas dan budidaya ulat sutra.
Sementara, dari sektor perdagangan, warga setempat banyak menjual emas, perak, daging, dan kayu cendana.
Dari parameter ini, bisa dikatakan masyarakat setempat sudah hidup makmur dan sejahtera pada masanya.
Sehingga, tak ayal membuat Kerajaan Kediri pun layak menyandang predikat negara yang gemah ripah loh jinawi, tentrem karta raharja.
Tingkat kesejahteraan ini juga bisa diukur dari kebijakan kerajaan untuk memberikan penghasilan tetap kepada para pejabatnya dalam bentuk hasil bumi.
Informasi sejarah ini didapatkan dari catatan sejarah dalam Kitab Ling wai tai ta dan Kitab Chi Fan Chi.
Sebagai bentuk penghasilan kerajaan, diberlakukan pemungutan pajak di seluruh wilayah kekuasaan, antara lain dibayar dalam bentuk beras, palawija, atau kayu.
3. Kehidupan Agama
Agama yang berkembang dan tersebar di Kerajaan Kediri adalah Agama Hindu aliran Waisnawa, yang percaya bahwa Airlangga merupakan titisan Dewa Wisnu.
Di berbagai wilayah terdapat tempat ibadah yang banyak jumlahnya.
Seseorang yang berperan sebagai guru kebatinan memiliki tempat terhormat di kalangan masyarakat, termasuk dari pejabat kerajaan.
Sumber sejarah juga menyebutkan, kalau Prabu Jayabaya merupakan seorang raja yang rajin bersemedi, bertapa, dan tirakat di daerah yang sepi seperti di hutan.
Aktifitas ini sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari, dengan melakukan banyak puasa dan mengurangi waktu tidur selama tirakat.
Dukungan spiritual ini makin ditingkatkan selama era kepemimpinannya demi mendukung keberlangsungan hukum dan pemerintahan.
Sifatnya yang dermawan serta bijaksana, makin menempatkannya menjadi orang yang disanjung di tengah-tengah kehidupan rakyatnya.
Khusus untuk mengatur kehidupan beragama ini, sudah di tata dalam undang-undang khusus.
Berikut adalah isi hukum perundang-undangan tersebut.
- Bab I: Sama Beda Dana Denda, berisi mengenai ketentuan diplomasi, aliansi, konstribusi dan sanksi.
- Bab II: Astadusta, berisi mengenai sanksi delapan kejahatan (penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan pembunuhan)
- Bab III: Kawula, berisi mengenai hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil.
- Bab IV: Astacorah, berisi mengenai delapan macam penyimpangan administrasi kenegaraan.
- Bab V: Sahasa, berisi mengenai sistem pelaksanaan transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa.
- Bab VI: Adol-atuku, berisi mengenai hukum perdagangan.
- Bab VII: Gadai atau Sanda, berisi mengenai tata cara pengelolaan lembaga pegadaian.
- Bab VIII: Utang-apihutang, berisi mengenai aturan pinjam-meminjam
- Bab IX: Titipan, berisi mengenai sistem lumbung dan penyimpanan barang.
- Bab X: Pasok Tukon, berisi mengenai hukum perhelatan.
- Bab XI: Kawarangan, berisi mengenai hukum perkawinan.
- Bab XII: Paradara, berisi mengenai hukum dan sanksi tindak asusila.
- Bab XIII: Drewe kaliliran, berisi mengenai sistem pembagian warisan.
- Bab XIV: Wakparusya, berisi mengenai sanksi penghinaan dan pencemaran nama baik.
- Bab XV: Dendaparusya, berisi mengenai sanksi pelanggaran administrasi
- Bab XVI: Kagelehan, berisi mengenai sanksi kelalaian yang menyebabkan kerugian publik.
- Bab XVII: Atukaran, berisi mengenai sanksi karena menyebarkan permusuhan.
- Bab XVIII: Bumi, berisi mengenai tata cara pungutan pajak
- Bab XX: Dwilatek, berisi mengenai sanksi karena melakukan kebohongan publik.
4. Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan masyarakat Kerajaan Kediri bisa dibilang sangat teratur saat itu.
Dalam kesehariannya, mereka sudah terbiasa memakai kain hingga di bawah lutut serta rambut yang diurai.
Kondisi rumah pun dijaga sebisa mungkin untuk tetap rapi dan bersih.
Dalam hal perkawinan, mempelai perempuan mendapatkan mas kawin berbentuk emas.
Saat sakit pun, orang akan berdo’a mengharap untuk disembuhkan oleh Buddha dan dewa.
Seperti yang tertera dalam Kitab Lubdaka, perhatian raja terhadap rakyatnya cukup tinggi.
Derajat seseorang pun diukur dari tingkah laku dan moralnya dalam keseharian, bukan pada harta dan pangkatnya.
