Kerajaan Indragiri berawal dari Kerajaan Keritang yang muncul setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini berada di wilayah yang saat ini merupakan Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Pada masa penjajahan Belanda, Kesultanan Indragiri dijadikan daerah otonom yang berada dibawah pengawasan pemerintah Belanda. Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang, Indragiri diserahkan oleh pemerintah Belanda tanpa syarat. Hingga akhirnya pasca kemerdekaan, Indragiri ditetapkan menjadi daerah tingkat II.
Sejarah lengkap kerajaan dengan ciri khas budaya Melayu dan Islam ini dapat disimak dalam artikel berikut.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Indragiri
Latar belakang munculnya kerajaan Keritang sendiri adalah bermula setelah terjadi kehancuran pada kerajaan Sriwijaya.
Peristiwa tersebut terjadi lantaran serangan dahsyat dari kerajaan luar.
Dari wilayah utara, serangan dilakukan oleh kerajaan Cola, India.
Dari arah Timur pun Kerajaan Sriwijaya mendapat serangan dari ekspedisi Majapahit.
Hal itulah yang menyebabkan keruntuhan Sriwijaya di akhir abad 13.
Bukti kehancurannya tercantum dalam catatan perjalanan Marcopolo di tahun 1292 yang tidak lagi menyebut kerajaan Sriwijaya.
Diperkirakan saat itu terjadi perpecah belahan yang mana Keritang dan Kesultanan Indragiri menjadi bagian darinya.
Cerita Kerintang Menjadi Indragiri
Kerajaan Keritang pertama kali dipimpin oleh Raja Kecik Mambang.
Ia juga terkenal dengan nama Raja Merlang yang berkuasa dari tahun 1298-1337.
Selama sistem pemerintahan berlangsung, Kerajaan Keritang pernah dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit.
Menjadi taklukannya, Majapahit justru memberikan kerajaan ini kepada kesultanan Melaka.
Hal itu dilakukan sebagai bentuk hadiah pernikahan Sultan Syah yang mempersunting seorang putri kerajaan Majapahit.
Setelah itu Islam mulai dikenal di Nusantara dan Kesultana Melaka lah yang sering mengendalikan Keritang.
Raja Merlang yang menduduki takhta di bawah kekuasaan Majapahit diperkenankan untuk menetap di Keritang.
Namun tidak lama setelah Kerajaan Melaka menguasainya, Raja Merlang tidak lagi diizinkan berada di tengah-tengah rakyatnya.
Ia dibawa ke Melaka sehingga tidak bisa mengayomi rakyatnya.
Sebab kebijakan tersebut, Melaka menjadi lebih mudah memantau Keritang dan memberikan banyak keuntungan bagi mereka.
Kerajaan Keritang semakin tak berdaya ketika Raja Merlang dinikahkan dengan Putri Bakal yang merupakan anak perempuan pemimpin Kesultanan Melaka, Sultan Mansyur Syah.
Pernikahan itu menjadi sebuah kekuatan yang kokoh bagi Sultan Melaka atas wilayah jajahannya.
Selain itu, pernikahan menjadi strategi cerdas mereka supaya Raja Merlang betah di Melaka.
Setelah menikah, Raja Merlang dikaruniai seorang putra bernama Nara Singa yang juga tumbuh besar di Kesultanan Melaka.
Ia tumbuh dengan baik hingga akhirnya dijadikan menantu oleh Sultan Melaka yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Sultan Mahmud Syah I.
Dia pun dinobatkan sebagai raja Keritang menggantikan ayahnya.
Namun tinggal di Keritang tetap menjadi larangan hingga penerus-penerus berikutnya.
Pemerintahan di Kerajaan Keritang tetap berjalan sebagaimana mestinya meskipun keluarga kerajaan berada di Melaka.
Orang yang bertanggung jawab adalah Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning yang dibantu oleh pejabat kerajaan lainnya.
Selama mereka menjalankan pemerintahan, banyak terjadi konflik terutama di antara Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning.
Perselisihan yang sangat parah yakni perihal agama yang dianut mereka tidaklah sama.
