Kerajaan Blambangan telah ada sejak zaman Majapahit. Menyusul keruntuhan Majapahit pada abad ke-15, Blambangan menjadi satu-satunya kerajaan Hindu yang memiliki kekuasaan besar dan luas di tanah Jawa. Kerajaan Blambangan mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja Tawang Alun II. Namun seiring masuk dan berkembangnya Islam kala itu, Blambangan harus berjuang untuk mempertahankan kekuasaan dan eksistensinya di tengah pengaruh kerajaan-kerajaan Islam. Tak hanya itu, Blambangan juga harus menghadapi gempuran kerajaan-kerajaan Hindu di Bali yang ingin merebut kekuasaan untuk membendung pengaruh Islam masuk ke pulau tersebut.
Simak pembahasan lengkap Kerajaan Blambangan dari awal berdiri hingga keruntuhannya. Ulasan kami lengkapi juga dengam silsilah Raja-raja.
Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan Blambangan
Kerajaan Blambangan berdiri pada abad ke-13 Masehi. Diduga pada masa Majapahit kerajaan ini telah ada.
Kalangan sejarawan meyakini bahwa kerajaan ini berdiri tak lama setelah kejatuhan Kerajaan Singasari pada akhir abad ke-13.
Kerajaan Blambangan terletak di kawasan ujung Jawa Timur.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Blambangan pada masa itu meliputi kawasan yang saat ini terdiri dari kabupaten Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Lumajang, dan Situbondo.
Kerajaan ini dikelilingi oleh laut dan berbatasang langsung dengan Selat Bali.
Merujuk pada informasi dari hasil penelitian bukti-bukti arkelologis dan informasi dari penduduk setempat, periode awal dari peradaban Blambangan purba berkembang di lokasi kawasan hutan lindung alas Purwa.
Bukti yang dijadikan petunjuk oleh para peneliti adalah keberadaan beberapa goa antara lain goa istana, goa padepokan dan goa Mayangkara yang mengacu kepada dugaan peradaban Blambangan di zaman paleolitikum.
Tak banyak informasi yang dapat digali mengenai awal berdirinya kerajaan ini, terutama pada masa sebelum runtuhnya Majapahit.
Sedikit dari informasi yang ada menyebut bahwa latar belakang berdirinya Kerajaan Blambangan terkait dengn pemberontakan Ronggolawe yang menyebabkan ia terbunuh pada tahun 1295.
Sebelum peristiwa tersebut, pendiri Kerajaan Majapahit yakni Raden Wijaya dan Arya Wiraraja membuat perjanjian yang dinamakan perjanjian Butak tentang pembagian wilayah administratif.
Menyusul kematian Ronggolawe, Arya Wiraraja menagih kembali janji tersebut dan akhirnya menguasai wilayah yang dikemudian hari dinamakan Blambangan.
Berdasarkan pendapat versi ini, Arya Wiraraja kemudian menjadi Raja I Blambangan.
Pada awalnya negeri Blambangan dikenal dengan sebutan Sabrang oleh orang-orang Mataram kuno.
Sabrang sendiri berarti sebrang, ini mengacu pada posisi wilayahnya yang berada di seberang sungai yakni Kali Putih di Rambipuji yang menjadi pembatas wilayah.
Sementara penduduk asli Blambangan masa itu yang dikenal dengn sebutan using.
Nama Blambangan secara resmi muncul dalam prasasti Gunung Lamongan atau prasasti Jayanegara pada tahun 1316.
Kemudian pada tahun 1705 ketika Raja Danurejo berkuasa, Blambangan digunakan sebagai nama pusat kota kerajaan.
Silsilah Raja-raja
Hingga saat ini masih banyak informasi mengenai Kerajaan Blambangan yang belum terungkap.
Karenanya terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai kerajaan ini termasuk dalam hal jumlah raja-raja yang pernah berkuasa di Blambangan.
