Pulau Sumatera menjadi salah satu pusat peradaban di Indonesia pada masa lalu, yang ditandai dengan munculnya banyak kerajaan atau kesultanan.
Di samping itu, mayoritas dari kerajaan-kerajaan di Sumatera memiliki corak Islam karena pengaruh dari pedagang dari Timur Tengah yang mengemban misi dakwah.
Kerajaan-kerajaan tersebut berkembang dengan cukup pesat dan cukup beragam.
Mulai dari yang memiliki wilayah kecil hingga besar, serta dari yang sudah bercorak Islam sejak awal hingga baru berubah menjadi Islam di tengah masa kejayaan.
Daftar Kerajaan Islam di Sumatera
Nah, berikut artikel lengkap kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Sumatera beserta penjelasan dan gambar ilustrasinya.
1. Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak atau sering disebut juga Kesultanan Peureulak merupakan kerajaan bercorak Islam yang terletak di Peureulah, Aceh Timur, Aceh.
Kerajaan Islam tertua di Indonesia ini sangat terkenal dengan sumber daya kayu perlaknya yang bagus untuk bahan pembuatan kapal.
Di samping itu, letak Kerajaan Perlak yang strategis menjadikan kehidupan ekonomi kerajaan ini maju karena sering disinggahi oleh kapal-kapal untuk berniaga.
Keberadaan kerajaan ini tidak lepas dari Negeri Perlak yang dipimpin oleh seorang raja.
Raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La, dengan agama Hindu dan Buddha sebagai agama yang dianut oleh mayoritas.
Pada suatu hari, negeri tersebut kedatangan rombongan pedagang berjumlah 100 orang dari Timur Tengah yang dipimpin oleh seorang nakhoda khilafah, Ali bin Muhammad bin Ja’far Shadiq.
Selain berdagang, mereka juga sedang dalam misi dakwah untuk menyebarkan agama Islam.
Lambat laun, agama Islam diterima oleh masyarakat dan keluarga kerajaan.
Hubungan yang semakin erat ini berakhir dengan pernikahan antara anak Ja’far Sadiq dan pemimpin Negeri Perlak, Makhdum Tansyuri.
Dari perkawinan tersebut lahirlah seorang bayi bernama Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah yang kemudian menjadi pemimpin pertama Kerajaan Perlak.
Sebagai raja yang pertama kali memimpin, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah berkuasa selama 24 tahun, mulai dari 840 Masehi hingga 864 Masehi.
Di masa pemerintahan Sultan berketurunan Arab ini, aliran Sunnah wal Jamaah berkembang pesat di tengah aliran Syiah yang dianut oleh mayoritas masyarakat.
Selain itu, ia juga mengubah nama ibu kota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah.
Lalu kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah.
Dimana masa kepemimpinanya berlangsung selama 24 tahun, yaitu dari 864 Masehi hingga 888 Masehi.
Setelah wafat, ia digantikan oleh Sultan Alaidin Syed Maulana Abbas Shah yang berkuasa mulai dari 888 Masehi hingga 913 Masehi.
Di bawah kepemimpinan Abbas Shah, Kerajaan Perlak mulai mengalami pergolakan saat aliran Sunni mulai masuk ke kerajan melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia.
Akhirnya, pada tahun 913 Masehi terjadi perang saudara besar antara pengikut Sunni dan Syiah, yang kemudian dimenangkan oleh Syiah.
Pasca perang, Kerajaan Perlak sempat mengalami kekosongan kekuasaan selama dua tahun sebelum tampuk kepemimpinan diambil alih oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah.
Ia hanya memimpin selama tiga tahun (915-918 M) dan di akhir masa pemerintahannya dicederai dengan perang Sunni-Syiah yang kali ini dimenangkan oleh Sunni.
Meskipun demikian, kedua penganut aliran tersebut dapat saling berdamai selepas wafatnya sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat.
Dalam prosesnya, Kerajaan Perlak sempat terbagi dua dan kembali bersatu setelah salah satunya dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya.