Berlangsungnya konflik dikarenakan apabila ada bawahan Datuk Patih yang beragama Islam, maka ia diperbolehkan pindah ke dalam wilayah kekuasaan Datuk Temenggung Kuning.
Sebab itu Datuk Patih semakin banyak kehilangan anak buah karena semakin banyak pemeluk islam di sana.
Tidak berhenti di situ saja permasalahan internal yang terjadi di Keritang.
Rakyat banyak tersiksa dan tidak mendapat keadilan dari orang-orang Melaka.
Hal itu memunculkan keresahan dalam diri Raja Singa II yang saat itu memegang takhta.
Keinginan untuk kembali ke Keritang pun sangat membuncah.
Dengan alasan untuk berlibur bersama sang permaisuri, Raja diizinkan untuk kembali ke Keritang.
Kesempatan yang besar itu tidak dilewatinya begitu saja.
Ia menyusun strategi bersama para pengikutnya dalam waktu singkat.
Rencananya tersebut membuahkan hasil. Raja Nara Singa melepaskan diri dari Melaka setelah kembalinya dia ke Keritang.
Kabar tentang Raja Nara Singa yang terbebas dari Kesultanan Melaka merebak dengan cepat.
Ia kemudian memindah pusat kerajaan Keritang ke wilayah Pekantua yang dekat dengan sungai Indragiri.
Keharusan untuk melakukannya berdasarkan kepercayaan yang ia anut tentang tidak baiknya suatu tempat yang telah ditinggalkan untuk menjadi pusat kerajaan.
Setelah proses perpindahan tersebut, Raja Nara Singa II dinobatkan sebagai pemimpin di Pekantua.
Dari situlah cikal bakal kerajaan Indragiri dimulai.
Raja Nara Singa II diberi gelar Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan dihari peresmiannya menjadi raja.
Dari gelar tersebut, tampak unsur Islam telah tersebar di sana.
Di awal-awal berlangsungnya Kesultanan Indragiri, Ibu Kota dipindah lagi karena khawatir akan ketidakamannannya dari serangan Portugis dan para perompak.
Lokasi yang terpilih adalah Mudoyan atau Kota Lama.
Letaknya berada di sebelah hulu Pekantua yang membutuhkan jarak tempuh sekitar 50 km dari Ibu Kota sebelumnya melalui jalur darat.
Kemudian peristiwa pemindahan ibu kota masih terjadi lagi di masa pemerintahan Sultan Ibrahim.
Waktu itu pusat kerajaan berada di Rengat dengan alasan adanya tekanan dari penjajah Belanda.
Di sisi lain, pemindahan tersebut dilakukan juga dikarenakan adanya biaya yang cukup banyak untuk membangun istana lebih megah.
Perkembangan Kerajaan Indragiri dari Masa ke Masa
Setelah Raja Nara Singa berhasil mendapatkan kedaulatannya dan melepaskan diri dari Kesultanan Melaka, sistem kerajaan Indragiri mulai dijalankannya.
Terdapat beberapa fase yang mempengaruhi pasang surutnya kerajaan ini.
Penjajahan yang terjadi di Nusantara oleh Belanda dan Jepang tidak menggetarkan Indragiri untuk terus tumbuh dan berkembang.
a. Masa Penjajahan Belanda
Jalinan antara Kesultanan Indragiri dan Belanda tidak selalu mulus.
Pihak Indragiri sering merasa dirugikan dari hubungan tersebut.
Salah satunya adalah adanya campur tangan Belanda saat Sultan Ibrahim memerintah pada tahun 1784-1815.
Bukan lingkup eksternal kerajaan, melainkan dalam urusan internal kerajaan.
Kolonial Hindia Belanda mengangkat Sultan Muda yang ketika itu menjabat di Penarap.
Batas wilayahnya adalah sepanjang Hilir hingga Japura.
Campur tangan yang dilakukan oleh Belanda berlanjut pada tekanan dan ancaman kepada rakyat Indragiri.
Peristiwa yang sangat mengacaukan kerajaan adalah di masa jabatan Sultan Mahmudsyah.
Keberadaan Indragiri semakin terancam pada kepunahan.
Sultan tidak berdaya melawan tekanan Belanda.
