Kerajaan Dharmasraya adalah nama sebuah kerajaan periode kedua atas Kerajaan Malayu di Pulau Sumatra, atau disebut pula Melayu Muda.
Kemunculan kerajaan periode kedua ini bersamaan dengan surutnya kedigdayaan Kerajaan Sriwijaya, pascaserangan Raja Chola I dari Koromandel tahun 1025.
Salah satu pemerintahan yang turut mengisi sejarah kerajaan-kerajaan Melayu ini, bahkan pernah menjalin kerja sama dengan leluhur Majapahit dari Jawa.
Lalu bagaimana seluk-beluk kerja sama ini berlangsung?
Simak selengkapnya beserta sejumlah peninggalan dari kerajaan ini dalam artikel berikut:
Sejarah Berdirinya Kerajaan Dharmasraya (Kemunculan Wangsa Mauli)
Serangan Rajendra Coladewa, Raja Chola I pada 1025 terhadap Kerajaan Sriwijaya telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya.
Beberapa waktu berselang sebuah dinasti baru muncul dan mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yakni Wangsa Mauli.
Dalam Kitab Pararaton, Dharmasraya disebutkan adalah ibu kota dari negeri Bhumi Malayu.
Maka lumrahnya, Tribhuwanaraja pun bisa dikatakan Raja Malayu.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama raja-raja Dharmasraya berasal dari Bahasa Tamil, maknanya adalah ”tuan pendeta”.
Dengan demikian, kaum pendeta memelopori kebangkitan kembali Kerajaan Malayu.
Walau tidak diketahui secara jelas apakah Raja Tribhuwana yang menjadi pemimpin kebangkitan tersebut ataukah raja-raja sebelum dirinya, karena prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua dari prasasti Grahi belum ditemukan sampai saat ini.
Letak Kekuasaan Dua Melayu
Lokasi Kerajaan Kuno Malayu Tua
Ibu kota Kerajaan Malayu disebutkan dalam Prasasti Tanyore terletak di atas bukit serta dilindungi oleh benteng-benteng.
Istana Malayu Tua berpusat di Minanga Tamwan menurut pendapat Slamet Muljana.
Sebagaimana Prasasti Kedukan Bukit menuliskannya pada abad ke-7.
Minanga Tamwan adalah nama kuno dari Muara Tebo (Kabupaten Tebo di Provinsi Jambi), setidaknya begitulah menurutnya.
Sedangkan menurut tambo Minangkabau, Minanga Tamwan atau Minanga Kabwa adalah asal usul nama Minangkabau.
Tempat tersebut berada di hulu Sungai Kampar di Bukit Barisan, atau sekarang di sebelah timur Kabupaten Lima Puluh Kota.
Melayu Muda di Sumatra Barat
Dharmasraya menjadi nama dari sebuah kota besar untuk pusat Kerajaan Melayu yang berada di Provinsi Sumatra Barat pada abad ke-13.
Pada masa kini, Dharmasraya adalah daerah baru hasil pemekaran Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung.
Sementara itu, lokasi bekas pusat kerajaannya berada di Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatra Barat.
Daerah ini berbatasan dengan Provinsi Jambi, dan berada di pinggir Sungai Batanghari.
Dharmasraya diyakini merupakan lanjutan dari Kerajaan Malayu yang eksis sezaman dengan Kerajaan Sriwijaya.
Seiring kehancuran Sriwijaya, pusat kerajaan kemudian dipindahkan ke Dharmasraya melalui Sungai Batanghari.
Silsilah Raja
Hanya ada sedikit catatan sejarah mengenai raja-raja Dharmasraya.
Berikut ini daftar raja-raja Dharmasraya:
1. Suryanarayana
Raja pertama yang berkuasa pada Kerajaan Malayu Dharmasraya adalah Raja Suryanarayana.
Ia berkuasa pada tahun 1079 hingga 1082 dengan gelar Srimaharaja.
Pusat pemerintahannya berada di daerah Palembang hingga Jambi.
2. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
Satu-satunya sumber yang menyebutkan nama Raja Trailokya hanyalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand.
3. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
Penyebutan nama Tribhuwanaraja yang memerintah dari tahun 1270-1297 terdapat dalam Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntu.
Tribhuwanaraja sebagai Raja Kerajaan Dharmasraya yang menikahi Puti Reno Mandi diyakini oleh para sejarawan merupakan keturunan Raja Trailokyaraja.
Ia adalah raja yang berasal dari negeri di selatan Thailand.
Maka Trailokyaraja pun boleh jadi bisa dianggap sebagai Raja Malayu, kendati tidak disebutkan secara jelas dalam Prasasti Grahi.
Wilayah kekuasaan kerajaan di Sumatera yang pernah mencapai Grahi menjadi bukti keturunannya dengan kemungkinan terbesar.
4. Akarendrawarman
Tidak jauh berbeda dengan informasi mengenai raja-raja lain, nama Akarendrawarman hanya ditemukan dari Prasasti Saruaso di Kab. Tanah Datar.
5. Srimat Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa
Adityawarman merupakan raja dengan catatan sejarah terbanyak di antara lainnya.
Ia juga raja yang paling terkenal di Kerajaan Malaya Dharmasraya.
Adityawarman mulai berkuasa pada tahun 1347 hingga tahun 1375 dengan gelar Udayaadityawarman.
Manuskrip bertarikh 1347 pada Arca Amoghapasa, Prasasti Suruaso, serta Prasasti Kuburajo di Kabupaten Tanah Datar menyebutkan dan menceritakan namanya.
Raja Udayadityawarman juga dikenal sebagai Dang Tuanku, Tuan Janaka, Mantrolot Warmadewa, Kanakamedinindra (Lord of the Golden Earth), dan Maharaja di Raya of Malayapura & Minangkabau (1347-1374).
6. Ananggawarman
Tidak ada penjelasan mendetail mengenai Ananggawarman sebagai raja Kerajaan Dharmasraya, selain bersumber dari Prasasti Batu Sangkar tahun 1375 di Kab. Tanah Datar, dan Prasasti Pagaruyung tahun 1375, karena ibu kota Kerajaan Melayu pada saat itu berada di Pagaruyung.
Sistem Pemerintahan Kerajaan Dharmasraya
Bidang Politik
Situasi politik Kerajaan Dharmasraya boleh dibilang stabil, karena tidak terjadi konflik yang cukup mengkhawatirkan.
Kondisi ini dapat dibuktikan melalui mekanisme perpindahan kekuasaan yang teratur tanpa pemberontakan atau permusuhan antarsaudara.
Meski memang ada beberapa hal yang belum diketahui, karena informasi tentang kehidupan politik kerajaan ini pun minim.
Kondisi Ekonomi
Sementara itu, kehidupan ekonomi kerajaan ini menyerupai Kerajaan Sriwijaya.
Kegiatan perekonomian yang bisa dengan mudah dijumpai dalam lingkungan kerajaan ini adalah berdagang.
Ranah Sosial Budaya
Meski para ahli arkeologi belum bisa memastikan lokasi istana kerajaan ini, tapi temuan lempeng-lempeng bertuliskan “wajra” pada sejumlah candi dari susunan batu bata merah yang membentuk mandala, menggambarkan bahwa tempat ini bercorak Hindu-Budha Tantrayana pada zamannya.
Kalangan bangsawaan memeluk agama Budha, sementara rakyat mempertahankan kepercayaan tradisional mereka.
Amoghapasa juga memberi informasi tambahan mengenai kehidupan sosial budaya Adityawarman sebagai salah seorang raja.
Dijelaskan bahwa Adityawarman merupakan pemeluk Buddha aliran Tantra.
Ia sangat memperhatikan kesejahteraan para pendeta Buddha hingga beberapa biara didirikan olehnya sebagai tempat tinggal para Pendeta Buddha.