Mereka juga diberi kebebasan untuk beraktifitas apapun selama mereka suka dan tidak melanggar peraturan dan norma-norma kerajaan.
Istimewanya, karya sastra yang lahir di era Kerajaan Kediri ini perkembangannya cukup pesat.
Jumlahnya saja sudah tak terhitung berapa banyaknya, dengan beragai tema yang diangkat.
Misalnya saja, Mpu Sedah diperintahkan untuk mengalih-bahasakan Kitab Bharatayuda menjadi Bahasa Jawa kuno.
Sayangnya perintah ini tidak rampung dikerjakan, karena Mpu Sedah sudah meninggal.
Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh hingga tugas penerjemahan ini selesei.
Dalam Kitab Bharatayuda ini, nama Raja Jayabaya banyak disebutkan sebagai bentuk penghormatan.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis kitab sastra lainnya yang diberi judul Hariwangsa dan Gatotkacasraya.
Kegemilangan budaya sastra ini berlnjut hingga kekuasaan Raja Kameswara.
Di antara karya sastra yang lahir di eranya adalah:
- Kitab Wertasancaya: ditulis oleh Mpu Tan Akung, mengulas tata cara besyair dengan benar.
- Kitab Smaradhahana: digunah oleh Mpu Dharmaja, yang isinya berupa sanjungan untuk raja. Dalam kitab ini pula, diceritakan bahwa ibu kota kerajaan terletak di Dahana. Disebutkan juga jika raja adalah titisan Dewa Kama
- Kitab Lubdaka: ditulis oleh Mpu Tan Akung, isinya mengisahkan Lubdaka, yang seharusnya dijebloskan ke neraka. Tapi karena luar biasanya pemujaan sang pemburu ini, rohnya pun diangkat ke surga oleh dewa.
Tak hanya itu, karya sastra lain yang juga lahir di zaman Kerajaan Kediri adalah:
- Kitab Kresnayana: ditulis oleh Mpu Triguna, berisi cerita tentang anak nakal bernama Kresna, tapi tetap disayangi karena sifatnya yang suka menolong setiap orang dan sakti mandraguna. Pada akhirnya, Kresna menjalin hubungan pernikahan dengan Dewi Rukmini.
- Kitab Samanasantaka: isinya mengisahkan Bidadari Harini, yang ditulis oleh Mpu Managuna.
Bukan hanya pada lembar-lembar kitab, budaya sastra yag hidup pada zaman Kerajaan Kediri ini juga bisa dijumpai pada relief candi.
Seperti relief Candi Jago yang bercerita tentang Krenayana, sekalian juga dengan relief Kunjarakarna dan Parthayajna.
Masa Kejayaan
Puncak keemasan Kerajaan Kediri, terjadi saat Raja Jayabaya berkuasa.
Pada era kepemimpinannya, kekuasaan Kerajaan Kediri meluas sampai hampir ke seluruh penjuru Pulau Jawa.
Pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai ke Sumatra, yang saat itu sedang di bawah kendali Kerajaan Sriwijaya.
Di tangannya pula, Kerajaan Jenggala berhasil ditaklukkan dan disatukan dengan Kerajaan Panjalu jadi Kerajaan Kediri.
Sejarah kemenangan ini bisa ditemui pada Prasasti Ngatan (1135 Masehi).
Fase kegemilangan ini makin diperkuat dengan catatan Chou Ku-fei di tahun 1178 Masehi, seorang kronik Cina, yang menyebutkan Kerajaan Kediri yang kaya raya dan sejahtera di bawah kepemimpinan Raja Jayabaya.
Dengan kewibawaannya, ia berhasil membawa Kerajaan Kediri dalam puncak kejayaan, dengan kondisi kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera.
Cita-cita negara pun terwujud, dengan menjadi negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane.
Tak ayal, rakyat pun merasakan kenikmatan luar biasa dengan keadaan negara yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja yang artinya negara penuh dengan kekayaan alam melimpah, dan kehidupan aman dan sejahtera.
Prabu Jayabaya memiliki konsep kepemimpinan Saptawa pada masa itu, yakni wisma (papan), wastra (sandang), wareg (pangan), waras (kesehatan), wasis ([endidikan), wocaksana (kebijaksanaan), dan waskita (kerohanian).
Selain soal kekuasaan dan kesejahteraan, Kerajaan Kediri pun cukup disanjung karena memiliki budaya satra yang kuat.
Penyebab Keruntuhan
Kemunduran Kerajaan Kediri mulai dialami pada saat Raja Kertajaya memerintah.
Pada tahun 1222 Masehi, terjadi perselisihan antara Prabu Kertajaya dan kaum brahmana.
Saat itu, hak-hak para brahmana mulai dicabut, sehingga menyebabkan keberadaan para brahmana ini sudah tak aman lagi di kerajaan.