Hal yang menjengkelkan juga terjadi saat ada larangan kepada rakyat Indragiri untuk berkumpul maupun mengadakan rapat yang lebih dari tiga orang.
Menjadi pengecualian jika yang dilakukan mereka adalah untuk kegiatan dakwah agama meski tetap dalam pengawasan yang ketat.
Isi ceramah pun dalam perkumplan agama sangat diawasi.
Jika terdengar terlalu berani, semua orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut dihukum sesuai prosedur dari kolonial Belanda.
Meskipun terjadi hal-hal demikian, kesultaan Indragiri tidak tinggal diam.
Berbagai strategi politik dijalankan hingga terciptalah perjanjian damai dan persahabatan di antara keduanya.
Perjanjian tersebut terskenal dengan sebutan Tractaat van Vrindchaap yang diresmikan pada 27 September 1938.
Hasil dari keputusan ini adalah dijadikannya Kesultanan Indragiri sebagai Zelfbestuur atau daerah otonom.
Di dalamnya diutus seorang controlleur (pengawas) yang berasal dari pemerintah Belanda.
Ia ditugaskan untuk mengawasi wilayah Indragiri Hilir dengan 6 daerah bawahan, yakni Amir Tembilahan di Tembilahan, Amir Batang Tuaka di Sungai Luar, Amir Tempuling di Sungai Salak, Amir Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah, Amir Enok di Enok, dan Amir Reteh di Kotabaru.
b. Masa Penjajahan Jepang
Melalui jalur Singapura, tentara Jepang masuk ke Indragiri kemudian berlanjut ke Rengat pada tanggal 31 Maret 1942.
Lalu di tanggal 02 April 1942 kolonial Belanda menyerahkan Indragiri kepada Jepang tanpa syarat apapun.
Maka setelah itu, Jepanglah yang berkuasa atas mereka.
Semasa itu Indragiri Hilir dipimpin oleh seorang Cun Choyang memiliki kekuasaan di Tembilahan denga 5 kawasan Ku Cho.
Kelima wilayah tersebut yaitu Ku Cho Tembilahan dan Tempuling di Tembilahan, Ku Cho Sungai Luar, Ku Cho Enok, Ku Cho Reteh, dan Ku Cho Mandah.
Ibnu Abbas mempelopori dikumndangkannya Lagu Indonesia Raya sebelum Jepang menapakkan kaki di Indragiri.
Kurang lebih selama 3,5 tahun pemerintahan Jepang berkuasa atas Indragiri.
Tepatnya kekuasaan tersebut berlangsung hingga Oktober 1945.
c. Era Kemerdekaan Indonesia
Usai terlepas dari masa penjajahan, Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir masih menjadi satu kabupaten.
Ada 3 kewedanan yang dimilikinya, yakni Kuantan Singingi dengan Ibu Kota Teluk Kuantan, lalu Indragiri Hulu yang beribukota Rengat, serta Indragiri Hilir dengan menjadikan Tembilahan sebagai ibu kotanya.
Pada tanggal 14 Juni 1965, berdasarkan pada Undang-Undang no. 6 tahun 1965, Daerah Persiapan Kabupaten Indragiri Hilir disahkan menjadi kabupaten daerah tingkat II Indragiri Hilir.
Saat ini wilayah tersebut dikenal sebagai kabupaten Indragiri Hilir yang berada di Provinsi Riau.
Sistem Pemerintahan
Terjadi perubahan dan perkembangan dalam sistem pemerintahan kesultanan Indragiri dari masa ke masa.
Raja pertama yang dinobatkan oleh kerajaan, Maulana paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan memimpin dengan didampingi Tun Ali.
Ia adalah bendahara kerajaan yang banyak membantu sultan dalam menjalankan pemerintahan.
Pada masa itu, jabatan bendahara kerajaan merupakan posisi yang sangat istimewa.
Hanya orang-orang terpercaya lah yang dapat kesempatan menduduki jabatan tersebut.
Corak Islam sangat lekat dalam sistem pemerintahan Indragiri.
Terdapat sistem dengan ciri khas yang dibentuk oleh orang-orang Melayu lalu dilestarikan hingga turun temurun.