Berbagai budaya pada zaman dulu menjadikan daerah Dharmasraya sebagai tempat pertemuan dan hunian mereka.
Masyarakatnya sudah menjalin hubungan antarbangsa dengan dunia luar pada abad ke-11.
Dari sekian banyaknya penemuan, ada manik-manik asal Persia, Republik Rakyat Cina, dan India.
Masa Kejayaan
Pada masa pemerintahan Adityawarman, daerah kerajaan meluas hingga ke Sumatra Barat.
Daerah kekuasaan Trailokyaraja telah membentang hingga mencapai Grahi yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang) pada tahun 1183.
Dengan kata lain, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka setelah Sriwijaya mengalami kekalahan.
Walau kapan kira-kira permulaan kebangkitan tersebut belum dapat dipastikan.
Catatan Cina tahun 1082 menyebutkan bahwa utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts’I masih ada.
Namun utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) bawahan keluarga Rajendra juga muncul pada saat yang sama.
Daerah Bawahan Kerajaan Dharmasraya
Kerajaan Dharmasraya dipastikan mempunyai pengaruh kuat di tatar Sumatra dan Selat Malaka, pasca keruntuhan Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-12 sampai ke-14.
Chau Ju-kua melalui karya naskahnya berjudul Chu-fan-chi tahun 1225 menyebutkan bahwa negeri San-fo-tsi (sebutan untuk Pulau Sumatra secara umum dan identik dengan Dharmasraya) memiliki 15 daerah bawahan, yakni Tong-ya-nong, Pong-fong, Ki-lan-tan (Kelantan), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Ji-lo-ting, Tsien-mai, Fo-lo-an, Pa-ta (Batak?, Patani?), Tan-ma-ling, Kia-lo-hi (Kamboja), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), Kien-pi (mungkin identik dengan Jambi), Lan-mu-li, dan Si-lan (Sailan?).
Wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Srilangka (Si-lan), Kamboja (Kia-lo-hi), sampai ke tatar pasundan (Sin-to).
Kerja Sama dengan Singhasari
Kertanagara, pendiri dan Raja Singhasari menjalin persahabatan dengan Kerajaan Malayu di Sumatra guna menghambat upaya Khubilai Khan menguasai kerajaan-kerajaan Nusantara.
Utusan yang dipimpin oleh Kebo Anabrang ia kirim ke Malayu pada tahun 1275.
Perjalanan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatra inilah yang dikenal sebagai “Ekspedisi Pamalayu”.
Terdapat kaitan yang erat antara ekspedisi tersebut dengan pengiriman Arca Amoghapasa sebagai tanda kerja sama Singhasari-Dharmasraya.
Sepasang Putri Melayu
Raja Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa yang menikah dengan Puti Reno Mandi memiliki dua putri, yaitu Dara Jingga dan Dara Petak.
Disebutkan dalam naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama, utusan Kebo Anabrang membawa dua orang putri Malayu tersebut dalam perjalanan pulangnya kembali ke Jawa pada tahun 1294.
Dara Jingga
Pada tahun 1288, Kerajaan Singhasari pada era Raja Kertanegara menjadikan Kerajaan Dharmasraya (termasuk Sriwijaya) wilayah taklukannya.
Adwaya Brahman dan Senopati Mahesa Anabrang pun dikirim olehnya dalam Ekspedisi Pamalayu 1 dan 2.
Sebagai tanda persahabatan pula, Kerajaan Dharmasraya menyambutnya dengan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang “dewa” (Adwaya Brahman) pada tahun 1294.
Pernikahan tersebut melahirkan Tuan Janaka.
Sementara itu, Dara Jingga juga dikenal sebagai Bundo Kandung/Bundo Kanduang oleh masyarakat Minangkabau.
Dara Petak
Mahesa Anabrang kembali ke Pulau Jawa beserta Dara Jingga dan Adityawarman pada tahun 1294.
