Kerajaan Bone berdiri pada tahun 1330 Masehi di wilayah yang saat ini termasuk dalam Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Tomanurung menjadi raja pertama kerajaan Bone. Kerajaan ini tercata pernah memiliki pemimpin seorang perempuan yakni We Banrigau. Islam sendiri telah masuk ke wilayah ini pada masa pemerintahan Raja Bone ke XI. Kerajaan Bone berakhir pada masa kepemimpinan La Pappabenteng Pettalawa pada tahun 1951.
Berikut ulasan lengkap tentang kerajaan Bone beserta silsilah raja-rajanya.
Sejarah Kerajaan Bone
1. Latar Belakang
Tanah Bone
Seperti yang diketahui oleh masyarakat sekitar, Tanah Bone diyakini sebagai kesatuan antara inti dalam unit politik atau persekutuan kaum masyarakat yang dinamakan anang.
Ketua persekutuan ini dalam bahasa masyarakat disebut sebagai “matoa anang” atau ketua umum.
Dari persekutuan ini terbentuklah “wanua” atau negeri. Hal ini bisa dilihat dari wanua Tibojong, Ujung, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa, Macege dan Ponceng.
Secara umum, setiap terbentuknya wanoa adalah bentukan dari keturunan satu nenek moyang yang sama sehingga tercipta persekutuan tertutup untuk teritorial hidup lainnya dalam sistem patriarki (yakni garis keturunan dari pihak ayah).
Dikarenakan hal ini, dimulailah jurang permusuhan antar wanua.
Kehadiran Tomanurung
Masyarakat Bone meyakini bahwa proses berdirinya kerajaan Bone erat kaitannya dengan Tomanurung alias bakal calon penguasa inti.
Tomanurung sendiri diartikan sebagai seseorang yang turun dari kahyangan.
Hal ini serupa dengan cerita kerajaan Gowa yang diawali oleh kehadiran Tomanurung dalam wujud seorang wanita, sedangkan Tomanurung di kerajaan Bone sendiri ialah laki- laki.
Tanda-tanda sebelum Tomanurung hadir dapat dilihat dari berbagai fenomena sekitar yang luar biasa.
Pada saat itu, selama tujuh hari tujuh malam terjadi hujan dan sambaran petir yang luar biasa. Persis dengan yang tulisan dalam lontarak.
Kemudian, setelah hujan beserta sambaran petir yang saling bersahutan itu reda, muncullah seseorang yang berdiri di tengah padang Bone dan mengenakan jubah putih.
Dikarenakan peristiwa tersebut, masyarakat Bone berunding dan membuat sebuah kesepakatan untuk menemui & mengangkatnya sebagai Raja Bone.
Hanya saja niat mereka untuk menjadikannya Raja Bone ditolak orang tersebut.
Ia mengakui bahwasannya dirinya hanya seorang budak Raja.
Terjadilah penawaran antara masyarakat dan orang tersebut.
Orang tersebut pun menyampaikan, bila masyarakat Bone berkeinginan dipimpin oleh seorang Raja, maka si orang tersebut dapat mempertemukan mereka dengan calon Raja.
Diajaklah masyarakat Bone menuju daerah Matajang ke tempat dimana terdapat seorang laki- laki yang sedang duduk mengenakan jubah kuning di atas batu yang dikenal dengan “napara”.
Seseorang laki- laki ini didampingi oleh tiga pengikutnya yang bertugas memegang kipas, membawakan payung, dan salendrang alias tempat sirih.
Gerombolan masyarakat dari Bone pun memohon kepada lelaki yang duduk di atas batu tersebut agar bersedia menjadi Raja Bone.
Sosok itu pun memberikan jawaban “tedduo nawa – nawao” artinya orang setia dan “temmaballecoko” yang berarti tidak memungkiri segala janji.
Masyarakat Bone pun menerima syarat dari lelaki tersebut dan akhirnya lelaki tersebut menjadi Raja Bone yang pertama.
Setelah perjanjian itu terlaksana, berlangsunglah “Nalekkeni Manurunge” yang berarti prosesi pemindahan Manurung itu Bone.
Kemudian masyarakat Bone bahu-membahu untuk saling mendirikan istana.
Raja Bone I pun lekas mendiami istana bahkan ketika masih dalam masa “bulisa” (bermakna kayu potongan belum kering).