Ada banyak versi mengenai siapa saja raja yang pernah memerintah. Selain salah satu versi tentang Raja I Blambangan sebagaimana disebutkan sebelumnya, terdapat juga versi yang menyebut ada sembilan orang raja yang pernah memerintah di kerajaan ini.
Sementara versi lain meyakini hanya lima orang raja yang pernah bertahta di Kerajaan Blambangan dan nama-nama yang dipercaya pernah berkuasa itu adalah:
1. Siung Manoro
2. Kebo Marcuet
3. Joko Umbaran
4. Siung Laut
5. Joto Suro
Namun dalam daftar tersebut tidak terdapat nama Mas Purbo yang juga memiliki Julukan Raja Danurejo yang dipercaya pernah memerintah Blambangan antara tahun 1698 sampai dengan 1736.
Ditambah lagi Kerajaan Blambangan berdiri antara abad ke-13 hingga 18 Masehi.
Dalam rentang waktu selama 5 abad dapat dipastikan lebih dari 5 raja yang pernah berkuasa.
Lain lagi nama raja pertama yang muncul bila mengacu pada Babad Blambangan.
Babad sendiri adalah karya sastra yang memuat literatur cerita dan informasi.
Menurut Babad Blambangan yang keseluruhan isinya ditulis pada tahun yang berbeda ini, raja pertama Blambangan adalah Menak Sopal.
Namun klaim ini agak meragukan mengingat Menak Sopal dikenal sebagai pahlawan dari Trenggalek dan merupakan tokoh dalam penyebaran Islam, sementara Blambangan adalah sebuah kerajaan Hindu yang berupaya mempertahankan coraknya.
Terlebih menurut berbagai sumber, Menak Sopal lahir pada tahun 1498 yang berarti abad ke-15 Masehi sedangkan Kerajaan Blambangan berdiri pada abad ke-13.
Tidak dapat dipastikan apakah Menak Sopal yang dimaksud adalah sosok yang sama.
Selain itu tidak ada informasi mendetail mengenai Menak Sopal selama berkuasa yang dimuat dalam babad tersebut.
Tak hanya beberapa versi yang telah disebutkan di atas, jika merujuk pada silsilah raja-raja Blambangan maka akan muncul lagi nama-nama lain yang disebut sebagai penguasa di kerajaan ini.
Diduga sumber informasi ini berbaur antara legenda Kerajaan Blambangan yang berkembang di tengah masyarakat dengan sumber-sumber yang didapat dari peninggalan berupa situs maupun peninggalan lainnya.
Berikut ini adalah salah satu teori tentang daftar silsilah Raja-raja Blambangan dari silsilah awal hingga Sunan Tawang Alun I.
1. Silsilah awal:
- Mpu Withadarma
- Mpu Bhajrastawa
- Mpu Lempita
- Mpu Gnijaya
- Mpu Wiranatha
- Mpu Purwantha
- Ken Dedes
- Mahisa Wonga Teleng
- Mahisa Campaka
- Lembutal
- Rana Wijaya/Raden Wijaya
- Tribuana Tunggadewi
- Hayam Wuruk
- Wikramawardhana
- Kerta Wijaya
- Cri Adi Suraprabawa
- Lembu Anisraya/Minak Anisraya
- Mas Sembar/Minak Sembar
- Bima Koncar/Minak Sumendhe (menjadi penguasa Blambangan pada tahun
1489-1500) - Minak Pentor (menjadi penguasa Blambangan pada tahun 1500-1541)
- Minak Gadru
- Minak Cucu/Minak Jinggo
- Minak Lampor
- Minak Lumpat (Sebagai Raja di Werdati)
- Minak Luput (Sebagai Senopati)
- Minak Sumendi (sebagai Karemon/Agul Agul)
2. Silsilah dari Sunan Tawang Alun I (keturunan Minak Lumpat):
- Gede Buyut
- Mas Ayu Widharba
- Mas Lanang Dangiran (Ki Joko Brondong)
- Mas Senepo/Mas Kembar
- Mas Lego.