Dara Petak pun ikut dalam rombongan tersebut, juga untuk memperkuat persahabatan antara Dharmasraya dan Singhasari.
Setibanya mereka di Pulau Jawa, rupanya Kerajaan Singasari telah musnah.
Kerajaan Majapahit menjadi penerusnya.
Melihat kenyataan ini, maka Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya.
Pernikahan ini melahirkan Raden Kalagemet, Raja Majapahit kedua bergelar Sri Jayanegara.
Sebagai permaisuri Raden Wijaya Sang Raja Majapahit pertama, Dara Petak kemudian bergelar Indraswari.
Penyebab Runtuhnya Kerajaan Dharmasraya
Adityawarman digantikan oleh anaknya yang bernama Ananggawarman.
Pada abad ke-14, Kerajaan Melayu mengalami kemunduran dikarenakan masuknya ajaran agama Islam di Indonesia.
Dharmasraya Zaman Majapahit
Di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra yang tertulis dalam Nagarakretagama tahun 1365, Dharmasraya disebutkan menjadi salah satunya.
Catatan Dinasti Ming memaparkan pembagian negeri San-fo-tsi (atau Sumatra) manjadi tiga wilayah.
Sepeninggalan Gajah Mada pada tahun 1364, masing-masing wilayah tersebut berusaha meminta bantuan Kerajaan Ming di Cina untuk melepaskan diri dari kekuasaan She-po (Jawa).
Ketiga negeri tersebut masing-masing dipimpin oleh Seng-kia-lie-yulan (Adityawarman Raja Pagaruyung), Ma-ha-na-po-lin-pang (ejaan Cina untuk Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (ejaan untuk Maharaja Mauli raja Dharmasraya).
Namun pemberontakan Pagaruyung, Palembang, dan Dharmasraya itu berhasil ditumpas pada tahun 1377 oleh kehebatan Maharaja Hayam Wuruk yang masih berkuasa di Majapahit saat itu.
Disebutkan dalam Catatan Cina, kerajaan-kerajaan di San-fo-tsi dijadikan satu dengan nama Chiu-chiang setelah pemberontakan tersebut.
Apabila melihat yang tertulis dalam naskah Ying-yai-seng-lan, nama Chiu-chiang sama dengan Po-lin-pang.
Dengan kata lain, wilayah jajahan Majapahit di Sumatra dijadikan satu dengan Palembang sebagai pusatnya setelah tahun 1377.
Dari Dharmasraya ke Malayapura
Srimat Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa adalah gelar baru bagi Adityawarman usai memproklamirkan diri sebagai Maharajadiraja (raja merdeka) pada tahun 1347 Masehi atau 1267 tahun Saka.
Lanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya ini dinamakan Kerajaan Malayapura.
Ibu kotanya dipindahkan dari Dharmasraya (sekarang Jambi) ke daerah pedalaman Minang (Pagaruyung atau Suruaso) olehnya.
Membaca penyandangan gelarnya, beberapa nama yang sebelumnya pernah dikenal rupanya digabungkan oleh Adityawarman.
Tindakan ini dilakukannya dengan sengaja untuk menyatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnabhumi.
Dharmasraya pun tetap dipimpin oleh seorang raja berstatus bawahan, kendati ibu kota kerajaan telah dipindahkan ke daerah pedalaman.
Sebagaimana Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan dibuat pada era Adityawarman menyebutkannya.
Peninggalan & Sumber Sejarah
Kerajaan Dharmasraya tidak banyak diketahui oleh orang-orang, begitupun bekas kebesaran kerajaan itu sekarang.
Jejak-jejaknya bisa dilihat dari sejumlah candi yang sebagian telah selesai diekskavasi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar sejak 1990.
Namun candi-candi tersebut tidak bisa dibayangkan seperti candi dari batu seperti di Jawa.
Candi-candi ini terbuat dari batu bata merah seperti Candi Muara Takus di Jambi.
Namun kerusakan candi yang parah menyebabkan hasil final pembangunannya kembali tak sampai setinggi 2 meter.