Keputusan ini diambil agar Raja segera menyusun sistem pemerintahan Kerajaan Bone.
2. Perkembangan Kerajaan Bone
Perjanjian – Perjanjian Kerajaan
Perjanjian Tellumpoccoe
Perjanjian ini merupakan kesepakatan yang melibatkan beberapa kerajaan bugis yakni Bone, Soppeng dan Wajo.
Tujuan awal perjanjian ini dimaksudkan untuk mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut sekaligus menentang serangan dari penguasa Gowa yang merupakan kerajaan adidaya pada masa itu.
Perjanjian Malelae’ ri Unnyi
Perjanjian ini merupakan kesepakatan antara Arumpone, La Tenrisukki sebagai Raja Bone ke – V dengan Datu Luwu to Serangeng Dewaraja.
Kronologi perjanjian ini bermula ketika pasukan Luwu menyerang kerajaan Bone.
Namun, kerajaan Bone berhasil menangkis serangan dari Luwu sehingga kemenangan berhasil diraih kerajaan Bone.
Isi dari perjanjiannya menyatakan bahwa pihak yang kalah perang tidak perlu membayar ganti rugi kepada pihak yang menang perang.
Hal ini menunjukkan adanya potensi penyimpangan terhadap perjanjian gencatan senjata.
Secara umumnya, perjanjian gencatan senjata menetapkan sanksi kerugian perang dibayar oleh negara yang memang kalah.
Namun, dengan adanya perjanjian ini, mengungkapkan bahwasannya kerajaan Bone sedang menjalin kedekatan kepada Datu Luwu Dewaraja.
Ulu Adae ri Tamalate (Perjanjian Tamalate)
Perjanjian ini dimaksudkan untuk menjalin kerjasama antara kerajaan Bone yang kala itu dipimpin oleh Raja La Uliyo Bote’e, Raja ke – VI saat melakukan kunjungan balasan ke Gowa.
Isi dari perjanjian tersebut yakni Bone dan Gowa sepakat untuk saling memberikan bantuan satu sama lain dalam bidang militer bila ada ancaman bahaya.
Islamisasi Kerajaan Bone
Kerajaan Gowa berperan besar dalam mengislamisasikan wilayah sekitar Bone. Di Gowa sendiri, islamisasi kerajaan diawali oleh Datu ri Bandang.
Setelah Islam meluas sekitar kerajaan, agama Islam mulai tersebar luas di Gowa dengan damai seperti apa yang sudah menjadi prinsip Sultan Alauddin.
Namun berbeda dengan Gowa, Bone tidak bisa diislamisasi dengan cara damai.
Bone menganggap penyebaran Islam yang terjadi di wilayah Bone berlandaskan alasan politik semata.
Bahkan, menurut pemerintahan Bone ini merupakan siasat Gowa menguasai Bone.
Namun, lambat laun Islam mulai menunjukkan kebaikannya sehingga La Tenri Ruwa, Raja Bone ke XI pun ikut memeluk Islam.
Beberapa pejabat yang merasa bahwa kedatangannya Islam adalah alasan Gowa, mulai melakukan penolakan terhadap Islam.
Namun, rakyat Bone di bawah kepemimpinan Arumpone La Tenri Pale tak mampu berbuat banyak karena gempuran besar- besaran dari Gowa.
Pada saat itu, Bone dikuasai oleh Gowa sehingga secara otomatis rakyat Bone menjadi pemeluk agama Islam.
Arung Palakka dan Kolonial
Arung Palakka, dengan nama lengkap La Tenri Arung Palakka Malampee Gemme’na Petta to Risompae (1667 – 1696 M) merupakan raja Bone ke – XV yang dicap pemerintah sebagai penghianat.
Hal ini dilandaskan pada kedekatan sang raja dengan Belanda pada saat melakukan penyerangan terhadap Gowa yang dikenal dalam Perang Makassar dan punya andil besar dalam keruntuhan Kerajaan Gowa di Nusantara bagian timur.
Masa kecil Arung Palakka tidak seperti kebanyakan anak kecil lainnya.
Pasalnya, orangtuanya ditawan bersama dengan raja Bone La Tenri Ruwa saat ditaklukkan oleh Gowa.