3. Silsilah Setelah Tawang Alun I:
Setelah Tawang Alun I mangkat, putranya yakni Mas Senepo melanjutkan pemerintahan.
Mas Senepo juga dikenal dengan gelar Susuhunan Prabu Agung Tawang Alun II yang memerintah dari tahun 1665-1691.
Prabu Tawang Alun II memiliki banyak keturunan putra dan putri yang didapat dari para permaisuri dan selirnya.
Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Kondisi Politik
Kehidupan perekonomian rakyat Blambangan tergantung dari sektor pertanian. Hasil utama pertanian rakyat adalah padi.
Selain itu diduga rakyat Blambangan juga hidup dari sektor maritim mengingat posisi wilayahnya yang berdekatan dengan selat.
Tak banyak sumber peninggalan sejarah yang membahas tentang kehidupan perekonomian masyarakat Blambangan kala itu.
Dalam kehidupan kemasyarakatan terdapat fakta yang tidak banyak diungkap oleh sejarah yaitu tentang perbudakan di nusantara yang ternyata juga terjadi di Blambangan.
Tomé Pires seorang apothecary dari Portugal, yang pernah melakukan perjalanan ke Asia Tenggara dan Indonesia dalam tulisannya mengungkap bahwa selama abad ke-15 dan 16 Pulau Jawa banyak menghasilkan budak.
Tak hanya sebatas memperjualbelikan secara lokal, budak-budak tersebut juga diekspor dari Blambangan.
Blambangan juga sempat menjadi wilayah yang diperebutkan antara Kerajaan Mataram dengan kerajaan-kerajaan Bali.
Mataram ingin menguasai Blambangan dengan misi politik menyatukan tanah Jawa selain juga untuk kepentingan dakwah Islam.
Dalam beberapa kali pertempuran antara Blambangan vs Mataram, kerajaan ini dapat mempertahankan wilayahnya.
Kemudian pada tahun 1726 Blambangan menjadi kawasan yang diperebutkan oleh kerajaan Buleleng dan Mengwi dari Bali.
Hingga akhirnya Blambangan berada di bawah kekuasaan Gusti Agong menyusul kemenangan Mengwi atas Buleleng.
Sebagai wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Bali, telah menjadi faktor pemicu yang mendorong masuknya rakyat Bali yang menyeberang ke pulau Jawa dan pindah ke Blambangan.
Masa selanjutnya adalah ketika Blambangan berada dibawah penindasan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang merupakan kongsi dagang Belanda.
Hal ini kemudian memunculkan banyak gerakan-gerakan perlawanan dari masyarakat yang ingin melepaskan diri.
Wong Agung Wilis adalah salah satu tokoh dan ujung tombak dibalik perlawanan terhadap kompeni Hindia Belanda tersebut.
Gugurnya Wong Agung Wilis tidak menghentikan perlawanan rakyat Blambangan terhadap tentara kompeni.
Hingga pada akhirnya perlawanan ini mencapai puncak dengan meletusnya Perang Puputan Bayu pada tahun 1771.
Masa Kejayaan
Kerajaan Blambangan mencapai puncak kejayaan pada era pemerintahan Raja Tawang Alun II (1665-1691).
Di masa ini wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo dan Bali.
Masyarakat hidup damai karena relatif tidak ada lagi perang dan serangan-serangan dari kerajaan lainnya pada saat itu.
Pada masa itu pula Raja Tawang Alun II memindahkan ibukota kerajaan dari Kedawung ke Desa Macan Putih.
Pilihan kawasan ini sebagai ibukota antara lain dikarenakan Macan Putih merupakan kawasan yang subur.
Pada tahun 1676, Raja Tawang Alun II berupaya melepaskan Blambangan dari kekuasaan Mataram yang kala itu dipimpin oleh Amangkurat I.