Lalu, mereka melarikan diri ke Tumapel dan meminta bantuan Ken Arok.
Mengetahui hal ini, Kertajaya segera mengutus bala tentara untuk menyerbu Tumapel.
Sementara, di lain pihak, Tumapel mendapat dukungan penuh dari para brahmana untuk menyerang balik Kerajaan Kediri.
Akhirnya, kedua pasukan berperang di dekat Genter, Malang dan peperangan dimenangkan pihak Tumapel.
Sayangnya, saat itu Prabu Kertajaya berhasil lari meloloskan diri.
Begitulah akhir riwayat Kerajaan Kediri yang jatuh dalam genggaman Kerajaan Tumapel.
Mulai saat itu, berdirilah Kerajaan Singasari bersama Ken Arok sebagai pendirinya sekaligus raja pertamanya.
Bukti Sejarah
Bukti keberadaan Kerajaan Kediri cukup banyak ditemukan.
Setidaknya ada 16 sumber sejarah, mulai dari candi, prasasti, dan arca yang bisa dipakai sebagai rujukan dalam mendalami sejarah Kerajaan Kediri.
Berikut adalah ulasan lengkap nya.
1. Candi Tondowongso
Situs sejarah di Desa Gayam, Gurah, Kediri ini tergolong dalam penemuan baru, karena keberadaannya baru diketahui pada tahun 2007 silam.
Kawasan candi seluas 1 hektar ini diperkirakan dibuat pada abad ke-9 Masehi dan menjadi penemuan terbesar dalam 30 tahun terakhir perihal peninggalan kerajaan Indonesia.
Penemuan ini dipercaya menjadi bukti sejarah keberadaan Kerajaan Kediri pada masa awal abad ke-11.
Pada fase itu, terjadi perpindahan ibu kota kerajaan, dari wilayah Jawa Tengah, beralih ke kawasan Jawa Timur.
Hal ini bisa diketahui berdasarkan identifikasi bentuk arca dan tatanan lengkapnya.
2. Candi Panataran
Candi yang juga dinamakan Candi Palah ini, lokasinya ada di Lereng Gunung Kelud, Blitar.
Area yang dibangun pada abad ke 12-14 Mashei ini, dulunya dipakai untuk melakukan pemujaan kepada dewa supaya dihindarkan dari bahaya letusan Gunung Kelud.
3. Candi Gurah
Candi ini ditemukan tahun 1957 di Desa Gurah, Kediri dan hanya berjarak 2 km dari Candi Tondowongso.
Karena itulah, ada dugaan kalau kedua candi ini sebenarnya terletak dalam satu komplek.
4. Candi Mirigambar
Candi Mirigambar lokasinya ada di Desa Mirigambar, Sumbergompol, yang dibuat antara tahun 1214-1310 Saka
Seperti candi Jawa pada umumnya, candi ini juga disusun dengan dari batu bata merah.
5. Candi Tuban
Candi ini terletak sekitar 500 meter saja dari lokasi Candi Mirigambar.
Sayangnya, kondisi candi Tuban sudah mengalami kerusakan dan tidak bisa dibangun lagi karena tertimbun tanah.
Situs bersejarah ini ditemukan tahun 1967, tepat sekitar gelombang tragedi 1965 terjadi di Tulungagung.
Saat itu, terjadi aksi penghancuran ikon-ikon budaya dan benda berhala, yang dikenal sebagai Aksi Ikonoklastik.
Candi Mirigambar sendiri selamat dari aksi ini, sebab pejabat setempat tidak memperbolehkan area tersebut dihancurkan, selain juga karena tempatnya yang dikenal angker.
Lalu, Candi Tuban lah yang menjadi target berikutnya, hingga menyisakan bagian kaki candi saja.
Setelah dirusak, candi ini lalu dipendam dan bagian atasnya dijadikan kandang ternak bebek, ayam, dan kambing oleh warga setempat.
Sebetulnya, jika warga mau menggali tanah tersebut sedalam 1 meter saja, diyakini pondasi candi masih bisa ditemukan dalam kondisi yang relatif utuh.
6. Prasasti Kamulan
Prasasti yang terletak di Desa Kamulan, Trenggalek ini dibuat pada tahun 1194 Masehi, pada masa pemerintahan Raja Kertajaya.
Situs bersejarah ini menceritakan adanya serangan kerajaan timur ke Kediri pada tanggal 31 Agustus 1194 Masehi.
7. Prasasti Galuggung
Prasasti ini berada di Desa Rejotangan, Tulungagung dengan besar 160x80x75 centimeter.
Sayangnya, kondis prasasti yang memakai aksara Jawa kuno ini sudah rusak dan beberapa tulisannya sudah lapuk termakan umur sehingga sulit dibaca.