Ciri khas keislaman memberikan pengaruh pada perkembangan budaya Melayu yang sangat kuat di sana.
Terlebih dalam hal upacara-upacara keagaaman, ritual keislaman diterapkan pula dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Selama Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan berkuasa, sistem pemerintahan terus dibenahi.
Kemudian pada masa jabatan Sultan Hasanuddin pada tahun 1735-1765 terbentuklah Undang-Undang Kesultanan Indragiri.
Terdapat turunan undang-undang di bawahnya yang meliputi Undang-Undang adat Kerajaan Indrgiri, Panji-Panji Raja beserta Menteri Kerajaan, dan Peradilan Adat Kerajaan.
Berikut ini adalah uraiannya:
a. Struktur Pemerintahan Berdasarkan Lembaga Undang-Undang Adat
Terdiri dari Beraja nan Berdua, meliputi:
(1) Yang Dipertuan Besar Sultan;
(2) Yang Dipertuan Muda, dan Berdatuk nan Berdua yang meliputi:
(a) Datuk Temenggung;
(b) Datuk Bendahara.
b. Menteri nan Delapan
Yaitu Menteri-menteri Kesultanan Indragiri atau sebagai Pembantu Datuk Bendahara, berjumlah delapan orang:
(1) Sri Paduka,
(2) Bentara,
(3) Bentara Luar,
(4) Bentara Dalam,
(5) Majalela,
(6) Panglima Dalam,
(7) Sida-Sida, dan
(8) Panglima Muda.
c. Tiga Datuk di Rantau
Meliputi Orang-Orang Kaya sebagai berikut:
(1) Orang Kaya Setia Kumara di Lala,
(2) Orang Kaya Setia Perkasa di Kelayang, serta
(3) Orang Kaya Setia Perdana di Kota Baru.
Penghulu nan Tiga Lorong, Terdiri dari:
(1) Yang Tua Raja Mahkota, di Batu Ginjal, Kampung Hilir;
(2) Lela di Raja, di Batu Ginjal, Kampung Hilir; dan
(3) Dana Lela, di Pematang.
Kepala Pucuk Rantau, meliputi:
(1) Tun Tahir di Lubuk Ramo;
(2) Datuk Bendahara di sebelah kanan; serta
(3) Datuk Temenggung di sebelah kiri.
Adanya Lembaga Peradilan Adat Kesultanan bertugas dalam hukum pidana dan perdata.
Terdapat dua mahkamah di dalamnya.
Mahkamah pertama meliputi Mahkamah Besar yang beranggotakan Yang Dipertuan Muda, Datuk Bendahara dan anggota lain pilihan Sultan.
Keputusan yang diambil Mahkamah Besar dalam setiap perkara disampaikan kepada Sultan Indragiri melalu Datuk Bendahara.
Lalu ada Mahkamah Keci yang menaungi kawasan pedesaan dengan seorang penghulu sebagai pengendalinya.
Pada saat ini wilayah tersebut dikepalai oleh seorang Amir atau disebut juga Camat.
Ada pula Hukum Pidana Adat yang langsung ditangani oleh Raja beserta banyak orang.
Selain itu terdaat juga Hukum Perdata mengenai Hukum Damai, tempat pengaduan kerugian, dan batas putusan penghulu.
Silsilah Raja-Raja Kerajaan Indragiri
Adapun Raja atau Sultan yang pernah berkuasa mulai diresmikannya Kesultanan Indragiri adalah sebagai berikut:
1. Nara Singa II (1473-1508) Raja Keritang ke-4 yang kemudian mendirikan Kesultanan Indragiri atau Raja Indragiri
ke-1 dengan gelar Sultan Iskandar Alauddin Syah (1508-1532).
2. Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557) Sultan Indragiri ke-2.6.
3. Raja Ahmad atau Sultan Mohammadsyah (1557-1599) Sultan Indragiri ke-3.
4. Raja Jamaluddin bergelar Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658) Sultan Indragiri ke-4.
5. Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669) Sultan Indragiri ke-5.