Situs Candi Padangroco
Daerah aliran Sungai Batanghari menjadi tempat keberadaan salah satu situs peninggalan yakni Candi Padangroco.
Walau situs ini secara administratif terletak di Jorong Sei (Sungai) Langsek, Kenagarian Siguntur, Kec. Sitiung, Kab. Dharmasraya, Sumatra Barat.
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Batusangkar (sekarang BPCB) menemukan situs candi ini kembali pada tahun 1992, berdasarkan informasi dari salah seorang warga Seilangsek.
Sejak itu sampai tahun 1996, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Batu sangkar terus melakukan ekskavasi terhadap Situs Padangroco bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Ekskavasi tersebut telah menghasilkan pembukaan kompleks candi dengan 4 struktur bangunan yang terbuat dari bata semuanya.
Keempatnya kemudian diberi nama Candi I, II, III, dan IV.
Dari ibu kota provinsi, perlu waktu tempuh ± 4 jam perjalanan untuk mengunjungi lokasi tersebut.
Setelahnya, tinggal menyeberangi Sungai Batanghari menggunakan perahu, lalu disambung berjalan kaki sekitar ¼ jam.
Suasana yang cukup hening dapat dirasakan di Kampung Sungai Langsat saat malam hari.
Hanya suara-suara binatang malam yang terdengar sampai menjelang subuh.
Candi Pulau Sawah
Tidak hanya Candi Padang Roco yang menarik, karena dapat dianggap sebagai pondasi dalam mengungkap riwayat masa lalu di daerah Dharmasraya, namun juga ada Kompleks Candi Pulau Sawah I dan Pulau Sawah II.
Kompleks ini meliputi bukit seluas 15 hektare dengan sungai Batanghari yang hampir mengelilingi keseluruhannya, dan bertemu anak Sungai Pingian.
Terdapat 11 struktur bangunan dari batu bata telah terindikasi.
Kendati sudah dipastikan tiga di antaranya adalah candi, tapi ekskavasi dan pembangunan kembali baru dilakukan terhadap dua candi.
Kompleks Candi Muaro Jambi
Situs Purbakala Kompleks Percandian Muaro Jambi kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Melayu Dharmasraya.
Muaro Jambi menjadi kompleks candi Hindu-Buddha terluas di Tanah Air.
Letak percandian ini di Kec. Muaro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Lokasi keberadaannya sekitar 26 kilometer arah timur Kota Jambi, yakni di tepi Batang Hari.
Koordinat Selatan 01* 28’32″ Timur 103* 40’04″.
Asal candi tersebut diperkirakan dari abad ke-11 M.
Selain menjadi kompleks percandian terbesar, Muaro Jambi merupakan kompleks candi yang paling terawat di Pulau Sumatra.
Rumah Gadang Siguntur
Pendirian bangunan bersejarah yang termasuk dalam lingkup kerajaan ini dilakukan pada abad ke-17, dengan luas sekitar 118,4 meter persegi.
Rumah Gadang Siguntur terletak di Jorong Siguntur, Nagari Siguntur, Kec. Sitiung, Kab. Dharmasraya.
Fungsi rumah gadang ini adalah sebagai tempat musyawarah adat dari awal didirikan hingga kini.
Bentuk atap yang terbuat dari seng pun pun bergonjong, sebagaimana bangunan khas Minangkabau.
Sementara lantai dan dindingnya dari kayu, begitupun pintu dan jendela.
Masjid Tua Siguntur
Pada masa Islamisasi, Kerajaan Dharmasraya termasuk salah satu kerajaan yang mengalaminya pasca-era pemerintahan Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
Salah satu jejak peninggalan penyebaran agama Islam ini adalah keberadaan Masjid Tua Siguntur berusia lebih dari 100 tahun.
Lokasinya persis di sebelah makam raja-raja Siguntur, dan berdiri di atas tanah seluas 21,7 x 19 meter.