Kekuasaan Kerajaan Perlak berakhir ketika sultan ke-18 wafat dan menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai.
Beberapa bukti peninggalan dari Kerajaan Perlak adalah mata uang dan stempel Kerajaan Peureulak.
2. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan yang juga menggunakan sistem pemerintahan kesultanan ini merupakan kerajaan bercorak Islam yang terletak di pesisir Utara Sumatera.
Tepatnya berada di sisi Timur Propinsi Aceh, sekitar kota Lhokseumawe.
Kerajaan ini bermula ketika Laksamana Laut dari Dinasti Fathimah di Mesir, Nazimuddin Al-Kamil menaklukan banyak kerajaan Hindu dan Buddha di Aceh, termasuk sebuah daerah bernama Pasai.
Di daerah yang sama terdapat sebuah Kerajaan Samudera yang telah lebih dulu berdiri dengan Sultan Malik al-Nasser sebagai pemimpinnya.
Dalam prosesnya, Kerajaan Pasai dan Peureulak bergabung menjadi Kerajaan Samudera Pasai.
Berdasarkan Hikayat Raja-Raja Pasai, Meurah Silu menggantikan Sultan Malik al-Nasser, dan menjadi pemimpin pertama Kerajaan Samudera Pasai.
Nama Meurah Silu sendiri berasal dari kata “Meurah” yang berarti gelar untuk para petinggi dan “Silo” yang berarti gemerlap.
Ia berganti nama menjadi Sultan Malik as-Saleh setelah ia naik memutuskan masuk agama Islam.
Setelah wafat, tapuk kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Sultan Muhammad Malik az-Zahir yang merupakan hasil dari buah pernikahannya dengan putri pemimpin Kerajaan Perlak.
Samudera Pasai mengalami puncak kejayaan ketika dimpimpin oleh Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir.
Selama kerajaan berkuasa dari tahun 1267 Masehi hingga 1524 Masehi, khususnya saat dipimpin oleh Malik Az-Zahir, Kerajaan Samudera Pasai terkenal sebagai kerajaan maritim karena posisinya yang strategis dan sering dijadikan sebagai tempat transit dan berdagang para saudagar.
Kehidupan sosial di kerajaan ini juga sangat maju yang ditandai dengan kemampuan mereka dalam memanfaatkan pengetahuan huruf Arab untuk menulis dengan bahasa Melayu dengan menciptakan huruf Arab Jawi.
Diantara karya yang telah dibuat adalah Hikayat Raja Pasai yang mulai ditulis sekitar tahun 1360 Masehi.
Selain karya tulis, mereka juga mengembangkan ilmu tasawuf.
Di antara buku tasawuf yang berhasil ditulis adalah Durru al-Manzum oleh Maulana Abu Ishak. Dimana buku ini berisikan tentang peran Kerajaan Samudera Pasai sebagai pusat Islam terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Fakta ini pun diperkuat dari catatan Ibnu Batutah yang pernah mengunjungi Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1345-1346 Masehi, bahwa ia menyebut kerajaan tersebut sebagai pusat studi Islam.
Dari segi politik, selain Sultan sebagai pemimpin, kerajaan ini juga memiliki beberapa posisi atau jabatan strategis, seperti Menteri Besar, Bendahara, Panglima Angkatan Laut, hingga Menteri Luar Negeri.
Runtuhnya kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai didorong oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internalnya yaitu adanya perebutan kekuasaan yang tidak kunjung usai antar-anggota kerajaan.
Sehingga, saat itu banyak terjadi perang saudara dan pemberontakan yang berakibat pada tidak stabilnya kerajaan.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi adalah keberhasilan Portugis dalam menaklukan Malaka pada tahun 1511 Masehi.
Pada akhirnya Kerajaan Samudera Pasai juga ikut ditaklukan setelah Portugis melakukan penyerangan pada tahun 1521.