Sehingga, memori tentang penaklukkan Bone oleh Gowa terekam jelas di mata Arung Palakka.
Inilah yang menjadikan dia bercita- cita untuk menaklukkan Gowa.
Dikisahkan dalam Lontaraq, sewaktu ia bersama bangsawan Bugis dikejar oleh pasukan Gowa, ia dan rombongan itu berhasil melarikan diri.
Arung Palakka pun berencana untuk mencari sekutu untuk menaklukkan Gowa dan bertemulah ia dengan pasukan Batavia.
Maka terjadilah Perang Makassar sebagai pertanda kekalahan imperium Gowa.
Sementara, Arung Palakka menata kembali dasar- dasar pemerintahan di Bone.
Namun, seiring dengan perkembangan sejarah dan penemuan dari beberapa penelitian yang ada Arung Palakka dinilai masyarakat sebagai “sang pembebas” Bone.
Letak Geografis dan Batas Wilayah
Kabupaten Bone terletak di daerah pesisir Timur provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi ini sangat strategis dalam perdagangan baik barang maupun jasa di Kawasan Timur Indonesia.
Berdasarkan data, kerajaan Bone secara adminstratif terdiri dari 27 kecamatan, 333 desa beserta 39 kelurahan dimana ketaknya 174 km ke arah timur kota Makassar.
Kala itu mampu menguasai areal sekitar 2600 km2.
Kerajaan Bone pada posisi 4 derajat 13’ – 5’ 6’LS dan 119’ 42’ – 120’ 30’ BT.
Batas Wilayah
Sebelah utara kerajaan Bone berbatasan dengan Wajo dan Soppeng.
Sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sinjai dan Gowa.
Untuk sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone dan sebelah baratnya berbatasan langsung dengan Kabupaten Maros, Pangkep dan Barru.
Silsilah Raja Bone
1. Manurunge Ri Matajang
Raja Bone I alias Tomanurung digelari masyarakat Bone Matasimpoe.
Periode kepemimpinannya berlansung selama 40 tahun, yakni dari tahun 1330 – 1370 Masehi.
Selama menjadi Raja, ia bersama istrinya yang bernama Tenriawaru yang digelari Tomanurung ri Toro dikaruniai lima putra yakni, La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We Arratiga dan Isamateppa.
Di akhir kehidupannya, tak banyak yang mengetahui dimana keberadaannya karena ia menghilang entah kemana.
Masyarakat Bone meyakini, peristiwa itu dinamakan “Mallajang”.
2. La Umasa
Setelah kepergian ayahnya, La Umasa memimpin masyarakat Bone.
Dalam sumber Lontaraq Akkarungeng ri Bone, periode kepemimpinannya berjalan dari tahun 1358 – 1424 Masehi.
Gelarnya adalah Arung Mangkaeu ri Bone.
Bagi Masyarakat Bone, La Umasa adalah salah satu Raja yang berdedikasi tinggi.
Hal ini dibuktikan dengan penciptaan alat – alat perkakas dari besi yang sengaja dibuat untuk menjadikan masyarakat agar lebih mudah dalam proses memasak.
Pun, ia juga menciptakan Kaliyao, sejenis tameng agar dapat melindungi dari teriknya matahari saat dalam perjalanan.
Setelah berbagai kesuksesan yang telah diraih dalam masa kepemimpinannya, hidup La Umasa terasa hampa.
Ia dan istrinya belum dikaruniai seorang Putra mahkota.
Sehingga, gelar Putra Mahkota diberikan kepada keponakannya yang dilahirkan oleh adiknya yakni Panttanra Wanua yang dinikahkan dengan Arung Palakka La Pattikkeng.
Putra Mahkota tersebut dinamai La Saliyu Karampelua.
3. La Saliyu Karampelua
Keponakan La Umasa, La Saliyu Karampaleua digelari masyarakat Bone dengan sebutan Makkaleppie – Massao Lawelareng atau Puatta Lawelareng,
La Saliyu sangat menghormati pamannya. Dengan status raja Bone III, ia bahkan telah menduduki sebagian besar kerajaan kecil di sekitar Bone.
Kegiatan ekspansi yang ia lakukan, membuahkan hasil yang sangat memuaskan bila dibandingkan dengan La Umasa.