Selanjutnya peta wilayah kekuasaan Kerajaan Blambangan pada masa itu semakin luas mencakup hampir seluruh ujung timur Jawa.
Pada masa keemasan Blambangan, terdapat tujuh wilayah yang berada di bawah pengaruh dan kekuasaannya yang meliputi Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Lumajang, Malang, Probolinggo hingga Situbondo.
Raja Tawang Alun II diketahui adalah penganut Hindu. Pada masa pemerintahannya Tawang Alun II membangun petilasan di Desa Macan Putih.
Pada masa ini kehidupan beragama juga relatif damai karena meskipun merupakan seorang Hindu, Tawang Alun II bersikap terbuka terhadap masuknya Islam yang saat itu memang tengah berkembang.
Raja Tawang Alun II mangkat pada tahun 1691. Upacara ngaben untuk memperingati kematiannya dilakukan secara besar-besaran.
Hingga saat ini, tempat pelaksanaan ngaben tersebut masih dapat dijumpai di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat, Banyuwangi.
Penyebab Runtuhnya Kerajaan Blambangan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Kerajaan Blambangan seringkali mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan lain di Pulau Jawa dan Bali.
Tak hanya dari kerajaan-kerajaan tersebut, VOC juga menginginkan wilayah Blambangan. Pada tahun 1743 VOC mengklaim Blambangan sebagai wilayah kekuasaannya.
Hal ini atas dasar penyerahan kekuasaan Raja Pakubuwana II dari Mataram kepada VOC yang juga meliputi wilayah Blambangan.
Namun VOC tidak dapat dikatakan berkuasa sepenuhnya di Blambangan karena Blambangan juga menjalin hubungan dagang dengan Inggris kala itu.
VOC akhirnya mengirim militernya untuk mengamankan daerah kekuasaannya dan mengambil alih kembali Blambangan.
Dibawah VOC, rakyat Blambangan hidup dalam kesengsaraan dengan adanya aturan kerja paksa.
Tidak tahan dengan penindasan VOC, rakyat Blambangan melakukan pemberontakan hingga akhirnya pecahlah Perang Puputan Bayu pada tahun 1771.
Perang ini dikenal sebagai pertempuran yang paling kejam dan mengenaskan sesuai dengan namanya yang berarti “habis-habisan”.
Diperkirakan hingga 60-70 ribu rakyat Blambangan gugur ataupun hilang dan menyelamatkan diri selama perang berlangsung.
Pangeran Jagapati yang memimpin rakyat Blambangan di medan perang menjadi salah satu korban yang tewas dalam Perang Puputan Bayu.
Setelah berakhirnya Perang Puputan Bayu, pemerintah Hindia Belanda menata kembali wilayah Blambangan.
Kebijakan yang dilakukan saat itu antara lain mendatangkan pekerja dari luar Blambangan karena perang telah menewaskan banyak penduduk lokal.
Diperkirakan pada saat itu hanya sekitar 5-8 ribu penduduk lokal yang tersisa.
Para pendatang ini kemudian dipekerjakan di lahan-lahan pertanian.
Menyusul kemenangannya dalam Perang Puputan bayu, VOC mengangkat Bupati Banyuwangi yang pertama yaitu Wiroguno I atau Mas Alit. Seiring dengan itu berakhir pula keberadaan Kerajaan Blambangan di ujung Pulau Jawa.
Peninggalan dan Sumber Sejarah
Banyak fakta sejarah Kerajaan Blambangan yang belum terungkap hingga saat ini.
Terlebih lagi dikarenakan banyaknya sisa-sisa peninggalan yang telah diperjualbelikan tanpa sempat diteliti lebih lanjut.
Diantara peninggalan yang masih dapat dilihat bukti fisiknya hingga saat ini, beredar pula legenda di tengah masyarakat tentang ilmu kesaktian masyarakat Blambangan dan dipelajari secara turun temurun yang dikenal dengan nama aji macan sewu.