Beberapa bukti peninggalan Kerajaan Samudera Pasai adalah Cakra Donya, koin emas, dan surat Sultan Zainal Abidin.
3. Kerajaan Malaka
Munculnya Kerajaan Malaka disebabkan pangeran Sriwijaya, Prameswara, yang melarikan diri setelah mengalami kekalahan di dua perang.
Kekalahan yang pertama terjadi saat Prameswara yang memiliki istri dari putri Kerajaan Majapahit, harus ikut terlibat dalam perang saudara yang terjadi di Majapahit selepas wafatnya Hayam Wuruk.
Sehingga, Prameswara memutuskan melarikan diri dari wilayah Blambangan ke Temasik (Singapura) dan membuat Kerajaan Temasik.
Namun ia harus kembali melarikan diri setelah kerajaannya dikuasai oleh Majapahit.
Prameswara akhirnya melarikan diri ke wilayah Semenjanung Malaya dan bertemu dengan kelompok kecil penduduk asli setempat.
Dengan tingkat kebudayaan yang lebih tinggi, Prameswara berhasil mempengaruhi para penduduk setempat dan menjadikan wilayah tersebut sebagai Kerajaan Malaka, tepatnya pada tahun 1403 Masehi.
Dengan perkembangan yang terjadi, Prameswara berhasil membangun pelabuhan yang diperuntukkan sebagai pusat perdagangan dan membuat sektor perdagangan berkembang sangat pesat.
Prameswara pun membuat peraturan yang membuat kapal-kapal yang singgah di pelabuhan untuk membayar bea cukai sebesar 6% untuk barang dari luar negeri dan berupa upeti bagi pedagang dalam negeri.
Selain itu, penduduk setempat diajarkan untuk menanam beberapa komoditas penting perdagangan, seperti rempah-rempah, tebu, dan pisang.
Namun karena kondisi geografis dan teknologi yang belum maju, mereka tidak bisa menanam padi dan harus bergantung dengan impor yang berasal dari Sumatera.
Namun, Prameswara tetap menganggap Majapahit sebagai ancaman bagi kerajaan yang ia pimpin.
Untuk mengamankan Selat Malaka dan kekuasaan Kerajaan Malaka, ia kemudian meminta bantuan Dinasti Ming untuk memperluas pengaruh kerajaan.
Ditinjau melalui peta, wilayah kekuasaan Kerajaan Malaka meliputi Semenanjung Malaya, Kepulauan Riau, Brunei, Sarawak, hingga Tanjungpura, Kalimantan Barat.
Salah satu utusan Dinasti Ming yang terkenal adalah Laksamana Cheng Ho yang mengunjungi kerajaan tersebut pada tahun 1409 dan 1414.
Tidak disangka, ternyata kunjungan Laksamana Cheng Ho membawa pengaruh Islam yang kuat di kerajaan tersebut dan mengakibatkan Islamiasi terjadi di Malaka, termasuk di kalangan elit kerajaan.
Tidak terkecuali dengan Prameswara yang memutuskan memeluk Islam dan mengubah namanya menjadi Iskandar Shah.
Setelah Iskandar Shah wafat, kepemimpinan digantikan oleh anaknya, Muhammad Iskandar Shah, atau juga dikenal sebagai Megat Iskandar Shah.
Di masa ini Kerajaan Malaka mengalami puncak kejayaannya.
Hanya dalam tempo satu dekade, Muhammad Iskandar Shah berhasil membangun kekuatan maritim yang kuat di kawasan Selat Malaka, khususnya pesisir barat Semenanjung Malaya.
Ia juga berhasil menguasai Kerajaan Samudera Pasai dan menikahi putri Kerajaan Samudera Pasai.
Setelah wafat, ia digantikan oleh Sultan Mudzafat Shah yang berukuasa dari tahun 1424 Masehi hingga 1458 Masehi.
Selama 34 tahun memimpin, Sultan Mudzafat Shah berhasil memperluas wilayah kerajaan hingga Indragiri, Pahang, dan Kampar.