Karena luasnya wilayah kerajaan Bone pada masa itu, La Saliyu menciptakan pengaturan pada organisasi pemerintahan dengan cara menjadikan 3 wilayah administratif sesuai dengan pembagian dalam warna bendera Bone.
Semakin berkembangnya zaman, La Saliyu menerapkan kebijakan terkait penetapan peraturan pertanahan dan hukum warisan.
Pengumuman penetapan kebijakan ini dilakukan secara resmi dalam rangka penjaminan stabilitas hubungan dalam sebuah komunitas.
Dalam artian, bakal raja selanjutnya haruslah putra putri dari Raja Bone.
Nyatanya, La Saliyu dikaruniai seorang anak perempuan.
Pada saat usianya genap mencapai 72 tahun, ia memgumumkan pada masyarakat Bone bahwa raja selanjutnya adalah putrinya sendiri dari istri keduanya We Tenri Roppo Arung Paccing.
4. We Banrigau Daeng Marowa
Setelah ayahnya lengser dari jabatan raja, We Banrigau resmi naik tahta menjadi raja IV Bone dan yang mengawali periode kepemimpinan perempuan.
Hal ini menandakan bahwasannya raja Bone itu tidak harus berstatus seorang laki-laki.
Berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya, di masa raja Bone We Banrigau Daeng Marowa lebih condong untuk memantapkan stabilitas negeri melalui pertanian di wilayah Bone.
Namun naas, di masa pemerintahan ini terjadi pemberontakan.
Karena strategi yang jitu di dalam menyelesaikan pemberontakan, hal ini tidak berlangsung lama.
Setelah raja Bone keempat memimpin wilayah Bone selama 20 tahun lalu ia menyerahkan kekuasaan kepada putranya yakni, La Tenrisukki.
5. La Tenrisukki
Kepemimpinan La Tenrisukki dikenal baik dikarenakan memiliki hubungan dengan beberapa kerajaan besar di wilayah Sulawesi Selatan.
Periode kepemimpinan raja Bone yang kelima ini yakni dari sekitar abad ke – XV sampai abad ke – XVI.
Pada masa kepemimpinannya, raja ini berhasil membuat strategi yang dapat memukul mundur serangan militer pasukan Luwu.
Perang ini dinamakan dengan perang Cellu. Selain membuat strategi yang jitu dalam perang Cellu, raja Bone juga melakukan perjanjian bersama Datu to Serangeng dewaraja yang dikenal oleh kebanyakan masyarakat sebagai gencatan senjata di Unnyi.
Kemudian beliau memerintah selama kurang lebih 27 tahun dan ia wafat. Sebelum wafat ia sempat menunjuk putranya, La Uliyo Bote’e, sebagai raja Bone yang ke – VI.
Putranya memiliki gelar Bote’e unik karena postur tubuhnya yang gempal.
6. La Uliyo Bote’e
Di masa pemerintahannya, terjadilah serangan namun akhirnya bisa ditangkis kerajaan Bone.
Bone mendapatkan bantuan dari Gowa untuk memerangi sekutu terutama Luwu dan Wajo.
Namun persekutuan ini sebenarnya merupakan campur tangan yang tidak biasa bagi Gowa dalam merebut kekuasaan di sebelah timur semenanjung.
Setelah La Uliyo, kepemimpinan raja Bone ke – VII diberikan kepada La Tenri awe Bongkange pada tahun 1568 – 1584 Masehi.
Kepemimpinan raja Bone berakhir pada masa Raja ke – XXXIII yang dipimpin oleh raja La Pappabenteng Pettalawa dengan durasi kepemimpinan dari tahun 1946 – 1951.
Logo dan Bendera Kerajaan
Berdasarkan sumber yang ditulis oleh Perelaer dari sebuah ekspedisi di abad pertengahan ke – XIX, inventarisasi harta nasional Bone alias harta karun Bone sendiri terdiri dari pedang, keris, dan bendera serta barang antik peninggalan para penguasa Bone.
Kasitangnga
Bagian terfavorit dan paling menarik di harta karun Bone, yakni bendera Nasional kerajaan Bone yang dinamakan Kasitangnga.
Detail Kasitangnga sendiri terdapat gambar matahari cerah, bulan sabit dan bintang sejumlah tiga.
Kemudian, terdapat gambar kapal berlayar, sebagai lambang dari VOC.