Terdapat pagar kawat berduri di bagian samping dan belakang, serta pagar beton di bagian depan bangunan ini.
Arca Bhairawa (1347–1375)
Arca Bhairawa dan Amoghapasa, serta Ekspedisi Pamalayu pada 1288-1294 menjadi salah satu tonggak sejarah masa lampau Nusantara yang cepat diingat oleh khalayak.
Pemerintah Kolonial Belanda menemukan Arca Bhairawa pada tahun 1935 di pinggir sungai tak jauh dari Candi Padang Roco.
Lalu arca ini dibawa ke Bukittinggi, untuk kemudian dipindah dan tersimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta kini.
Besarnya ukuran Arca Bhairawa di antara pelbagai arca yang pernah ditemukan di Indonesia bahkan Asia Tenggara pun membuatnya terkenal.
Dengan tinggi 4,41 meter, berat arca ini mencapai 4 ton.
Arca Bhairawa memperlihatkan wujud patung berwajah bengis dengan mangkok dan pisau di tangan, sementara tengkorak manusia di bawah kakinya.
Arca ini disebut-sebut merupakan penggambaran sosok Raja Adityawarman.
Arca Amoghapasa (1347)
Arca Amoghapasa ditemukan di Situs Rambahan berjarak 7 km arah ke hulu pada sekitar tahun 1800-an.
Daerah yang sebenarnya masih satu kesatuan dengan penemuan lapik arcanya di Padangroco.
Terdapat pahatan tulisan penting yang dibubuhkan pada alas arca ini.
Pahatan tersebut menyebutkan tujuan arca ini sebagai persembahan dari Raja Singasari, sebagai tanda persahabatan kepada Raja Malayu Dharmasraya melalui Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1292.
Penggambaran arca dengan tinggi 163 cm ini adalah seorang perempuan perwujudan Lokeswara.
Museum Nasional juga sudah menyimpannya sekarang.
Prasasti Grahi (1183)
Prasasti Grahi yang ditemukan di wilayah selatan Thailand pada tahun 1183 menyimpan bukti-bukti tertua perihal keberadaan Dharmasraya di bawah perintah Raja Mauli.
Isi prasasti ini adalah perintah dari Trailokyaraja kepada Bupati Grahi bernama Mahasenapati Galanai.
Perintah agar membuat arca Budha seberat 1 bhara 2 tula bernilai emas 10 tamlin.
Pembuatannya dikerjakan oleh seorang seniman bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti Padang Roco (1286)
Selang lebih dari satu abad usai Prasasti Grahi, Prasasti Padang Roco memunculkan nama Dharmasraya pada tahun 1286.
Prasasti berbentuk lapik arca ini menyebutkan keberadaan seorang Raja Swarnabhumi (Sumatra masa lampau) bergelar Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa.
Tribhuwanaraja memperoleh kiriman hadiah berupa Arca Amoghapasa dari atasannya, yakni Raja Kertanagara pada peristiwa Ekspedisi Pamalayu.
Kandungan isi dalam prasasti ini menyebutkan bahwa Arca Amoghapasa yang dibawa dari Bhumijawa dan ditempatkan di Dharmasraya, terjadi pada bulan Badrawada tanggal 1 paro terang tahun 1208 Saka (1286 M).
Prasasti ini juga berisi informasi mengenai identitas penguasa Melayu pada waktu itu adalah Srimat Tribhuwanaraja.
Ia berkedudukan di Dharmaśraya.
Lokasi Dharmaśraya ini sudah masuk wilayah administrasi Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya sekarang.
Rupanya Dharmasraya adalah daerah berpotensi luar biasa dalam segi pariwisata dengan latar belakang sejarah yang panjang dan penting.
Ada kejayaan masa lampau serta potensi besar dari nilai sejarah dan keunikan alam yang tak bisa dilupakan begitu saja.
Catatan sejarahnya mesti dieksplorasi lebih jauh, lalu mematrikannya dalam pikiran setiap orang, baik mencakup skala lokal hingga mencapai internasional.