Kepemimpian Kerajaan Malaka kemudian dilanjutkan oleh Sultan Mansyur Shah yang berkuasa selama 19 tahun (1458-1477 M) dan berhasil menaklukan Siam.
Lalu estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Sultan Alauddin Shah yang di masa tersebut Kerajaan Malaka mulai mengalami kemunduran.
Selama 11 tahun memimpin (1477- 1488), terjadi banyak pemberontakan dan beberapa wilayah memisahkan diri dari Kerajaan Malaka.
Setelah wafat, posisinya digantikan oleh Sultan Mahfud Syah yang sekaligus merupakan raja terakhir Kerajaan Malaka.
Di masa ia memimpin (1488-1511), wilayah Kerajaan Malaka hanya menyisakan Semenanjung Malaya setelah banyak wilayah yang melepaskan diri dan membentuk kerajaan sendiri.
Akhirnya, Kerajaan Malaka runtuh setelah bangsa Portugis berhasil menaklukan Malaka pada tahun 1511 di bawah kepemimpinan Alfonso d’Albuquerque.
Beberapa peninggalan Kerajaan yang dapat digunakan sebagai sumber sejarah adalah Masjid Agung Deli, Masjid Johor Baru, dan Benteng A’Famosa.
Selain itu mereka juga meninggalkan hasil kebudayaan berupa karya sastra, di antaranya adalah Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Hang Jebat.
4. Kerajaan Pagaruyung
Kerajaan yang terletak di Sumatera Barat ini berawal dari Ekspedisi Pamalayu yang dilakukan oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari ke Kerajaan Dhamasraya.
Ekspedisi ini bertujuan untuk mempererat persahabatan antara Dhamasraya dengan Singosari.
Sebagai bentuk persahabatan, Raja Kertanegara pun memberikan hadiah berupa Arca Amoghapasa, yang dibalas dengan dikirimkannya putri dari Kerajaan Dhamasraya untuk dipersunting Raja Singosari.
Sayangnya, sebelum putri sampai tujuan, Kerajaan Singosari sudah runtuh dan telah dikuasai oleh Kerajaan Majapahit.
Alhasil, putri dari Dhamasraya menikah dengan salah satu dari petinggi Majapahit, yang kemudian melahirkan Adityawarman.
Beranjak dewasa, Adityawarman menjadi panglima perang Majapahit dan kemudian memimpin Kerajaan Malayapura.
Selama memimpin ia telah menaklukan beberapa wilayah, yang salah satunya adaah Pagaruyung.
Dalam prosesnya, ia memindahkan pemerintahan ke Pagaruyung dan mendirikan Kerajaan Pagaruyung.
Pada mulanya, Kerajaan Pagaruyung mendapat pengaruh Hindu-Buddha yang masih sangat kuat, khususnya di masa kepemimpinan Adityawarman serta penerusnya Ananggawarman.
Namun pengaruh Hindu-Buddha mulai memudar ketika pengaruh Islam mulai masuk pada sekitar abad ke-16.
Dalam prosesnya, beberapa adat yang berkaitan dengan Hindu-Buddha mulai dihilangkan dan digantikan dengan aturan Islam.
Selain itu, pengaruh Islam juga terlihat dalam sistem pemerintahan seperti adanya jabatan Tuan Kadi dan beberapa jabatan lainnya dengan unsur Islam.
Sayangnya, masih belum banyak sumber yang bisa menjelaskan secara lebih rinci keberadaan Kerajaan Pagaruyung ini, termasuk tahun berdirinya dan siapa saja raja yang pernah memimpin.
Kerajaan Pagaruyung runtuh karena faktor internal dan eksternal.
Faktor internal di dorong oleh perang saudara yang terjadi antara kaum adat dan kaum padri (ulama) yang terjadi antara tahun 1803-1838 Masehi.
Sedangkan faktor eksternalnya adalah banyak wilayah yang jatuh ke Kerajaan Aceh dan penyerangan oleh kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman pada tahun 1815 Masehi.