Pun, terdapat gambar para nol dari Kamar Middleburg Perserikatan East India Company dan segel aja Abdul Razzaq Jalal.
Terdapat sebuah prestasi dan motto dalam Kasitangnga.
Untuk prestasi digambarkan dengan emblem, yakni sebuah lapisan baja dan helm kemudian ada piala yang terdiri dari warna biru beserta bendera merah per chevron.
Terlihat ada beberapa senjata yakni, tombak, pedang, terompet. drum dan sejenisnya.
Kemudian, terdapat dua meriam yang diarahkan keluar beserta perisai bundar dan diletakkan diatas tanah berumput.
Selain emblem, terdapat gambar mahkota, yang melambangkan kejayaan dan kemakmuran Bone.
Untuk motto sendiri tertulis bahwa “selama matahari dan bulan akan bersinar, VOC dan Bone akan tetap kuat bersatu”.
Kemudian, motto yang tertulis dalam naskah arab yang bermakna “dengan pasukan kami Tangan kami tetap mantap”.
Samparajae
Bendera ini berwarna cahaya biru sutra dan terdapat jangkar dalam bordir yang dihiasi.
Terdapat bola dalam bentuk bunga berdaun empat, kemudian dua dari daun emas dan dua lainnya dari besi.
Kedua daun ini bermakna berani dalam pertempuran. Sedangkan Jangkar mengarah pada kekuatan maritim dari kerajaan Bone.
Bendera Negara Bagian Bone
Bendera negara bagian Bone terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang dikumpulkan dari sekitar Waromporong yang terdiri dari orang – orang madjang, Matowanging, Bukaka, Kawarrang dan Maloi.
Kelompok kedua dikumpulkan di sekitar Tjallae-ri-atau terdiri dari patijeng, tanete, Lemo – Lemo, Masalle. Matjege dan Belawa.
Kelompok ketiga, dikumpulkan dari sekitar Tjallae-ri-abeo yang terdiri dari orang – orang Udjung, Ponljeng, Ta, Katumping, Panda Tjanga en Madello.
Sistem Pemerintahan Kerajaan Bone
1. Kehidupan Politik
Setiap kerajaan pasti memiliki kehidupan politik tersendiri, tak terkecuali kerajaan Bone.
Bahkan, di beberapa periode kepemimpinan raja Bone, stabilitas politiknya mengungguli kerajaan di sekitarnya.
Pun, terdapat berbagai perjanjian yang sudah dilakukan semasa kepemimpinan Bone juga berlandaskan alasan politis.
Simak beberapa istilah pemerintahan dalam pemerintahan kerajaan Bone ya!
Arung Pone
Arung Pone adalah gelar kebesaran bagi sang raja Bone. Gelar ini diberikan sebagai apresiasi masyarakat kepada raja.
Ade’ Pittue
Ade’ Pittue alias adat tujuh merupakan salah satu sistem pemerintahan di bawah kepemimpinan raja Bone. kalau dimasa sekarang, bisa dikategorikan sebagai kabinet pemerintahan yang terdiri dari para menteri. Simak tugas tugasnya ya!
Arung Ujung
Arung Ujung merupakan seseorang yang ditugaskan untuk urusan Penerangan Kerajaan Bone.
Arung Ponceng
Seseorang yang digelari Arung Ponceng bertugas untuk mengurusi urusan kepolisian atau kejaksaan sekaligus di bagian Pemerintahan Bone.
Arung Ta
Arung Ta ditugaskan untuk mengepalai urusan pada bagian pendidikan maupun perkara sipil.
Arung Tibojong
Pada bagian ini, seseorang ditugaskan untuk mengurusi perkara pengadilan landschap, hadat besar maupun perkara pengadilan distrik.
Arung Tanete Riattang
Seseorang yang digelari Arung Ponceng bertugas untuk memegang kas kerajaan, mengatur pajak dan mengawasi keuangan.
Arung Tanete ri Awang
Pada bagian ini, seseorang ditugaskan untuk mengepalai pekerjaan negeri, pajak jalan dan sebagai pengawas Opzichter.
Arung Macege
Arung Macege ditugaskan untuk mengepalai urusan pemerintahan umum dan perekonomian.