Terlepas dari kisah yang melegenda tersebut berikut ini adalah beberapa dari bukti peninggalan dan sumber sejarah yang masih dapat ditemukan:
1. Situs Kawitan
Teletak di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, situs ini ditemukan oleh masyarakat setempat pada tahun 1967.
Makna dari kawitan sendiri adalah asal-usul atau asal-mula. situs peninggalan di sini berupa dua tumpukan batu yang masih dalam wujud aslinya seperti ketika ditemukan sementara diding batu bangunan telah mengalami restorasi.
Hingga kini Situs Kawitan banyak dikunjungi oleh umat Hindu.
2. Desa Macan Putih
Desa Macan Putih terletak di Kecamatan Kabat, Banyuwangi.
Macan Putih pernah menjadi pusat Kerajaan Blambangan pada masa pemerintahan Raja Tawang Alun II (1655-1691).
Di desa ini banyak ditemukan sisa peninggalan dari Kerajaan Blambangan seperti gerabah, pecahan keramik dan juga patung. Selain itu ditemukan pula reruntuhan menyerupai dinding dari batu bata dan tempat kremasi Raja Tawang Alun II.
3. Situs Umpak Songo
Situs peninggalan Kerajaan Blambangan ini terletak di Banyuwangi tepatnya di desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar.
Saat ini yang tersisa dari situs ini hanyalah reruntuhan bangunan yang terbuat dari batu bata dan puluhan bebatuan.
Situs ini ditemukan pada tahun 1916 oleh warga setempat. Situs tersebut diduga merupakan bekas rumah Kadipaten Blambangan.
Akibat pembangunan di area itu luas situs yang tersisa saat ini hanya sekitar 40 meter persegi.
Selain itu terdapat pula Pura Agung Blambangan yang pada awalnya merupakan bagian dari situs tersebut tetapi kemudian dipindahkan ke bagian lain di kawasan yang sama.
4. Kitab Kuno di Pesantren Cemoro
Kitab kuno yang ditemukan di Pesantren Cemoro belum lama ini bertuliskan aksara Arab pegon dan berbahasa Jawa kuno.
Pada kitab tertera keterangan tahun 1762 yang artinya sebelum Perang Puputan Bayu terjadi.
Hingga saat ini belum dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap isi naskah kuno tersebut.
Namun kuat dugaan bahwa kitab tersebut merupakan salah satu koleksi kerajaan.
5. Candi Puncak Agung Macan Putih dan Petilasan Pertapaan Tawang Alun
Kedua situs ini terletak di Rowo Boyo yang merupakan sebuah rawa di kaki Gunung Raung.
Keduanya merupakan peninggalan ketika Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Tawang Alun.
Posisi candi berada pada tepian rawa sementara Batu Suci Petilasan letaknya tidak jauh dari candi tersebut.
6. Babad Blambangan
Babad adalah sebuah literatur klasik yang terdiri dari kumpulan tulisan yang terbagi dalam beberapa sub tulisan dan berbahasa kiasan.
Sebuah babad biasanya berisikan cerita-cerita sejarah.
Kumpulan tulisan dalam Babad Blambangan ditulis pada tahun yang berbeda-beda dengan menggunakan aksara Jawa, Bali, Pegon dan Latin.
Babad Blambangan ini menjadi salah satu sumber informasi tentang kehidupan sosial dan budaya masyarakat Blambangan pada masa itu.
Kerajaan Blambangan hingga kini masih menyimpan banyak misteri.
Namun demikian, kisah patriotik rakyat Blambangan dalam mempertahankan negerinya akan selalu dikenang meskipun kerajaan ini telah runtuh lebih dari 3 abad yang lalu.
Demikian halnya dengan legenda dan cerita rakyat tentang negeri di ujung pulau Jawa ini akan terus hidup di tengah-tengah masyarakat.