Beberapa di antara peninggalan Kerajaan Pagaruyung adalah Istana Pagaruyung dan situs makam raja, Ustano Rajo Alam.
5. Kerajaan Aceh
Kerajaan yang terletak di Propinsi Aceh ini didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah.
Ia bertahkta selama 14 tahun, mulai dari tahun 1514 Masehi hingga tahun 1528 Masehi.
Berdirinya Kerajaan Aceh ini tidak lepas dari keberadaan Kerajaan Lamuri yang kemudian menyatukan daerah-daerah taklukannya, seperti Daya, Pedir, Lidie, dan Nakur.
Sultan Ali Mughayat Syah pun terus melakukan perluasan wilayah dengan penaklukan Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1524 Masehi.
Selain itu, Sultan Ali yang terkenal anti penjajahan berhasil melawan bangsa Portugis yang sempat menguasai Pedir, Daya, dan Samudera Pasai.
Setelah wafat, kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah digantikan oleh anaknya, Sultan Salahuddin (1528-1537 M).
Namun karena kurang cakap, ia digantikan oleh Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (1537-1568 M).
Di bandingkan masa Sultan Salahuddin, Kerajaan Aceh mulai berkembang pada saat kepemimpinan Riayat Syah.
Selain berhasil menjadi pelabuhan utama bagi pedagang muslim, ia juga berhasil memperkuat angkatan laut dan sanggup membina hubungan diplomatik dengan Turki Usmani.
Dalam kepemimpinan selanjutnya, terdapat beberapa sultan yang tidak mampu mengemban tugasnya dengan baik.
Seperti Sultan Sri Alam yang dilengserkan karena membagi-bagi harta kerajaan kepada pengikutnya dan Sultan Zainal Abidin yang terbunuh karena sifatnya yang kejam dan kecanduan berburu.
Puncak kejayaan Kerajaan Aceh terjadi ketika berada di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Sultan yang berkuasa dari tahun 1606 Masehi hingga 1636 Masehi ini untuk pertama kalinya mencetuskan sebuah skema pemerintahan yang lebih teratur dan rapi.
Diantaranya adalah dengan memilih ketua adat untuk setiap suku dan membuat qanun atau tata negara sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, ia juga berhasil membina hubungan diplomatik dengan Inggris dan Belanda serta merebut beberapa pelabuhan penting, seperti di sisi Timur dan Barat Sumatera serta pesisir bagian barat Semenanjung Melayu.
Kehidupan ekonomi Kerajaan Aceh banyak ditopang dari perdagangan.
Beberapa jenis hasil bumi yang mereka perjual belikan adalah lada dan beras, serta hasil tambang berupa emas, perak, dan timah.
Dari segi sosial, masyarakatnya banyak didominasi dan dikuasai oleh kaum bangsawan.
Di tengah masyarakat kerajaan sendiri dapat ditemukan dua golongan, yaitu golongan ulama yang bergelar tengku dan golongan bangsawan yang bergelar teuku.
Sedangkan untuk kehidupan politik, kondisi Kerajaan Aceh tidak cukup stabil karena sering dilanda konflik internal, meskipun mereka memiliki militer dan ekonomi yang kuat.
Kerajaan Aceh mulai runtuh sepeninggal Sultan Iskandar Thani.
Selain tidak ada lagi pemimpin yang cakap, konflik antara kaum ulama dan bangsawan terus terjadi.
Hal ini berakibat pada lemahnya Kerajaan Aceh dan membuat lepasnya beberapa daerah kekuasaan ke Johor, Minangkabau, dan Pahang.
Di samping itu, keruntuhan Kerajaan Aceh juga diakibatkan oleh menguatnya kekuasaan Belanda di Sumatera.
Pada akhirnya Kerajaan Aceh takluk terhadap Belanda pada tahun 1904 setelah mereka saling berperang sejak tahun 1873.