Petta Ponggawa
Sedangkan Petta Ponggawa ditugaskan untuk menjadi panglima perang di bidang pertahanan kerajaan Bone yang dibantu oleh beberapa perangkat masing- masing yakni:
Anreguru Anak Karung Beras
Seseorang yang bergerak pada bidang ini, bertugas untuk mengkoordinir para anak bangsawan sejumlah 40 untuk diarahkan sebagai elite kerajaan.
Pangulu Joa
Pangulu Joa ditugaskan untuk mengkoordinir pasukan dari masyarakat Bone yang dikenal dengan passiuno.
Passiuno sendiri diartikan sebagai pasukan pengabdi sejati yang siap tempur di medan perang untuk senantiasa mempertahankan Bone dari gangguan maupun serangan kerajaan sekitar.
Dulung Bertugas
Dulung Bertugas, dimaknai sebagai panglima daerah dimana perannya untuk mengkoordinir daerah kerajaan bawahan.
Di kerajaan Bone terdapat dua dulung yakni dulungna ajangale bertempat di Bone Utara dan Dulung Awangtangka dari Bone Selatan.
Jennang
Jennang adalah gelar bagi seorang pengawas di bidang lingkungan istana maupun daerah kerajaan bawahan.
Kadhi
Kadhi diartikan dengan ulama’, khatib maupun bilal yang bertugas sebagai penghulu syara’ di agama Islam.
Bissu
Bissu alias waria, ditugaskan untuk merawat benda – benda yang ada di kerajaan Bone.
Selain itu, para Bissu juga mengadakan pengobatan tradisional dan sebagai kepercayaan kepada dewata seuwae.
Namun, setelah proses Islamisasi di kerajaan Bone, kedudukan Bissu sudah di non-aktifkan.
2. Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Bone terkenal karena lahan yang luas dan kemaritimannya.
Oleh karena itu, mata pencaharian terbesar penduduk Bone yakni sebagai petani dan nelayan.
Dalam sejarah, diceritakan bahwa Arumpone We Banrigau Daeng Marowa menjadikan ekonomi di Bone stabil melalui kepiawaiannya dalam hal urusan pertanian.
Masa Kejayaan Kerajaan Bone
Kejayaan Bone mampu dikembalikan oleh Arung Palakka yang ditandai dengan adanya peristiwa “Perang Makassar” dengan sekutunya Belanda kepada kerajaan Gowa.
Karena pada saat itu, Bone sedang ditaklukkan oleh Gowa.
Namun, Arung Palakka sanggup meraih kembali kekuasaan Bone yang telah lama hilang selama berpuluh tahun lamanya.
Di masa Arung Palakka inilah, Bone menjadi kerajaan yang paling berpengaruh di wilayah Sulawesi Selatan bahkan mengalahkan imperium besar, kerajaan Gowa.
Keruntuhan Kerajaan Bone
Runtuhnya kerajaan Bone dikenal masyarakat sekitar sebagai “Rumpa’na Bone”.
Sebutan ini dilontarkan oleh La Pawawoi, yakni raja Bone ke XXXI saat menyaksikan putranya gugur tertembak peluru pasukan Belanda.
Dengan gugurnya Abdul Hamid Baso Pagilingi, alias putranya sendiri ia merasa benteng pertahanan telah dibobol oleh Belanda.
Pertempuran ini terjadi manakal Belanda melabuhkan kapalnya di wilayah Bone, tepatnya pada tahun 1905.
Pasukan Belanda secara terang- terangan mendaratkan kapalnya beserta perlengkapan perang di sisi timu pantai Kerajaan Bone.
Hal ini tentu saja mengundang amarah Raja Bone kala itu dan menyambutnya dengan pernyataan perang.
Tindakan ini diambil setelah melalui perundingan dengan para anggota Hadat Tujuh sekaligus restu dari pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Salah satu putra terbaik Bone, Arung Ponre sebutan untuk La Semma Daeng Marola juga turut dalam pertempuran melawan Belanda.
Pemuda ini berasal dari Watapponre, salah satu perkampungan tua yang pernah menjadi pusat ibukota kerajaan Bone.
Perlawanan itu berlangsung selama kurang lebih sekitar 5 bulan, dan Arung Ponre dengan sikap heroik menemani sang Raja untuk menumpas Belanda.
Sejarah mengungkapkan bahwa banyak nyawa yang dipertaruhkan dalam peristiwa Rumpa’na Bone tersebut.