6. Sultan jamaluddin Mudoyatsyah (1669-1676) Sultan Indragiri ke-6.
7. Sultan Usuludin Ahmadsyah (1676-1687) Sultan Indragiri ke-7.
8. Sultan Abdul Jalil Syah (1687-1700) Sultan Indragiri ke-8.
9. Sultan Mansursyah (1700-1704) Sultan Indragiri ke-9
10. Sultan Mohammadsyah (1704-1707) Sultan Indragiri ke-10.
11. Sultan Musyaffarsyah (1707-1715) Sultan Indragiri ke-11.
12. Raja Ali Mangkubumi Indragiri bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri (1715-1735) Sultan Indragiri ke-12.
13. Raja Hasan bergelar Sultan Hasan Salahuddinsyah (1735-1765) Sultan Indragiri ke-13.
14. Raja Kecil Besar bergelar Sultan Sunan (1765-1784) Sultan Indragiri ke-14.
15. Sultan Ibrahim (1784-1815) Sultan Indragiri ke-15.
16. Raja Mun (1815-1827) Sultan Indragiri ke-16.
17. Raja Umar atau Sultan Berjanggut Kramat (1827-1838) Sultan Indragiri ke-17.
18. Raja Said atau Sultan Said Mudoyatsyah (1838-1876) Sultan Indragiri ke-18.
19. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah (1876-1877) Sultan Indragiri ke-19
20. Tengku Husin bergelar Sultan Husinsyah (1877-1883) Sultan Indragiri ke-20.
21. Tengku Isa atau Sultan Isa Mudoyatsyah (1887-1903) Sultan Indragiri ke-21.
22. Tengku Mahmud atau Sultan Mahmudsyah (1912-1963) Sultan Indragiri ke-22.
Letak Geografis dan Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan kesultanan Indragiri yang terletak di Sumatera sangat luas.
Pada era kepemimpinan Sultan Hasanuddin yang berlangsung selama 30 tahun, terjadi pembagian kawasan kekuasaan. Wilayah pertama di Cenaku.
Wilayah ini terbagi atas 3 daerah perbatinan, yakni Pulau Serojan, Pungkil, dan Sanglap.
Lalu wilayah kedua ada di Gangsal dengan pembagian kawasan menjadi Nan Tua Riye Belimbing, Riye Tanjung, dan Pemuncak di Rantau Langsat.
Sedangkan wilayah ketiga berada di daerah Tiga Balai, meliputi Dian Cacar, Perigi, dan Parit.
Selain itu ada juga wilayah keempat, yakni Kawasan Kuantan.
Daerah yang berada di dalamnya adalah Ujung Tanahh Minangkabau, Cerenti Tanah Kerajaan, dan Kerajaan Tua Gadis.
Kehidupan di Kerajaan Indragiri
Keberlangsungan hidup raja beserta seluruh rakyat Kerajaan Indragiri mengalami pasang surut.
Perjuangan para sultan dalam mensejahterahkan serta melindungi masyarakat sangat gencar di masa perintisan.
Menghadapi para penjajah yang datang ke Nusantara kemudian bertahun-tahun menguasai Indragiri menyisakan banyak kenangan pahit sebagaimana telah diceritakan di sub bab sebelumnya.
a. Kehidupan Ekonomi
Tidak banyak referensi yang menjelaskan secara detail terkait kondisi perekonomian Kesultanan Indragiri.
Hal penting yang tertera dalam sebuah sumber menyebut bahwa kebutuhan sehari-hari rakyat Indragiri dapat terpenuhi dengan berkebun.
Kawasan kerajaan yang dekat dengan hulu hilir sungai dengan perkebunan yang menghampar tidak hanya menghasilkan kebutuhan pokok untuk dikonsumsi sendiri.
Akan tetapi hasil panennya yang melimpah menjadi sumber penghasilan utama bagi mereka.
b. Kehidupan Sosial Budaya
Jika berbicara tentang kehidupan sosial budaya kerajaan Indragiri, maka peran agama Islam sangat berpengaruh dalam hal ini.
Pasalnya, Indragiri termasuk salah satu kerajaan islam yang ada di provinsi Sumatera.