Beberapa peninggalan Kerajaan Aceh adalah Masjid Raya Baiturrahman, Masjid Tua Indrapuri, Benteng Indrapatra, Pinto Khop, dan Gunongan.
6. Kerajaan Palembang
Berdirinya kerajaan yang terletak di wilayah Sumatera Selatan ini berdiri pada tahun 1659 Masehi.
Mulanya, Palembang merupakan salah satu daerah dudukan Kerajaan Majapahit pimpinan Hayam Wuruk pada tahun 1374 Masehi.
Namun karena faktor permasalahan internal, beberapa wilayah kekuasaan Majapahit menjadi tak terurus, salah satunya Palembang.
Bahkan wilayah ini sempat diduduki oleh para pedagang dari Tiongkok, yang menyebabkan mereka harus bersusah payah merebut kembali.
Perebutan kembali wilayah Palembang dilakukan oleh Arya Damar dan pangeran dari Kerajaan Pangruyung.
Dalam prosesnya, Arya Damar memutuskan memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Arya Abdillah atau Arya Dillah.
Arya Abdillah mengumumkan diri menjadi raja ketika melihat Kerajaan Majapahit sudah mulai melemah, meskipun struktur pemerintahannya saat itu belum dapat disebut sebagai kerajaan.
Namun, akhirnya Arya Abdillah berhasil mendirikan kerajaan bercorak Islam di Palembang dengan nama Kesultanan Palembang Darussalam.
Kepemimpinan Arya Abdillah dilanjutkan oleh Pangeran Kusuma Abdurrahim yang memerintah hingga tahun 1706 Masehi.
Lalu tapuk kepemimpinan diteruskan oleh Muhammad Mansyur Jayo ing Lago.
Namun masa kejayaan Kerajaan Palembang baru tiba saat dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Badaruddin I).
Di bawah kepemimpinannya, dakwah dan syiar Islam berkembang sangat pesat.
Selain itu, perekonomian kerajaan di topang sektor perdagangan di dukung dengan produksi hasil tambang timah terbesar di nusantara.
Setelah wafat, ia digantikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin II yang terkenal dengan jiwa pemberaninya dalam melawan penjajahan kolonial Inggris-Belanda.
Selama memimpin, Sultan Mahmud Badaruddin II telah berhasil memimpin perang terhadap penjajah, yang salah satunya adalah Perang Menteng.
Runtuhnya Kerajaan Palembang disebabkan oleh dua hal.
Pertama adalah adanya perebutan tambang timah antara Kerajaan Palembang, Belanda, dan Inggris.
Kedua, yaitu adanya konflik internal yang terjadi antara Sultan Badaruddin II dengan Sultan Ahmad Najamuddin II yang diangkat pemimpin oleh Thomas Raffles.
Dimana hal ini diakibatkan oleh Sultan Badaruddin II yang tidak mau bekerjasama dengan Inggris setelah mampu mengalahkan Belanda dan akhirnya melarikan diri dari kerajaan.
Kekosongan kekuasaan ini benar-benar dimanfaatkan oleh Inggris untuk menguasai Palembang.
Kerajaan Palembang pun akhirnya benar-benar runtuh ketika Belanda kembali menyerang Kerajaan Palembang dan Sultan Ahmad Najamuddin III pun menyerahkan diri pada tahun 1825.
Beberapa peninggalan Kerajaan Palembang adalah Benteng Kuto Besak dan Masjid Sultan Agung Mahmud Badaruddin II.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat paling tidak enam kerajaan nusantara bercorak Islam yang berkembang di Sumatera.
Mayoritas kerajaan-kerajaan tersebut memiliki kehidupan ekonomi yang bergantung pada perdagangan karena posisinya yang dekat dengan laut.
Di samping itu, tidak semua kerajaan Islam di Sumatera sudah bercorak di awal pendiriannya.
Ada yang sudah bercorak Islam dari awal, namun ada juga yang berubah menjadi bercorak Islam di tengah periode kekuasaannya.