Raja pun juga kehilangan para pimpinan Laskar Kerajaan Boneyakni Daeng Mattepo’, Arung Bengo, Daeng Massere, Arung Sigeri sekaligus sejumlah Pakkanna Passiuno alias pasukan yang turut mengabdikan diri melawan Belanda.
Memang pertempuran ini tidak seimbang dikarenakan Belanda lebih unggul secara pelengkapan pensenjataannya.
Pada saat itu, Sang Raja mengalami kebimbangan yang sangat dahsyat.
Ia tak mau kepemimpinan dan rakyat Bone jatuh ke tangan Belanda yang biadab.
Raja pun memberi isyarat mundur pada Arung Ponre, namun pemuda itu menerima dengan lapang dada.
Bahkan, Ia meyakinkan Sang raja bahwasannya mundur itu adalah suatu proses untuk menjemput kemenangan yang tertunda.
Akhirnya, tepat pada tanggal 30 Juli 1905, istana raja yang terdapat di Watampone berhasil dikuasai Belanda.
Kini, perlawanan terhadap Belanda tetap dilangsungkan walaupun sepeninggal Panglima Perang, terpencarlah laskar pasukan Bone.
Sayangnya, aktivitas ini tidak berjalan mulus, dikarenakan kondisi stamina para pasukan yang kian hari semakin menurun dikarenakan serangan balasan dari Belanda pada markas pertahanannya.
Akhirnya strategi perlawanan berubah menjadi strategi gerilya dan berpindah- pindah.
Pada tanggal 2 Agustus 1905, rakyat Bone dari Mangkau berpindah ke Pasempe. Di tengah perjalanan, rencana ini diketahui oleh Belanda.
Belanda pun menyerbu daerah Pasempe.
Namun ternyata, rakyat Bone mengetahui hal tersebut dan langsung menuju ke Lamuru kemudian ke Citta.
Hal ini terus dilakukan oleh sang raja dan rakyat Bone untuk merebut kembali kekuasaan Bone.
Namun, pada tanggal 18 Agustus 1905, tepatnya di lokasi Bulu Awo, mereka dipertemukan dengan tentara Belanda.
Di lokasi inilah, putra raja gugur karena tertembak peluru pasukan Belanda yang dikomandani oleh Kolonel van Loenen.
Saat menyaksikan kejadian itu, sang Raja mengibarkan dan menaikkan bendera putih sebagai tanda kalau sudah menyerah dan spontan meneriakkan rumpa’ni Bone yang diartikan benteng pertahanan Bone telah dibobol.
Kemudian, sang raja ditangkap dan diasingkan ke Bandung lalu dipindahkan ke Jakarta.
Pada tanggal 11 November 2011, sang raja menghembuskan nafas terakhirnya dan dinamai Matinroe ri Jakarta.
Pada tahun 1976 Masehi ia dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Kalibata.
Peninggalan Kerajaan Bone
Museum La Pawawoi
Salah satu peninggalan yang terkenal dari kerajaan Bone yakni Museum La Pawawoi. La Pawawoi sendiri diambil dari nama Raja Bone yang ke- XXXI.
Sebelum menjadi museum, tempat ini awalnya merupakan istana raja Bone, A Mappanyukki, Raja Bone yang ke – XXXIV.
Kemudian pada tahun 1982 diresmikan menjadi museum oleh Mendikbud RI, Prof. Daud Yusuf kala itu.
Musem ini masuk dalam kategori Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
Lokasinya sendiri ada di Jl. Thamrin, Watampone.
Sumber Sejarah
Lontaraq Akkarungeng ri Bone
Di Jawa Timur, Lontaraq Akkarungeng bisa diistilahkan seperti pararaton, yakni kitab yang membuat kisah para raja singosari dan mojopahit.
Sedangkan di dalam Akkarungeng, terdapat kisah – kisah yang memuat peristiwa suksesi dari awal mula perkembangan kerajaan Bone, masa kejayaan maupun tatkala Bone mengalami keruntuhan.
Nah, sampai disini dulu ya bahasan tentang kerajaan Bonenya.
Selain Kerajaan Bone, kamu juga dapat menyimak ulasan dari kami seperti Kerajaan Salakanagara lho! Selamat belajar sejarah ya.