Keseharian mereka yang menjungjung tinggi gotong royong juga disertai dengan norma-norma keislaman.
Hukum adat pun juga dijalankan dalam kerajaan ini untuk mengatur keamanan dan ketertiban msyarakat.
Peninggalan dan Sumber Sejarah Kerajaan Indragiri
Cerita mengenai adanya kerajaan bernama Indragiri ditandai dengan adanya beberapa peninggalan yang otentik.
Selain itu dikuatkan juga dengan beberapa sumber sejarah yang menyebut Indragiri dalam salah satu pembahasannya.
Sumber yang paling meyakinkan adalah berita Tome Pires yang menerangkan tentang eksistensi Kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau.
Di dalamnya tertulis 3 kerajaan, yakni Kerajaan Siak, Kampar, dan Indragiri.
Sumber lain yang juga pernah menyebut nama Indragiri adalah para ahli sejarah Eropa.
Tertera kata Indragiri dalam kamus ‘A Malay-English Dictionary’, gubahan Richard James Wilkinson (1867-1941).
Arti yang tercantum di sana adalah “Indra’s Mountain; an East Coast Sumatera Sultanate on a river of the same name”.
Dalam bahasa Indonesia berarti Gunung Tempat Dewa Indra; Sebuah Kesultanan yang terletak di pesisir timur Sumatera berdekatan dengan sungai yang namanya sama (baca: Idragiri).
Sumber-sumber sejarah tersebut menjadi sangat akurat setelah ditemukannya juga peninggalan Kesultanan Indragiri yang bersejarah.
Dua diantaranya yang sangat terkenal adalah Masjid Raja Penarap dan Pelontar Meriam Kuno.
a. Masjid Raja Peranap
Terkenal dengan julukan Masjid Raja Muda, bangunan bersejarah ini masih kokoh hingga sekarang.
Didirikan pada tahun 1883 oleh arsitek asal Tionghoa yang merupakan seorang muallaf pada saat itu.
Ornamen dan arsitekturnya didominasi oleh kayu alami yang terus dirawat dan direnovasi namun etap menjaga keasliannya.
Perpaduan ornament Melayu dan Tiongkok tampak sekali pada bentuk masjid Raja Peranap.
Ukiran-ukiran Melayu menghiasi beberapa bagian bangunan menjadi sangat indah.
Masjid ini memiliki dua lantai di mana lantai pertama di zaman kerajaan menjadi tempat pertemuan raja-raja.
Terdapat gong tua di lantai kedua yang melengkapi furniture bangunan ini.
Biasanya ia juga menjadi ruang pertemuan, namun bukan untuk para raja.
Gong yang ada di lantai kedua itu diyakini bisa berbunyi sendiri yang menandakan sebuah bencana akan datang.
Secara turun temurun, kisah tersebut diceritakan oleh nenek moyang masyarakat Indragiri.
Bukti yang pernah terjadi adalah di zaman penjajahan Belanda, gong tua berbunyi dengan sendirinya kemudian terjadilah pengeboman masjid oleh pasukan Belanda.
Tragedi tersebut terjadi tidak lama setelah gong berbunyi.
Selain itu, gong sering berbunyi ketika banjir hendak melanda kawasan di sana.
Hal lain yang istimewa adalah di sebelah masjid Peranap ada satu ruangan yang menjadi lokasi pemakaman Raja Moehamad Sutan Muda Indragiri.
Oleh sebab itulah masjid bersejarah ini disebut juga masjid Raja Muda.
b. Pelontar Meriam Kuno
Peninggalan Kerajaan Indragiri ini baru ditemukan di sungai Indragiri, Desa Kota Lama, Kecamatan Rengat Barat, Riau di tahun 2013 lalu.
Pelontar meriam tersebut terbuat dari timah berukuran sekitar 1 kg.
Bentuknya bulat seperti bola tenis.
Pada saat ditemukan, peluru ini mengeluarkan aroma mesiu atau bahan peledak pada karbonnya.
Itulah cerita dari sejarah menarik kerajaan Indragiri yang menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia.
Apakah kamu memiliki tambahan cerita dari sumber yang lain? Yuk ceritakan di kolom komentar!
sangat membantu