Secara keseluruhan, terdapat 20 baris tulisan yang ada dalam prasasti ini.
Di sisi lain, juga ada tulisan 1123 C.
8. Prasasti Jaring
Isinya menceritakan dikabulkannya permohonan warga Dukuh Jaring, yang tidak dikabulkan oleh raja sebelumnya.
Prasasti ini dibuat di tahun 1181 Masehi.
9. Prasasti Panumbangan
Prasasti ini dibuat pada tanggal 2 Agustus 1120 Masehi, pada masa pemerintahan Maharaja Bameswara.
Isinya menceritakan keputusan raja yang membebaskan pajak untuk warga Panumbangan.
10. Prasasti Talan
Prasasti ini ditemukan di Desa Gurit, Blitar
Situs sejarah yang dibuat pada tahun 1136 Masehi ini bercerita tentang keputusan raja yang membebaskan pajak bagi warga Talun.
11. Prasasti Sirah Keting
Isinya berupa tanda penghargaan bagi rakyatnya yang berjasa kepada Kerajaan Kediri.
Prasasti ini dibuat pada masa kekuasaan Raja Jayawarsa.
12. Prasasti Kertosono
Prasasti yang asalnya dari jaman Raja Kameshwara ini, isinya bercerita tentang problematika agama dan spiritual yang terjadi pada saat itu.
13 Prasasti Nganthang
Prasasti ini menceritakan tentang keputusan raja dalam membebaskan pembayaran pajak bagi warga Nganthang.
Hanya saja, atas permohonan warga, isi prasasti ini kemudian disalin ke atas lembaran daun lontar.
14. Prasasti Padelegan
Prasasti ini bercerita tentang rakyat Padelegan yang setia kepada Raja Prabu Kameshwara.
Kini, prasasti ini jadi koleksi Museum Panatara, Blitar.
15. Prasasti Ceker
Karena warga Desa Ceker berjasa kepada kerajaan, sang raja menghadiahkan prasasti ini kepada mereka.
16. Arca Buddha Vajrasattva
Diperkirakan, arca ini dibuat pada abad ke 10 atau 11 Masehi.
Saat ini, Arca Buddha Vajrasattva menjadi bagian koleksi Museum fur Indische Kunst, Jerman.
Peninggalan
1. Kitab Baratayudha
Kitab ini merupakan karya Mpu Sedah, yang kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh karena Mpu Sedah meninggal terlebih dahulu sebelum kitab ini rampung dikerjakan.
Isinya menceritakan perjuangan Kerajaan Panjalu dalam pertempuran melawan Kerajaan Jenggala, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jayabaya dari Panjalu.
Alur cerita dalam kitab ini, memakai perumpamaan peperangan Pandawa dan Kurawa.
2. Kitab Sumarasantaka
Isinya bercerita tentang seorang bidadari bernama Harini, yang diusir dari kayangan akibat dosa yang ia perbuat.
Kitab ini adalah karya Mpu Monaguna.
3. Kitab Gatotkacaryasa
Kitab ini menceritakan perjuangan Arjuna dalam membebaskan putraya bersama Siti Sudhari, yang bernama Abimanyu.
4. Kitab Smaradhana
Isinya berisi kisah suami istri yang secara misterius lenyap dari muka bumi akibat terkena api dari ata ketiga Dewa Siwa.
Kitab ini disusun oleh Mpu Dharmaja.
5. Kitab Kresnayana
Isinya menceritakan seorang anak yang berhati lembut dan memiliki kesaktian aji mandraguna bernama Kresna.
Kitab ini disusun oleh Mpu Triguna.
6. Kitab Hariwangsa
Kitab ini menceritakan sosok bernama Kresna, yang juga menjadi tokoh dalam Kitab Kresnayana.
Pada kitab ini, Kresna diceritakan menculik Dewi Rukmini pada malam sebelum ia menikah dengan Prabu Bismaka.
7. Kitab Wertasancaya
Kitab ini berisi tata cara membuat syair dengan baik.
Kitab ini adalah karya Mpu Tan Akung.
8. Kitab Lubdaka
Kitab ini juga disusun oleh Mpu Tan Akung.
Isinya menceritakan seorang pemburu yang bernama Lubdaka, yang seharusnya masuk ke neraka.
Tapi karena pemujannya yang sangat setia, akhirnya ia diangkat oleh dewa untuk masuk ke surga.
Itu tadi sejarah lengkap Kerajaan Kediri yang ternyata punya berbagai kisah menarik di dalamnya.
Nah, kalau kamu ada pertanyaan seputar Kerajaan Kediri atau kerajaan di Indonesia lainnya, bisa menuliskan comment di bawah.
Jangan lupa like dan share artikel ini ya, supaya teman-temanmu banyak yang tahu bagaimana serunya sejarah Kerajaan Kediri ini.